Elisabeth POV.
Aku melihat Andreas duduk terpekur di kursi tunggu rumah sakit dengan air muka keruh. Di sampingnya, berdiri Rebecca dengan wajah yang tak kalah cemas. Sesekali ia mengintip ke dalam IGD melalui jendela kaca buram itu, namun aku tahu jika hasilnya nihil karena di dalam banyak aktivitas dan ia juga tidak tahu mama di periksa di bagian mana.
“Bagaimana mama?” langkahku terhenti tepat di depan Andreas.
Pria itu mendongak menatapku, sebelum akhirnya pandangannya beralih pada Adrian yang mengikutiku dari belakang. Mungkin Andreas terkejut karena aku tidak datang sendirian. Begitu juga Rebecca, ia juga menatap Adrian dengan ekspresi yang serupa.
“Tadi tiba-tiba ia pingsan El.” Rebecca yang menjawab. Ia berjalan mendekatiku lalu menepuk pundakku pelan. “Tenanglah, dokter pasti bisa merawatnya dengan baik.”
Aku mengangguk pelan, meskipun kalimat Rebecca sama sekali tidak bisa mengobati perasaanku. Semua orang pasti terkejut, terlebih ak
“Maaf menunggu lama……” Adrian membalikkan badan ketika mendengar suara itu menyapa telinganya. Senyumnya mengembang tiba-tiba dan diam-diam mengangumi gadis yang kini terlihat cantik dengan dress warna brick diatas lutut itu. Wajahnya tampak semakin manis dengan make up tipis serta rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. “Kamu cantik!” pria itu tidak bisa menyembunyikan kekagumannya, membuat gadis yang berdiri di depannya itu tersipu malu. “Jadi, kemana kita pergi tuan muda?” ia menyusupkan tangannya di lengan Adrian. Bukannya menjawab, Adrian lebih memilih mengayunkan langkahnya meninggalkan pavillium. Elisabeth hanya mengangkat bahu, ia yakin jika ada sebuah kejutan yang disiapkan pria itu untuknya. Dan benar saja, di depan rumah tampak sebuah mobil limousine terparkir rapi di sisi jalan. Di depan mobil itu berdiri seorang lelaki patuh baya dengan jas hitam. Melihat kedatangan Adrian dan Elisabeth, pria itu lantas membukakan pintu. “Apa in
Samantha tidak bisa menyembunyikan rona bahagianya ketika pagi ini di meja makan, papanya—Jacob Clark mengatakan bahwa siang ini Samantha harus menggantikannya untuk bertemu dengan Adrian Smith. Biasanya gadis bermata biru itu tidak begitu menyukai apa yang dikerjakan papanya di perusahaan. Ia memang suka dengan bisnis, tapi bukan berarti ia harus menggantikan papanya dan langsung mendapatkan posisi tinggi di perusahaan. Samantha adalah cerminan gadis pekerja keras. Ia pikir hidupnya akan biasa-biasa saja jika ia hanya menerima apa yang diwariskan orangtuanya tanpa usaha susah payah terlebih dahulu. Namun hari ini, ketika ia mendengar nama Adrian Smith disebut di tengah-tengah percakapan saat sarapan, ia langsung girang dan berkata ‘iya’, padahal papanya belum selesai dengan kalimatnya. Gadis itu tidak mau terlihat biasa saja di depan Adrian. Maka setelah sarapan, ia segera mengunci diri di kamar dan mengeluarkan semua bajunya dari dalam lemari. Mencoba satu
Adrian POV. “Apa yang kamu lakukan sampai baru pulang Adrian?” tanya nenek ketika aku menyapanya di meja kerjanya malam ini. Masih ada setumpuk dokumen yang berada di depannya, dan nenek juga terlihat belum ingin meninggalkan ruangan itu sekarang. Terlihat bagaimana Margareth tengah menuangkan teh hangat pada sebuah cangkir dan meletakkannya di samping dokumen-dokumen itu. Aku mencium kening nenek. “Tadi Samantha mengajakku berjalan-jalan dulu nek.” Sahutku berbohong. Aku tidak mau mengatakan bahwa aku sempat masuk rumah sakit dan mendapatkan suntikan penenang. Senyum nenek mengembang. “Apa kalian begitu dekat”? tanyanya kemudian. Aku tidak mengerti dengan ‘begitu-dekat’ yang dimaksud nenek, namun aku mengangguk. Menurutku kami dekat karena kami adalah teman. Itu juga yang Samantha katakana padaku tadi. “Bukankah dia cantik?” tanya nenek lagi. Aku mengerutkan keningku sebelum akhirnya kembali mengangguk samar. Ku lirik Margareth yang tersenyum
