Adrian POV.
Elisabeth Soedarjo.
Itulah nama dari gadis yang merawatku sekarang. dia datang tadi pagi, mengetuk pintuku perlahan saat aku sedang asyik melihat hujan yang turun dari langit. Aku ingat, bahwa dia adalah gadis di rumah sakit itu. sepertinya dunia memang sempit, bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini. Merawatku dengan baik.
Aku memang tak peduli pada siapapun yang sudah merawatku selama ini. karena mereka selalu berorientasi dengan uang, bukan karena perasaan tulusnya menjaga seseorang. Entahlah berapa yang nenek berikan, tapi aku sering mendengar mereka bergumam di belakagku ‘kalau tidak karena uang, tidak sudi aku merawat orang gila sepertimu.’ Apa mereka tidak tahu jika aku tidak tuli, aku hanya apatis.
Biasanya, mereka akan meninggalkanku sendirian di kamar setelah tugas mereka selesai. tapi dia tidak. Dia justru mengajakku mengobrol, meskipun aku tak pernah merespon. Dia selalu menceritakan tentang negaranya yang indah yaitu Indonesia. Hey..... apa dia tidak tahu jika aku juga berdarah Indonesia dan pernah tinggal disana beberapa tahun?
Baru kali ini aku antusias sekali berada di sampingnya. Karena meskipun aku tak pernah merespon kalimatnya, dia tetap sabar menungguku, terkadang sambil membaca novel dan terkadang bernyanyi. Ave maria menjadi lagu andalannya dan suaranya sangat merdu.
Setiap pagi dia selalu membuka pintu di samping tempat tidurku lebar-lebar agar aku bisa merasakan hangat mentari pagi dan juga udara bersih. Meskipun dingin, namun ini nyaman. Padahal dulu aku selalu merasa jika aku tak butuh sesuatu yang membuatku nyaman atau yang membuatku sehat. Bahkan terkadang aku berharap jika oksigen di dalam kamarku ini tiba-tiba lenyap, dan bahkan aku berharap jika salah satu dari penjagaku itu adalah psikopat dan meracuni makananku.
Apa lagi? Aku benci hidupku seperti ini. kehilangan sebagian memori masa lalu yang sangat ingin aku ingat, mimpi-mimpi buruk yang hadir hampir setiap malam yang membuatku memiliki gangguan kecemasan dan berakhir dengan depresi. Entah sudah berapa dokter jiwa yang merawatku, tapi tak ada yang membuahkan hasil. Karena aku benci kehilangan memori ini. Aku yakin jika aku memiliki masa lalu yang indah, tapi aku tak tahu apa itu. Apalagi ada sebuah nama yang selalu membuat dadaku membuncah setiap mengingtanya.
Lily...
Nama yang tidak asing bagaiku, namun membuat hatiku ngilu setiap meningatnya. Seolah, nama itu sedang mengutukku di suatu tempat, namun terkadang nama itu membuat hatiku berbunga-bunga.
Tapi lagi-lagi, aku tak mengenal siapa pemilik nama itu.
******
Aku mendengar langkah kaki mendekatiku dengan bau lavender yang begitu familiar di hidungku. Lagi-lagi bau itu menyadarkan kebisuanku. Aku lantas menoleh, wajah familiar itu tengah berdiri di depan pintu sambil tersenyum.
“Lily...?” kembali lagi hanya nama itu yang berhasil dari mulutku. Nama asing yang selalu terngiang-ngiang di otakku. Padahal namanya bukan Lily, aku tahu itu. Hanya saja aku suka memanggilnya begitu.
“Saya Elisabeth tuan muda....” dia mendekatiku dengan perlahan tapi pasti.
Aku menghela nafas, lantas kembali menatap keluar kamarku. Menatap beberapa tukang kebun yang sedang membersihkan taman.
“Apa tuan muda tidak merasa pengap?” dia kembali bersuara, berjalan melaluiku lalu membuka kunci pintu kaca di depanku. “Saya rasa sedikit sirkulasi udara sangat bagus untuk kesehatan anda.”
Aku tak menyahut. Setiap pagi itulah kalimat yang diucapkannya padaku, seolah sedang mengingatkan sebuah hal penting agar aku tidak lupa.
“Apakah kamu pengganti Stella?” kembali aku membuka mulut. Oh Tuhan ada apa denganku hari ini, kenapa aku sangat ingin tahu tentangnya dan banyak bercerita. Padahal biasanya aku tak pernah bersuara meskipun di minta. Jika aku tahu nama perawat yang mengurusku sebelumnya adalah Stella karena Margareth dan nenek sering memanggilnya begitu.
