Owen berdiri di depan pintu gerbang sebuah rumah, ia lalu menekan bel yang ada di dekat gerbang sambil berteriak. "Keluarlah jika kamu bukan pengecut!" Tak berselang lama gerbang terbuka, diikuti langkah kaki dua pria berbadan besar serta berwajah garang yang muncul dari balik gerbang.
"Kalau bertamu itu yang sopan!" tegur salah seorang dari mereka. Sementara rekannya langsung menyuruh pergi. "Pergi sana! Sebelum kamu pulang dengan kondisi tubuh tak lengkap!"
Sebenarnya, dua pria penjaga gerbang merasa heran akan pemuda yang ada di hadapannya, sebab laki-laki itu memiliki wajah yang penuh luka lebam serta bersikap menantang.
"Suruh majikan kalian keluar!" bentak Owen, raut muka dan sorot matanya terlihat penuh kemarahan.
"Maaf tapi kamu ...." Belum sempat kalimat itu selesai Owen sudah berusaha menerobos masuk, akan tetapi, gerakannya dengan mudah dihentikan.
"Maaf Mas, bisa sopan gak!" se
Danu Prasetyo berniat mengantarkan pulang Amara setelah karyawati di kafenya itu meminta ijin pulang lebih awal, tapi sayang, tawaran darinya ditolak oleh perempuan tersebut dengan sebuah alasan klasik. Ia pun hanya berdeham sambil menghela napas setelah upayanya dekat dengan Amara kembali gagal. Bersama salah satu karyawati lain, dirinya mengantar gadis itu sampai di depan pintu kafe."Kau tidak apa-apa pulang sendiri?" tanya Maya sambil memandang lekat sahabatnya.Amara menggeleng lemah seraya berujar. "Aku baik-baik saja kok." Nada suaranya sangat pelan juga lemah."Lebih baik aku atau Maya antar kamu pulang," sambung Danu, selain merasa khawatir pada anak buahnya, dia ingin mencuri kesempatan."Enggak usah, Pak," tolaknya, "aku bisa pulang sendiri."****Sebuah sepeda motor matic berhenti di parkiran rainbow cafe, sang pengemudi berja
"Makasih ya," tutur Amara selepas turun dari sepeda motor. Owen hanya menatap gadis itu sambil membalas. "Sama-sama." Selanjutnya, tancap gas dari lokasi. Amara terus tersenyum melihat Owen yang kian menjauh, perasaan buruknya sudah sedikit membaik, lalu membuka pintu gerbang dan melangkah masuk ke rumah. Saat ia berjalan melewati ruang tamu mendapati sang bunda tengah asyik menonton acara gosip pada televisi, kemudian mengubah langkah kakinya menjadi pelan, sebab takut ditanya aneh-aneh oleh ibunya. "Amara!" panggil perempuan tiga puluh tahun itu sambil menoleh ke belakang secara tiba-tiba. "Iya Bunda," sahut Amara gugup. Ibu satu orang anak itu memandang Amara, menelisik tajam karena merasakan keanehan dari sikapnya, lalu menghela napas sebelum bertanya. "Kok Bunda gak dengar suara motormu?" Gadis itu kian cemas, bingung sekaligus takut menceritakan kebenaran pada ibunya, maka memil
Alyssa melangkah turun dari mobil sembari memberi perintah pada supirnya untuk pulang. Sedangkan Owen yang lebih dulu keluar dari mobil merasa bingung dan pertanyaan. "Kau ... mengapa menyuruh supirmu pergi?"Gadis itu hanya tersenyum ringan sebelum menjawab. "Kan nanti kamu mau antar aku pulang."Owen mendesah lesu sambil menepuk keningnya dengan tangan kanan, kemudian, mengajak perempuan itu untuk masuk ke dalam rumah. Mereka berjalan masuk tanpa berbicara, karena masing-masing bingung untuk memulai topik obrolan. Lalu, setelah membuka pintu, ia mempersilakan tamunya itu untuk masuk."Masuklah, tapi jangan anggap rumah sendiri.""Iya," balas gadis berusia dua puluh satu tahun sambil sedikit cemberut menatap temannya."Mau minum apa?" tawar Owen setelah keduanya berada di dalam rumah.Alyssa termenung sesaat, ingat percakapan terakhir dirinya dengan pemilik rumah. "Yang a
Tepat pukul setengah delapan malam Owen sudah mengantarkan Alyssa sampai depan gerbang rumahnya. Lalu, gadis itu segera turun dari sepeda motor seraya berterima kasih. "Makasih ya." Owen membalas kalimat tersebut hanya dengan senyuman kecil sebelum berpamitan serta melenggang pergi."Aku pulang dulu.""Iya, hati-hati di jalan," tukas Alyssa. Kemudian, terdengar bunyi mesin sepeda motor diikuti pemiliknya yang pergi dari lokasi.Tak berselang lama, pintu gerbang terbuka dan menampilkan dua pria penjaga gerbang yang menyambut putri tuan rumah mereka. Berbeda dari biasanya, Alyssa menatap dua anak buahnya sambil melempar senyum hangat lalu berjalan masuk, yang menyebabkan kedua pria itu heran. Putri dari Nicholas tersebut terus berjalan riang masuk ke dalam rumah, tetapi suasana ceria hatinya mendadak berubah suram tatkala mendapati sang ayah sedang duduk di ruang tamu menunggunya."Dari mana?" tanyanya denga