Elisabeth POV.Margareth ternyata adalah seorang wanita yang pandai sekali membuat kue. Siang ini, ketika Reinard masih berada di kantor, wanita itu mengajakku ke dapur dan memintaku untuk membantunya membuat muffin.Tangan wanita itu begitu cekatan saat mencampur adonan, kemudian memasukkannya ke dalam cup-cup kertas dan terakhir memasukkannya ke dalam oven.“Ini muffin coklat kegemaran nenek.” Kata Margareth ketika ia selesai menutup pintu oven. “Mari kita menunggu kue ini jadi dengan minum teh di serambi belakang El.” Wanita itu mengambil dua cangkir dan menuang teh ke dalamnya.Setelah teh melati itu jadi, kami berjalan beriringan menuju serambi belakang, dekat dengan kolam ikan.“Bagaimana dengan pekerjaanmu sekarang El?” Margareth menyesap tehnya dengan penuh perasaan.“Begitulah…aku merasa sedikit menganggur ketika Reinard sudah mulai bekerja.” Sahutku.Wanita dengan rambut
Adrian POV.“Ini dimana?” aku melihat kilat mata Elisabeth yang begitu terpana memandang sebuah bangunan besar di depan kami.Aku tersenyum. Ku tarik tuas handremku kemudian membuka pintu mobilku dengan begitu bersemangat. Setelah mengitari depan mobil, akhirnya aku sampai di sampingnya untuk membuka pintu.“Apa kamu ingin berdoa Adrian?” gadis itu menyambut uluran tanganku untuk membantunya turun.aku hanya mengedikan bahu, lalu mengaitkan jemariku dengan jemarinya. Berdua kami menaiki anak tangga tinggi yang menghubungkan dengan gereja besar di depan kami. Aku tahu ia terpesona, bukan denganku namun dengan gereja megah yang akan kami masuki ini. Tangga berundak-undak tinggi dengan pohon-pohon tanpa daun karena musim dingin menjadi penyambut kami hari ini. Angin sore yang bertiup lembut, memainkan rambut panjangnya yang indah.Kulirik diam-diam wajahnya dari samping. Bibir yang sedikit terbuka membuatku gemas ingin melumatn
Elisabeth POV.“Sepertinya kamu punya segudang masalah El?” David tersenyum miring sebelum akhirnya mengambil gelas kopinya dan menyesapnya dengan nikmat.Aku mendengus. “Sok tau.” Aku memainkan gelas kopiku tanpa selera. Sejam lalu ketika pria itu menemukanku di pinggir sungai Danube, ia akhirnya mengajakku ke sebuah café di dekat tempat itu. untuk kali ini aku tidak bisa menolak. Lagipula aku juga sedang tidak ingin pulang dan bertemu Adrian.“Kalau tidak, kamu pasti akan mengangkat ponselmu yang berisik itu kan?” David mengedik padaku. Sejak tadi ponselku yang berada di saku celana memang terus bergetar dan aku tahu jika itu adalah telepon dari Adrian.“Aku juga tidak memintanya untuk terus berbunyi seperti ini.” Aku mengambil ponselku lalu mematikan dayanya. “Puas?” aku membanting benda pipih itu di atas meja.David tergelak.“Apa kalian sedang terlibat sebuah masal
David hanya bisa mematung ketika Adrian menarik tangan Elisabeth, hingga akhirnya tubuh gadis itu berada di bawah payung yang sama dengan pria itu. Ada rasa panas yang bergolak di dada David, ia tahu jika ada sekelumit cemburu yang berada di hatinya.Pria itu tahu, jika Elisabeth tak pernah peduli dengan perasaannya. Semua itu salahnya, karena ia sudah meninggalkan gadis itu beberapa tahun yang lalu tanpa kepastian. Dan kini, ketika ia kembali dipertemukan dengan gadis itu, ia tahu jika Elisabeth sudah terlanjur membencinya. Mengubur namanya dalam-dalam dan telah menggantinya dengan nama pria lain yaitu Adrian Smith. Seorang pria yang begitu dibencinya, bahkan ia mungkin tak akan pernah sudi memaafkannya.Seandainya Elisabeth tahu, jika dua tahun ini hidupnya hampa tanpa sosok gadis itu. senyum Elisabeth sering muncul di mimpi malamnya. Pernah David ingin kembali ke Indonesia dan meminta maaf pada gadis itu, namun apa yang terjadi di hidupnya sangat berat. Ia harus men
Elisabeth POV.Aku tahu dia kecewa dengan kalimatku, namun aku yakin ia tak akan mungkin merasakan hal demikian jika ia masih mengingat masa lalunya. Aku hanyalah butiran debu, hanyalah sebuah obyek yang menghubungkannya dengan masa lalunya. Adrian memang kehilangan ingatan tentang gadis itu, namun ia tak kehilangan kenangan dan impian bersamanya.Kami terdiam di dalam mobil, bahkan ketika sampai di pavillium pria itu langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa mengatakan apapun padaku. Sejujurnya hatiku sakit,dan sejujurnya aku juga ingin sekali menikah dengannya. Namun aku tidak mau hanya sebagai penghubung dengan masa lalunya.Setelah membersihkan diri, aku segera naik ke atas kasur. Badanku sedikit demam karena terpapar udara dingin dan hujan. Bagaimana tidak, aku hanya mengenakan mantel yang tidak terlalu tebal lalu udara dingin serta hujan benar-benar membuat tubuhku membeku.Aku tidur miring menghadap ke jendela. Di luar, hujan masih terdengar turun nam