Dia berbalik menatapku lantas tersenyum.
“Iya begitulah. Saya yang akan merawat anda sekarang.” Jawabnya lalu membenarkan letak selimut yang menutupi pahaku. “Jika tuan muda sudah mulai merasa dingin panggil saya.....” Dia beranjak meninggalkanku lalu duduk di sebuah sofa di belakangku sambil membuka sebuah buku novel yang tadi dibawanya masuk.
Kami berdua larut dalam keheningan masing-masing. Pikiranku melayang-layang tapi entah berada di mana, terkadang mataku menengadah ke atas, ke langit biru yang indah di atas sana atau pada pohon maple yang mulai berwarna kuning dengan daun-daunnya yang mulai berguguran. Pasti besok pagi tukang kebun akan semakin sibuk membersihkan daun-daun yang berserakan itu, lalu kembali membersihkannya lagi di sore hari, esoknya lagi dan seterusnya. Sampai daun-daun di ranting-ranting itu tak tersisa sama sekali. Jadi kenapa mereka masih melakukan hal-hal yang tak berguna seperti itu?
“ Aku kedinginan.” Gumamku, setelah angin dingin berdesir mengenai mukaku.
Aku meliriknya, dan melihatnya menutup buku dengan tergesa dan menutup pintu dengan cepat. sebelum pintu itu tertutup sempurna, angin mempermainkan rambutnya. Memperlihatkan leher jenjangnya yang begitu mulus dan menawan. Tubuhnya bagus, dan kulitnya sepertinya juga lembut. Hei.....ada apa dengan pikiranku?
“Maafkan saya tuan muda. Saya terlalu larut dengan novel saya.” Dia mengigit bibir bawahnya.
Aku menunduk, sedikit merasa malu karena dia memergokiku sedang mencuri pandang padanya.
“Aku mau tidur siang.” Kataku kemudian.
Dia membantuku turun dari kursi roda dan memapahku menuju kasur. Sebenarnya aku bisa berjalan dengan baik, hanya saja aku malas melakukannya. Aku lebih suka sesuatu yang apatis seperti ini. tidur, melamun atau menenggelamkan tubuhku di bak mandi berlama-lama meskipun pada akhirnya Margareth akan mendobraknya paksa.
“Silakan anda tidur siang. Saya akan menemani anda di sini.” Dia menyelimutiku.
Aku tak menyahut, hanya sudut mataku saja yang mengekor tubuhnya kembali ke sofa tadi. Biasanya perawat-perawatku sebelumnya akan pergi meninggalkanku jika aku tertidur, bahkan mereka tak sungkan memarahiku jika aku tak menyahut setiap mereka mengajak bicara. Tapi dia lain, dia memperlakukanku dengan baik bahkan sekarang dia menungguku. Akh, aku merasa sangat dihargai.
****
Elisabeth pov.
Dia begitu rapuh dibalik tubuh tegapnya. Aku tahu dia kesepian, terlihat dari tatapannya yang kosong dan sarat dengan kepedihan. Dia tampan, aku akui dia sangat tampan. Kulit putih pucatnya dia dapatkan dari kesehariannya yang tak pernah keluar rumah dan terkena matahari. Rambut hitamnya lurus menutup dahi dengan alis tebal, hidung mancung, mata hazel yang begitu indah serta bibir merah merekah yang sexy. Pantas saja dia tak bermata biru atau berambut pirang. Adrian punya darah Indonesia, korea dan Eropa.
Aku mengulas senyum kecil saat melihatnya tercenung sendirian di depan pintu. terkadang bola matanya begerak ke atas, mungkin menatap langit dan terkadang kembali menatap pohon-pohon maple dengan daun orange kekuningan itu. saat angin musim gugur memainkan rambutnya dia bergumam padaku.
“Aku kedinginan....”
Astaga aku lupa jika dia terlalu lama di sana. Novel romanku terlalu menarik sampai aku melupakan Adrian.
Rupanya angin bertiup sedikit kencang siang ini. sampai rambut panjangku yang sengaja ku gerai saja bekibar-kibar tak beraturan. Aku menoleh padanya, dan melihatnya menatapku dengan tatapan yang tak aku mengerti.
“Aku ingin tidur siang.....” kembali dia bergumam padaku.
Aku membantunya turun dari kursi rodanya dan memapahnya ke atas kasur. Tiba-tiba pandanganku terhenti pada pergelangan tangannya yang penuh bekas luka. Oh Tuhan, apa yang dia lakukan? Sudah berapa kali dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya? Apakah ia merasa hidup sangatlah menderita dan menyedihkan sampai melakukan hal seperti itu?
