Elisabeth pov.
“Ini, makanlah yang banyak....” nenek Anna menaruh sepotong roti rawar yang sudah diolesi selai di piring Adrian. Pria itu menerimanya dengan senyum mengembang.
“Nenek juga harus makan banyak nek.” Adrian menyuapkan irisan roti itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan pelan. Setiap berada di meja makan bersama dengan neneknya, aku melihat sorot mata Adrian begitu bahagia. Mungkin karena ia bisa kembali menemani neneknya makan setelah lama berada dalam keadaan yang kurang baik.
Nenek Anna terkekah. “Nenek rasa umur nenek akan sangat panjang sekarang.”
“Kenapa nek?” selaku yang sejak tadi hanya memperhati
Adrian Pov. Sore ini aku sudah siap dengan tuxedo hitamku. Sudah lama aku tak mengenakan pakaian formal seperti sekarang, dan aku pikir aku masih kelihatan pantas memakai pakaian seperti ini. Kami sudah siap, hanya tinggal menunggu Elisabeth yang sejak semalam tak kulihat batang hidungnya. Setelah kejadian penolakannya kemarin siang, aku terus mengurung diri di dalam kamar dan tak memperbolehkan siapa saja masuk selain Margareth. Bahkan Kevin harus menelan kecewanya saat aku berteriak padanya di depan pintu agar tak mengangguku karena aku sedang berkonsetrasi membaca. “Coba hubungi Elisabeth Adrian....” Kata nenek dari dalam mobil. “Atau aku jemput ke kamarnya saja nek?”timpal Kevin yang berdiri
Adrian POV. “Iya....pulanglah dulu dan rawat ibumu.” Ku lihat nenek tengah berbicara dengan seseorang dari balik telepon. “Siapa nek?” tanyaku yang baru saja datang dari stand minuman. Ku ulurkan segelas minuman padanya, karena sejak tadi nenek belum menegguk air sedikitpun. “Margaeth.” Jawab nenek sambil memasukkan ponselnya ke dalam handbag kecil yang dibawanya. “Ibunya masuk rumah sakit, dan dia ijin untuk pulang.” Aku mengangguk. Margareth memang masih memiliki seorang ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan. Sudah beberapa kali nenek memintanya untuk pensiun jika memang ingin benar-benar merawat ibunya, tapi Margareth ma
Elisabeth POV. aku membuka mataku pagi ini dengan kalimat syukur yang terus menerus aku ucapkan di dalam hati. Akhirnya, aku masih bisa melihat indahnya matahari pagi setelah kejadian semalam, karena ternyata Tuhan selalu memberikan sebuah keajaiban dari setiap keadaan, buktinya pangeran berkuda putihku datang menyelamatkanku saat aku hampir saja tak punya harapan. “Selamat pagi....” pintu kamarku terbuka dan sosok Adrian muncul membawa baki berisi teh hangat dan kue. Aku tersenyum kecil. Ingatanku mengembara bahwa ia menemaniku
Elisabeth POV. Berulang kali aku menarik gordyn jendela, berharap melihat langkahnya memasuki halaman depan pavillium dan akhirnya mengetuk pintu kamarku. Tapi kenyataannya, sudah lebih dari setengah hari aku menunggu, tak kulihat sosok itu. Yang ada hanya beberapa pelayan yang hilir mudik dengan kesibukan mereka masing-masing. Aku menggerutu dalam hati. Bahkan aku masih ingat dengan sangat jelas bahwa Adrian mengatakan akan segera pulang setelah pertemuan. Nyatanya ia sedang berbohong kali ini. Aku mengusap wajahku dan jerit ponsel membuatku melonjak dari tepi jendela, lantas menghambur menuju kasur. Rebecca Calling…. Aku sedikit kecewa ketika nama yang muncul di layar ponsel bukan nama Adrian, namun nama sepupuku—Rebecca. Namun aku tak punya alasan untuk tak mengangkat telepon sepupuku itu, aku yakin ada suatu hal yang ingin dikatakannya. “Halo….” “El….” Lengkingan nyaring menusuk telingaku. Aku menjauhkan ponselku da
