Elisabeth POV.
Stella berkata bohong. Gadis itu mengatakan padaku sebelum dia pergi bahwa Adrian adalah seorang pria yang menyusahkan. dia sering histeris, tak pernah mau merespon apapun yang Stella katakan dan yang paling menyedihkan adalah pria itu seperti mayat hidup.
Tapi menurutku tak seperti itu. ya....meskipun pada dasarnya Adrian lebih terkesan apatis, namun menjaganya ternyata begitu sangat mengasyikkan. Dia menerima suapanku dengan baik setiap kami makan, bahkan beberapa hari ini dia sudah mulai makan bersama neneknya di ruang utama. Setiap pagi kami memberi makan merpati, kali ini kami berjalan beriringan tanpa menggunakan kursi roda lagi.
Bukankah ini seperti keajaiban? Padahal aku belum ada sebulan tinggal disini.
“Baiklah....sudah waktunya kamu tidur.” Aku menarik tubuhnya untuk naik ke atas kasur. Beberapa hari ini dia mulai sering membaca bersamaku. Dia tidak suka bacaan fiksi seperti aku, dia lebih suka sesuatu yang menakjubkan dan nyata. Dan buku yang disukainya adalah buku tentang alam semesta dan isinya. Tentang gugus bintang, galaxy dan lain sebagainya.
“Besok pagi ada pertemuan dengan dokter Antony.....” lanjutku.
“Besok?”
“Iya.”
Aku menaikkan selimutnya sampai sebatas dada. Setelah mengganti lampu tidur dan menyalakan aromatherapi, aku melangkah menuju kamarku yang berada tepat di samping kamarnya.
Ponselku berbunyi bersamaan dengan aku menutup pintu. nama Rebecca menari-nari indah di layar ponselku.
“Ada apa?” Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur.
“Haaay......suster Elisabeth!” kelakarnya.
Aku mendengus. “tidak usah mencemoohku.”
Aku mendengar Rebecca tertawa.
“Bagaimana keadaanmu El? Aku pikir kamu hanya akan bertahan seminggu disitu. Rupanya perkiraanku salah.”
“Aku bekerja dari hati.” Jawabku sekenanya.
“Dari hati? Woow....kamu jatuh cinta pada pasienmu?” decak Rebecca. “Sudah kuduga. Bagaimana kamu bisa menolak ketampanannya meskipun otaknya agak.....”
“Hush! Ngawur!”sergahku cepat. “Dia tidak merepotkan. Dan aku senang bisa menemaninya jalan-jalan setiap pagi.”
Rebecca kembali terkekah.
“Jangan sampai jatuh cinta padanya El.”
“Kenapa?”
“Bahaya!”
“Kenapa bahaya?”
“Karena aku yakin kamu tidak akan bisa meninggalkannya karena dia tampan.....tampan.....tampan....dan kaya!”
“Apa maksudmu?”
“Dan satu lagi EL.”
“Apa?”
“Apa kamu tidak penasaran dengan rasa bibirnya?”
Aku tergelak. Bisa-bisanya dia berkata demikian.
“Jangan coba-coba Rebecca!” ucapku cepat.
Dia malah tertawa.
“Oh ya, bagaimana keadaan mama?” aku mengalihkan pembicaraan. Rasanya sudah cukup pembahasanku tentang Adrian malam ini bersama Rebecca.
“Baik.”
“apa mama dan paman menanyakanku?”
“tentu saja.”
“Terus apa yang kamu katakan?”
“Aku bilang kamu sedang menyelamatkan sebuah keluarga.”
“Rebecca!” seruku kesal.
“El, bagaimana aku bisa merahasiakan tujuanmu bekerja saat paman Andreas tahu bahwa hutangnya sudah lunas?”
Aku menarik nafas panjang.
“Jadi bagaimana tanggapan mereka?”
“Awalnya tante Lita menangis. Tapi aku menjelaskan semuanya dan sepertinya dia tak keberatan.”
Aku tercenung sesaat.
“Apa mamamu tidak menghubungimu?” tanya Rebecca kemudian.
“Kami hanya menanyakan kabar dan kesehatan mama. Dan mama juga tidak pernah mengungkit tentang pekerjaan ini.”