Aku jadi tak tega meninggalkannya sendirian di kamarnya. Pasti bosan berada di sini terus sepanjang hari tanpa satu orangpun teman. Lebih baik aku menemaninya sampai dia terbangun.
******
“Tidak.....tidak.....jangan.......pergiiiiii.....pergi kataku......!!!!!” aku terlonjak dari kursiku. Melihat Adrian berteriak-teriak di atas tempat tidurnya dengan mata terpejam. Aku berlari menghampirinya lantas mengoyang-goyangkan tubuhnya agar dia terbangun.
“Arrrghhhh.....” dia membuka mata dan langsung menegakkan tubuhnya. “Tidaaaak!!!!” dia berteriak sambil memgangi kepalanya. “Sakkkiittt......aaarrgggghh....!!!” Adrian semakin tak terkendali.
Margareth bilang jika gangguan kecemasannya muncul aku harus segera meminta bantuan. Kulirik tombol merah di samping tempat tidur. Tombol itu menghubungkan dengan Margaret yang akan memberinya suntikan penenang, seharusnya aku yang memberikan suntikan itu. tapi karena aku baru saja bekerja, aku harus melihat bagaimana Margareth memberikannya.
“Aarrrrrgggghhhhh.....” dia berteriak lagi.
“Tuan muda....tenang!!!!” aku mencoba menenangkannya. Namun tak ada hasil, justru dia meraih tubuhku dan memelukku dengan erat. Dia berteriak, menangis di pelukanku.
Tak butuh satu menit, Margareth datang dengan dua orang security. Melihat Adrian berteriak sambil memelukku, dia sedikit terkejut. Margareth mengeluarkan sebuah jarum suntik berisi obat dari tas yang dibawanya lalu langsung membebaskan lengan Adrian dan memberikan suntikan itu tanpa rasa gentar sedikitpun.
Aku menggigit bibir saat jarum itu menusuk lengannya. Lantas melirik Adrian yang tak berespon dengan jarum suntik itu. mungkin rasa sakit dikepalanya mengalahkan semuanya, atau mungkin dia sudah mati rasa dengan jarum-jrum itu karena hampir setiap hari mendapatkannya.
“Tunggulah...dia akan tertidur.” Kata Margareth sambil mengemasi peralatannya. “Jika sudah benar-benar tertidur, kamu bisa kembali menidurkannya di kasur.”
Aku mengangguk, menatap Margareth dan dua orang security yang meninggalkan kami. Tak berselang lama, aku mendengar dengkuran halus dari suara nafas Adrian yang teratur. Pasti dia sudah kembali tertidur. Aku menunduk, sebutir air mata jatuh membasahi pergelangan tangannya yang masih memelukku dengan erat. Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi dia, tapi aku yakin dia sangat menderita.
****
Elisabeth pov. “Selamat pagi tuan muda.” Aku tersenyum lebar. Sepagi ini dia sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Seperti biasa, dia hanya menoleh padaku dengan tidak begitu antusias. Aku beranjak mematikan lilin aromatherapi yang berada di sudut kamar lalu membuka jendela. Cuaca sedang bagus hari ini, dan aku berniat mengajaknya untuk berjalan-jalan disekitar rumah. kata ibu udara pagi cocok untuk kesehatan. “Apakah tuan muda siap untuk berjalan-jalan pagi?” tanyaku lantas mengambil sebuah mantel berwarna hitam dari dalam almari. “jalan-jalan?” dia menoleh. &
Elisabeth POV. Stella berkata bohong. Gadis itu mengatakan padaku sebelum dia pergi bahwa Adrian adalah seorang pria yang menyusahkan. dia sering histeris, tak pernah mau merespon apapun yang Stella katakan dan yang paling menyedihkan adalah pria itu seperti mayat hidup. Tapi menurutku tak seperti itu. ya....meskipun pada dasarnya Adrian lebih terkesan apatis, namun menjaganya ternyata begitu sangat mengasyikkan. Dia menerima suapanku dengan baik setiap kami makan, bahkan beberapa hari ini dia sudah mulai makan bersama neneknya di ruang utama. Setiap pagi kami memberi makan merpati, kali ini kami berjalan beriringan tanpa menggunakan kursi roda lagi. Bukankah ini seperti keajaiban? Padahal aku belum ada sebulan tinggal disini. &nb