Pagi yang cerah, matahari sudah menampakkan diri dan mengusir hawa dingin. Tepat pukul tujuh, setelah sarapan Amara langsung bersiap berangkat kerja, tanpa lupa berpamitan pada sang ibu yang tengah sibuk di dapur. Namun, tatkala gadis itu membuka pintu dan hendak berjalan keluar, melihat sebuah kotak kardus tergeletak tepat di depan pintu. Dia penasaran, lantas memanggil ibunya."Bunda ...!" Pemilik nama tersebut segera membalas dari dalam rumah disertai langkah kaki mendekat."Iya Sayang. Ada apa?""Itu," sambungnya sambil menunjuk kotak kardus.Bola mata Susi Astuti mengikuti jari telunjuk anaknya, kemudian malah balik bertanya. "Itu apa, Sayang?"Kepala Amara bergerak ke kanan kiri, diikuti bahu terangkat naik. "Gak tau, Bunda," jawabnya.Ibu dan anak itu bertukar pandangan bingung, sampai akhirnya Amara memutuskan untuk membuka kardus. Namun, sesaat sebelum membu
Sebenarnya tidak sulit mengalahkan empat orang pria itu, akan tetapi dirinya tidak ingin berurusan dengan polisi akibat membuat kekacauan di tempat umum, maka melarikan diri adalah pilihan utama. Ia berlari masuk ke dalam gang untuk bersembunyi juga memantau situasi, setelah yakin jika cukup aman, segera kembali ke lokasi sepeda motornya berada dengan cara memutar jalan. Namun, tatkala hampir sampai di tempat tujuan, terdapat satu orang yang berjaga di sana."Sial!" keluh Owen. Lalu, mencari cara menyingkirkan orang itu tanpa membuat keributan.Owen tersenyum tipis saat muncul sebuah ide di kepalanya, kemudian bersiul ke arah orang itu guna memancing perhatian. Sosok berwajah garang dan berbadan kurus itu menoleh ke sumber suara, pandangan matanya terkunci pada laki-laki yang sedang dicari oleh teman-temanya. Tanpa banyak berpikir segera berlari ke arah Owen untuk menangkapnya. Sementara itu, pemuda berparas tampan hanya memasang senyum le
Selepas menghabiskan waktu bersama selama beberapa menit, Amara pun berpisah dengan Alyssa. Gadis dua puluh tahun itu kemudian pergi mencari keberadaan sang ibu, dan mendapati ibunya tengah asyik berbincang bersama Bintang. Amara tidak senang melihat hal tersebut, lantas segera melangkahkan kaki mendekat guna menghentikan pembicaraan mereka. "Bunda!" panggilnya. Si empu nama menoleh ke sumber suara."Iya Sayang?""Pulang yuk!" ajaknya.Susi Astuti melihat Bintang melalui sudut matanya, kemudian dengan cepat pemuda itu memberikan respon. "Yuk, aku antar kalian pulang.""Tak perlu repot-repot Nak Bintang," sanggah perempuan tiga puluh tiga tahun itu sambil sedikit tertawa. Sedangkan Bintang yang mengerti kode dari calon ibu mertuanya segera berdiri seraya kembali berkata. "Ayo Amara kita pulang!" Sembari sedikit membusungkan dada serta kedua tangan yang sibuk merapikan rambut.Amara me
Di ruang Unit Gawat Darurat, Amara segera mendapatkan pertolongan pertama, luka lecet pada lengan kirinya segera diobati, tetapi untuk pemulihan rasa sakit di pergelangan kaki kanan membutuhkan waktu sekitar dua sampai empat hari, sebab kaki kanannya terkilir. Ia sebenarnya bisa langsung pulang ke rumah setelah perawatan pada lukanya selesai, akan tetapi, Bunda dan Bintang bersikeras memaksa dirinya untuk menginap setidaknya satu malam. Amara yang tidak ingin membantah keinginan sang ibu hanya mampu menurut.Baru dua jam berada di Rumah Sakit ia sudah bosan, apalagi hanya berbaring tanpa ada kegiatan. Amara melalui sudut matanya melihat sang bunda yang duduk di sebelahnya sambil bermain handphone, gadis itu pun ingin melakukan hal serupa, kemudian segera berganti posisi duduk di atas tempat tidur. "Bunda," lirihnya. Si pemilik nama menoleh ke samping seraya bertanya. "Ada apa? Kamu lapar?"Amara menggeleng lemah sambil menunjukkan