“Mungkin tante Lita merasa tidak enak.”
“Ya....mungkin.”
Kami berdua hening beberapa saat.
“El....nikmatilah pekerjaanmu.”
“Iya. Aku sangat menikmatinya.”
“Baguslah.”
Aku tertawa.
“Yasudah, tidurlah. Aku besok harus bangun pagi.” Pamitku.
“Oke.....see you El.”
Aku mematikan ponselku dan menaruhnya di atas nakas. Ku tatap bulan penuh di atas sana yang tampak berkilauan di tengah langit yang tanpa mendung. Entah takdir apa yang mengikatku sekarang, yang jelas aku hanya perlu menikmatinya.
*****
Adrian pov.
Aku berjalan melewati lorong yang gelap. Tak ada cahaya, yang kudengar hanya sebuah teriakan minta tolong yang meyayat hati dan sangat menakutkan. Aku berlari, berharap menemukan cahaya dari ujung lorong yang pekat ini.
“Toloooong.....Adrian!” suara itu mendekat, seperti berada di belakangku. Dan saat aku berbalik, sesosok wanita tanpa wajah menjerit padaku.
Aku berlari terseok-seok. Namun entah kenapa tiba-tiba aku berada di dalam sebuah mobil. Di sebuah musim semi yang hangat. Disampingku ada sosok tanpa wajah tadi, bercanda dan bergelayut mesra di lenganku. Hingga aku mendegar suaranya menjerit “Awaaas.....Adrian!!!”
Sedetik kemudian, aku melihatnya berlumuran darah. Dia merintih, minta tolong dengan air mata yang berderai membasahi pipinya hingga akhirnya dia menutup mata. Kudengar suara bisikan yang terdengar jelas. “pembunuh....pembunuh....pembunuh......!!!”
“Tidaaaaak!!!!!” jeritku nyaring. Aku melawan mimpi ini dengan susah payah. Mimpi yang hampir setiap malam menemani malam-malam sepiku. Mimpi yang membuatku takut untuk tidur. Mimpi ini seolah selalu mengingatkanku untuk tak pernah menaruh harapan atau bahagia di dunia ini. Karena mungkin kebahagiaanku memang sudah lebur, bersamaan dengan masa laluku yang masih menjadi misteri untukku sendiri.
“Adrian....Adrian....!!!” aku merasakan sebuah tangan hangat menyentuh permukaan kulitku yang dingin. Dalam gemuruh suara yang terus mencercaku, kulihat sosok yang akhir-akhir ini familiar bagiku.
Elisabeth.
******
Elisabeth pov.
“Tidaaak.....!!!!”
Aku terbangun dengan tiba-tiba saat mendengar suara teriakan hebat dari kamar Adrian. Sepertinya aku tahu apa yang sekarang terjadi. Bergegas kuambil kotak berisi obat suntik yang dua hari lalu Margereth berikan padaku. Dia bilang aku harus menggunakannya jika serangan panik Adrian kambuh seperti waktu itu.
Saat aku tiba di kamarnya, aku lihat dia sudah dalam keadaan duduk sambil memegangi kepalanya. Tubuhnya kaku, keringat dingin membasahi tubuhnya. Masih dalam teriakan-teriakan bernada sama yang memilukan, dia sedang berjuang dengan pikiran-pikiran negatif yang menganggu mimpinya.
“Adrian.....Adrian.....!!!” Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tak ada respon berarti, hanya saja matanya sedikit terbuka dan menyadari kedatanganku.
“Tunggu sebentar!” aku menyiapkan peralatan suntikku dengan tangan bergetar. Bagaimana aku tidak gugup jika ia dalam kondii seperti itu. aku takut Adrian kenapa-kenapa, atau yang paling parah dia tidak sadarkan diri.
“Jangan!” tiba-tiba dia mencekal tanganku. Suaranya serak dan berat, masih dengan salah satu tangannya memegangi kepalanya yang mungkin terasa mau meledak.
“Ta....tapi kamu.....” dalam remang malam aku menatap jarum suntik dan Adrian bergantian.