Adrian POV. Tak seperti pagi-pagiku yang sudah-sudah, kali ini aku melihat pemandangan lain di kamarku. Sosok tubuh mungil berbalut dress tidur satin yang tertidur tenang di atas sofa tanpa selimut. Nampaknya ia tidak peduli dengan hawa dingin pagi ini, buktinya dia tampak begitu tenang dan nyenyak. Nafasnya naik turun secara teratur. Atau ia sangat lelah karena merawatku semalam, sampai tak menyadari cuaca pagi ini yang lebih dingin dari biasanya. Aku menarik selimut yang masih menutupi sebagian tubuhku. Kudekati dirinya, dan berjongkok di depannya. Saat ini kami hanya terjeda beberapa centi saja dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah wanita Asia yang begitu manis dan cantik. Mas
Mereka berdua menyusuri satu persatu lukisan yang terpajang rapi di galeri itu. berbagai lukisan dari beberapa seniman yang mengadung banyak makna bagi para pecinta seni lukis. “Kamu bisa melukis El?” Adrian menyapu pandangannya pada satu persatu lukisan di galeri itu. dia tidak tahu mengapa setiap mendengar dan melihat lukisan ada perasaan tertarik yang luar biasa di benaknya, padahal dia juga tak bisa melukis. Seakan ia mempunyai hubungan emosional yang begitu dengan dengan lukisan, Elisabeth menggeleng, lantas tersenyum. “Aku menggambar pohon saja wujudnya bukan pohon.” Jawabannya membuat Adrian menoleh. “Maksudku aku sama sekali tidak bisa.” Adrian mengangguk kecil, menyusuri lukisan-lukisan
Elisabeth pov. Aku tahu jika menerima ajakan David untuk bertemu adalah sebuah kesalahan besar. Itu sama saja aku sedang mencoba untuk kembali mendekati dia atau sedang membuka kembali luka lama. Namun nyatanya, meskipun aku mencoba menolak, tetap saja aku berada di tempat ini sekarang. sebuah cafe di pusat kota Budapest yang sangat ramai bersama David tentunya. Pas sekali dia menghubungiku semalam karena hari ini memang aku libur. Awalnya aku ingin pulang dan menjenguk mama, tapi entah kenapa lagi-lagi aku tak kuasa untuk mengatakan tidak setelah dia mengatakan ‘ayo besok keluar untuk minum kopi El.’ Pria blasteran Jerman itu memang luar biasa pandai dalam mengaduk-aduk perasaanku. Kami pacaran
Sesuai janjinya, David mengantarku sampai di depan pintu gerbang rumah keluarga Smith ketika mengantarku pulang. Itupun sebenarnya aku bersikeras tidak mau, tapi aku kenal David, ia bukanlah tipe orang yang pantang menyerah dalam semua hal dan ia pasti akan berusaha dengan banyak cara agar bisa mengantarku. “Kapan hari liburmu El?” tanyanya saat aku berusaha melepaskan seat belt. “Setiap hari minggu aku libur.” Jawabku acuh tak acuh. “Bagus!” soraknya girang. “Jadi setiap minggu, aku akan menjemputmu di sini.” Aku tidak menjawab, hanya memutar bola mataku dengan malas. Lagipula apakah ia adalah orang yang banyak wakt
Elisabeth pov. Aku menggeliat bangun saat ponsel di sampingku berdering nyaring. Jidatku berkerut, sebuah nomor baru di pagi hari sudah menyapaku. “Haloo...” suaraku masih terdengar serak. “Ini aku.” Suara itu tidak asing, dan tentu saja berhasil membuat bibirku melengkungkan senyum padahal ini masih sangat pagi. “Adrian?” “Simpanlah. Ini nomorku.” “Kamu punya ponsel sekarang?” aku menegakkan badanku. Kantukku tiba-tiba sirna ketika mendengar suaranya yang lembut di pagi ini.
Adrian pov. Sepertinya aku sudah kembali hidup setelah mati suri yang panjang. Untuk pertama kalinya dalam hidupku selama beberapa tahun ini, aku merasakan sebuah semangat yang muncul dari dalam diriku. Begitu menggelora dan panas. Aku tak memungkiri jika gadis bernama Elisabeth itu sudah mengubah hidupku. Duniaku yang gelap dan seakan tak berarti perlahan mulai terlihat terang karena ada dia di sisiku setiap hari. Dia mengajakku bicara, memelukku dengan hangat saat aku jatuh terpuruk dan selalu memberiku senyuman manisnya setiap pagi. Jika aku jatuh cinta, apakah aku salah? Aku memang belum mengingat bagian-bagian kecil d