Adrian POV. Aku memarkir mobilku tepat di depan sebuah café berwarna coklat gelap itu. Café itu bertuliskan ‘close’ tapi di dalam sana, lewat jendela kaca yang lebar, aku melihat ada pesta yang begitu ramai dan berisik. Bahkan suara music yang menghentak-hentak itu terdengar sampai di telingaku. Akh, berisik sekali. Aku tidak suka. Orang yang aku cintai berada di dalam. Entah kenapa membayangkan begitu banyak lelaki mabuk di dalam sana membuat hatiku cemburu. Orang mabuk bisa melakukan apa saja bukan? Bagaimana kalau Elisabeth juga ikut mabuk dan melakukan hal-hal bodoh…..dan…. Tidak! Aku tidak boleh membiarkannya terjadi. Gadisku tidak boleh di sentuh oleh sembarangan orang. Bahkan ketika aku ingat bagaimana Kevin hampir memperkosanya tadi malam, hatiku kembali memuncak panas. Sebenarnya aku ingin sekali memukuli wajah pria itu sampai ia tidak sadar diri dan masuk ICU—seandainya saja, jika semalam Justin tidak meleraiku. Aku mengambil ponsel
Elisabeth POV. Aku mengikuti para perawat yang mendorong tempat tidur itu dengan ekspresi yang sangat cemas. Lorong IGD rumah sakit yang awalnya tak begitu ramai, kini terdengar gaduh dengan suara derit roda dari tempat tidur yang di dorong dari dalam ambulance tadi. Berkali-kali aku menggigit bibir, merapalkan doa agar kekasihku yang sekarang tidak sadar ini baik-baik saja. Bagaimanapun juga, aku merasa sangat bersalah dengan kejadian ini, meskipun aku tak yakin jika ini sepenuhnya adalah salahku. Aku kira, semua berjalan begitu baik ketika kami sudah sama-sama saling memagut dalam sebuah hasrat yang meletup-letup di tubuh kami. Aku kira, semuanya akan berjalan dengan mulus. Tapi, aku tidak tahu apa penyebabnya. Adrian kembali memegangi kepalanya, berteriak histeris lalu pingsan. “Anda tunggu di sini.” Seorang suster menghadangku tepat di depan pintu resusitasi. Ia lalu menutup pintu dengan cepat, meninggalkan aku yang terpaku dengan cemas. B
Elisabeth POV. Aku menemaninya duduk di pinggir jendela kamar inapnya dengan tak banyak suara. Pria itu tampak sangat menikmati posisinya saat ini. Matanya sejak tadi terpaku ke luar jendela yang dingin, menatap beberapa tukang kebun rumah sakit yang tengah sibuk membersihkan sekitar. Di udara sedingin ini, aku tak melihat satu pasien pun keluar dari ruangannya untuk menikmati suasana di luar, mungkin mereka enggan. Udara dingin hanya akan membuat mereka bertambah sakit. “Ini mirip seperti de’javu.” Gumamnya tenang tanpa menoleh ke arahku. Aku menatapnya dari samping. Pria yang sekarang mengenakan baju rumah sakit itu tampak menyunggingkan senyumnya sedikit. Meskipun pucat, ia terlihat masih sangat tampan. “Apa maksudmu?” tanyaku. “Aku selalu merasa familiar dengan keadaanku yang seperti ini El.” Ia mendongak menatapku. “Rumah sakit, bau aromatherapy, obat, alcohol, dan duduk di tepi jendela menyaksikan orang-orang beraktifitas di luar sana.”
Elisabeth POV. Sebenarnya aku tidak setuju dengan keinginan Adrian untuk pulang hari ini. Bagaimana kalau dokter Antony atau nenek Anna marah melihat Adrian meninggalkan rumah sakit dan aku yang disalahkan? Bagaimanapun juga, kondisinya belum stabil karena masih harus mendapatkan beberapa obat melalui vena-nya. Namun dari sikap Adrian yang bersikeras dan juga kalimatnya yang merupakan sebuah perintah seperti tadi membuatku mengalah. Aku tahu ia pasti akan sangat marah padaku jika aku tak menurutinya. Salju tiba-tiba turun ketika kami baru saja masuk ke dalam taxi. Cuaca malam cukup dingin, berkali-kali aku mencoba mengeratkan mantel yang menutupi tubuhnya agar ia tidak kedinginan. “Aku tidak kedinginan El….” Katanya ketika aku baru saja selesai memasang sebuah syal di lehernya. Bukannya menerima itu dengan terimakasih, ia malah menatapku tidak suka lalu melepas syal itu dan memakaikannya padaku. “Aku tahu kamu lebih kedinginan.” Gumamnya. “Aku tidak m