“Aku tidak mau disuntik. Itu menyakitkan.” Dia menarik tubuhku lantas memelukku. Tangannya melingkar di piggangku dan wajahnya masuk ke dalam ceruk leherku.
Aku mengerjapkan mata salah tingkah. Tubuhnya yang dingin menyatu dengan tubuhku yang terasa panas karena berkeringat, adrenalinku terpacu karena jantungku berdetak cepat. antara takut dia kenapa-kenapa dan gugup saat dia melakukan hal seperti ini terhadapku.
“Seperti ini lebih baik.” desisnya pelan. Nafasnya yang hangat menyapu leherku. Membuat jantungku semakin meletup-letup tak terkendali. Ada apa ini? apa karena sudah lama aku tak disentuh pria, jadi respon tubuhku terlalu berlebihan sepeti ini?
Aku terdiam. Kami sama-sama hening di tengah malam buta seperti ini. Tak ada suara, hanya terdengar detak jam dinding yang terus menggulirkan waktu untuk maju. Aku rasa apa yang dia katakan ada benarnya, belum sampai lima menit tubuh kakunya mulai mengendur, keringat di pelipisnya juga mulai berkurang. Kini dia bernafas dengan teratur.
“EL.....” bisiknya pelan.
“Iya?”
“Malam ini temani aku disini.”
Kembali jantungku berdetak hebat. Diam-diam aku meremas ujung dress tidurku dengan kuat. Mencoba berfikir positif dengan hal ini. Lagipula apa yang akan kamu harapan Elisabeth? Dia mengajakmu tidur, atau bercinta? Jangan berlebihan. Dia sedang dala kondisi yang tidak baik sekarang. Untuk hidup saja dia tak punya keinginan, apalagi untuk sex. Jadi simpanlah cerita romanmu itu untuk orang lain El! Ingat, dia sedang dalam kondisi yang sangat tidak baik-baik saja.
“Baik.....aku akan menemanimu di sini.” Sahutku pelan, hampir tak terdengar.
Adrian POV. Tak seperti pagi-pagiku yang sudah-sudah, kali ini aku melihat pemandangan lain di kamarku. Sosok tubuh mungil berbalut dress tidur satin yang tertidur tenang di atas sofa tanpa selimut. Nampaknya ia tidak peduli dengan hawa dingin pagi ini, buktinya dia tampak begitu tenang dan nyenyak. Nafasnya naik turun secara teratur. Atau ia sangat lelah karena merawatku semalam, sampai tak menyadari cuaca pagi ini yang lebih dingin dari biasanya. Aku menarik selimut yang masih menutupi sebagian tubuhku. Kudekati dirinya, dan berjongkok di depannya. Saat ini kami hanya terjeda beberapa centi saja dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah wanita Asia yang begitu manis dan cantik. Mas
Mereka berdua menyusuri satu persatu lukisan yang terpajang rapi di galeri itu. berbagai lukisan dari beberapa seniman yang mengadung banyak makna bagi para pecinta seni lukis. “Kamu bisa melukis El?” Adrian menyapu pandangannya pada satu persatu lukisan di galeri itu. dia tidak tahu mengapa setiap mendengar dan melihat lukisan ada perasaan tertarik yang luar biasa di benaknya, padahal dia juga tak bisa melukis. Seakan ia mempunyai hubungan emosional yang begitu dengan dengan lukisan, Elisabeth menggeleng, lantas tersenyum. “Aku menggambar pohon saja wujudnya bukan pohon.” Jawabannya membuat Adrian menoleh. “Maksudku aku sama sekali tidak bisa.” Adrian mengangguk kecil, menyusuri lukisan-lukisan
Elisabeth pov. Aku tahu jika menerima ajakan David untuk bertemu adalah sebuah kesalahan besar. Itu sama saja aku sedang mencoba untuk kembali mendekati dia atau sedang membuka kembali luka lama. Namun nyatanya, meskipun aku mencoba menolak, tetap saja aku berada di tempat ini sekarang. sebuah cafe di pusat kota Budapest yang sangat ramai bersama David tentunya. Pas sekali dia menghubungiku semalam karena hari ini memang aku libur. Awalnya aku ingin pulang dan menjenguk mama, tapi entah kenapa lagi-lagi aku tak kuasa untuk mengatakan tidak setelah dia mengatakan ‘ayo besok keluar untuk minum kopi El.’ Pria blasteran Jerman itu memang luar biasa pandai dalam mengaduk-aduk perasaanku. Kami pacaran
