Share

Season 1: Pertemuan.

Anindita Putri Amara Febiola adalah gadis berusia dua puluh tahun, mempunyai paras cantik dan kulit putih, serta rambut warna hitam yang panjang hingga ke punggung. Selain memiliki wajah cantik, perawakan Amara pun terbilang sedang, dengan tinggi badan sekitar 163cm dan berat badan proposional, sehingga membuat badannya terlihat langsing.

Anindita Putri Amara Febiola atau biasa dipanggil Amara disuruh pulang lebih cepat sebelum jam kerjanya berakhir, hal itu terjadi karena manajer kafe dan beberapa temannya mengira bahwa dirinya sedang sakit. Amara pun tak memprotes hal tersebut, pasalnya sekarang nuansa hatinya sedang buruk selepas melihat mantan kekasihnya datang ke kafe. Ia pun bingung untuk menanggapi gejolak perasaan yang ada di hati, sebab rasa senang, sedih dan marah bercampur menjadi satu.

"Amara!" Seorang gadis memanggil dan berjalan menghampiri pemilik nama sembari bertanya. "Apa kamu tidak apa-apa pulang sendiri?"

Amara menggeleng lemah sambil tersenyum paksa. "Aku baik-baik saja, hanya butuh sedikit istirahat," jawabnya.

Huuffft ....

Gadis itu menghela napas seraya memandang muka temannya yang pucat, dia merasa khawatir dan takut terjadi hal buruk pada temannya ketika perjalanan pulang. "Ya sudah kalau begitu, tapi nanti kalau sampai rumah langsung chat aku."

"Oke," timpal Amara, membuat lawan bicaranya hanya geleng-geleng kepala.

Perempuan itu adalah Maya, sahabat sekaligus rekan kerja dari Amara. Dia sudah bersahabat cukup lama dengan Amara, tapi baru kali ini melihat wajahnya temannya begitu pucat, atau lebih tepatnya sedih. Namun, Maya tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan hal tersebut, karena harus segera kembali bekerja dan menutupi kekosongan Amara.

Singkat cerita, setelah berpamitan pada manajer kafe dan teman-temannya, Amara segera pergi dari kafe. Namun, bukannya pulang ke rumah, tapi malah pergi berjalan-jalan ke taman guna membuang rasa penat yang tengah dirasakan. Gadis itu berjalan tanpa arah berkeliling taman sambil menikmati suasana dan udara taman, hingga tiba-tiba kedua kakinya berhenti melangkah saat berada di depan sebuah bangku taman. Ia memandang bangku itu tanpa berkedip, diikuti sejumlah kenangan yang muncul di pikiran juga hatinya. Lalu, dengan langkah lemah berjalan ke bangku tersebut sebelum duduk.

Raut wajah Amara nampak kembali bersedih, disertai kedua bola matanya yang nanar dan hendak menangis, apalagi perasaan menyakitkan keluar dari dalam hatinya. Hingga selang beberapa detik, kedua pipinya sudah basah oleh air mata.

"Tuhan, mengapa ia kembali dan menghadirkan rasa sakit yang sangat menyiksa."

#

"Permisi ...."

Amara yang masih sibuk menangis dikejutkan oleh suara laki-laki yang ada di depannya, kedua tangannya pun bergerak cepat menghapus air mata, selanjutnya, melihat ke arah lelaki tersebut.

Sementara laki-laki itu hendak melanjutkan ucapannya, tapi setelah melihat gadis itu menangis, dia langsung mengurungkan niat. "Maaf." Sepatah kata yang keluar dari mulutnya karena merasa mengganggu waktu gadis yang tengah bersedih.

Amara hanya menatap sesaat laki-laki yang ada di hadapannya tanpa ingin membalas perkataan. Ia lalu berdiri dan berlalu pergi tanpa menggubris laki-laki tersebut. Namun, baru beberapa langkah dirinya dikejutkan oleh lelaki itu yang kembali berbicara serta mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Merasa curiga, Amara segera menjaga jarak sambil menatap tajam lelaki itu, dan siap berteriak keras meminta pertolongan jika laki-laki itu berbuat aneh.

"Maaf Mbak, gak usah takut," tutur halus dan sopan dari lelaki itu sambil tersenyum, tangan kanannya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecil yang dibawanya. "Ini Mbak." Seraya menyerahkan benda tersebut.

Amara tersenyum geli dalam hati karena salah mengira dan berpikiran buruk. Ia kemudian mengangguk sembari meraih sapu tangan yang diberikan oleh laki-laki yang tak dikenalnya, lalu tanpa berterima kasih kembali berjalan pergi.

Sedangkan laki-laki itu memandang penuh bingung dengan senyuman aneh yang terukir pada bibirnya. Selanjutnya, ia duduk menempati bangku taman sambil tangan kanannya mengeluarkan bungkus rokok dari saku celana. Tatkala menikmati sebatang rokok dan pemandangan taman, pemuda itu tersadar, bahwa gadis yang ditemuinya tadi adalah orang yang sama ketika berada di kafe.

"Sungguh aneh," bathin laki-laki itu.

Namanya adalah Owen Alfiansyah Fazhaira, laki-laki berparas tampan dan berusia dua puluh satu tahun. Postur badannya terbilang sedang, dengan tinggi 168cm dan berat seimbang. Owen adalah penjual berbagai macam barang melalui aplikasi online, mulai dari alat elektronik seperti handphone, laptop, juga menjual juga berbagai jenis sepatu dan pakaian.

Sebenarnya, tadi dirinya menyapa gadis itu karena mengira bahwa sosok tersebut adalah pembeli yang sedang menunggunya, tapi ternyata ia malah salah orang, hal tersebut membuatnya merasa sedikit malu.

#

19.45 WIB.

Amara berada di dalam kamar dan berbaring di tempat tidur sambil memandangi langit-langit kamarnya, perasaannya sudah sedikit membaik walau belum sepenuhnya pulih. Ia masih tak menyangka bahwa tadi siang melihat mantan kekasihnya yang memutuskan kuliah di luar negeri, mengetahui hal tersebut, Amara mengira bahwa mantan kekasihnya sudah menyelesaikan pendidikan dan kembali ke tanah air.

Issshh ... mengapa aku mikirin dia sih!

Gadis itu segera membuang pikiran tentang mantannya, dan berganti memikirkan pemuda yang tadi ditemuinya di taman. Entah mengapa, dia merasa agak malu membayangkan kejadian tadi siang. Dengan segala macam hal yang berkutat di kepalanya, Amara merasa lapar, tapi tidak ingin memakan sesuatu yang berat serta hanya ingin memakan makanan ringan, lantas memutuskan untuk pergi ke mini market yang tak jauh dari rumahnya.

Amara melenggang pergi ke mini market menggunakan sepeda motor lengkap dengan helm, selain berguna sebagai pelindung kepala, tetapi juga merupakan aturan berkendara yang baik dan aman. Setelah lima belas menit berbelanja, ia keluar dari mini market sambil membawa dua kantung plastik yang berisi penuh makanan ringan. Namun, langkah kakinya tiba-tiba terhenti dengan pandangan yang tertuju ke arah sepeda motornya, pasalnya dia tidak melihat helm miliknya berada pada tempatnya alias hilang. Kedua kantung plastik yang dibawanya segera jatuh, dengan mata membelalak tajam dirinya mengumpat kasar dalam hati.

Taik!

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status