Sesuai janjinya, David mengantarku sampai di depan pintu gerbang rumah keluarga Smith ketika mengantarku pulang. Itupun sebenarnya aku bersikeras tidak mau, tapi aku kenal David, ia bukanlah tipe orang yang pantang menyerah dalam semua hal dan ia pasti akan berusaha dengan banyak cara agar bisa mengantarku. “Kapan hari liburmu El?” tanyanya saat aku berusaha melepaskan seat belt. “Setiap hari minggu aku libur.” Jawabku acuh tak acuh. “Bagus!” soraknya girang. “Jadi setiap minggu, aku akan menjemputmu di sini.” Aku tidak menjawab, hanya memutar bola mataku dengan malas. Lagipula apakah ia adalah orang yang banyak wakt
Elisabeth pov. Aku menggeliat bangun saat ponsel di sampingku berdering nyaring. Jidatku berkerut, sebuah nomor baru di pagi hari sudah menyapaku. “Haloo...” suaraku masih terdengar serak. “Ini aku.” Suara itu tidak asing, dan tentu saja berhasil membuat bibirku melengkungkan senyum padahal ini masih sangat pagi. “Adrian?” “Simpanlah. Ini nomorku.” “Kamu punya ponsel sekarang?” aku menegakkan badanku. Kantukku tiba-tiba sirna ketika mendengar suaranya yang lembut di pagi ini.
Adrian pov. Sepertinya aku sudah kembali hidup setelah mati suri yang panjang. Untuk pertama kalinya dalam hidupku selama beberapa tahun ini, aku merasakan sebuah semangat yang muncul dari dalam diriku. Begitu menggelora dan panas. Aku tak memungkiri jika gadis bernama Elisabeth itu sudah mengubah hidupku. Duniaku yang gelap dan seakan tak berarti perlahan mulai terlihat terang karena ada dia di sisiku setiap hari. Dia mengajakku bicara, memelukku dengan hangat saat aku jatuh terpuruk dan selalu memberiku senyuman manisnya setiap pagi. Jika aku jatuh cinta, apakah aku salah? Aku memang belum mengingat bagian-bagian kecil d
Adrian pov. Aku kecewa. Seharusnya bukan respon semacam itu yang kudapat darinya ketika menerima ciuman dariku. Kedua kali aku menciumnya, dan ia selalu menolaknya dengan cara seperti itu. Apakah dia tidak menyukaiku? Atau apakah aku tak pandai berciuman? Sepertinya bukan itu, karena aku rasa, aku cukup handal dalam melakukan hal itu. Aku tercenung, menghela nafasku berkali-kali. setelah dia memberiku obat tadi pagi, aku menyuruhnya untuk membantu Margareth membuatkan kue untukku. Sebenarnya aku tak ingin kue, hanya saja aku sedang merasa canggung dengannya. Bukan tidak mungkin bukan aku menciumnya lagi jika terus bersamanya apalagi di dalam kamar ini hanya ada kami berdua. Aku akui tidak bisa menahan keinginanku setiap mulutnya bergumam lagu Ave Maria atau ketika ia menatap mataku dan memperlihatkan senyumannya. Dia begitu indah, lemb
Elisabeth pov. “Ini, makanlah yang banyak....” nenek Anna menaruh sepotong roti rawar yang sudah diolesi selai di piring Adrian. Pria itu menerimanya dengan senyum mengembang. “Nenek juga harus makan banyak nek.” Adrian menyuapkan irisan roti itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan pelan. Setiap berada di meja makan bersama dengan neneknya, aku melihat sorot mata Adrian begitu bahagia. Mungkin karena ia bisa kembali menemani neneknya makan setelah lama berada dalam keadaan yang kurang baik. Nenek Anna terkekah. “Nenek rasa umur nenek akan sangat panjang sekarang.” “Kenapa nek?” selaku yang sejak tadi hanya memperhati