Anindita Putri Amara Febiola adalah gadis berusia dua puluh tahun, mempunyai paras cantik dan kulit putih, serta rambut warna hitam yang panjang hingga ke punggung. Selain memiliki wajah cantik, perawakan Amara pun terbilang sedang, dengan tinggi badan sekitar 163cm dan berat badan proposional, sehingga membuat badannya terlihat langsing.
Anindita Putri Amara Febiola atau biasa dipanggil Amara disuruh pulang lebih cepat sebelum jam kerjanya berakhir, hal itu terjadi karena manajer kafe dan beberapa temannya mengira bahwa dirinya sedang sakit. Amara pun tak memprotes hal tersebut, pasalnya sekarang nuansa hatinya sedang buruk selepas melihat mantan kekasihnya datang ke kafe. Ia pun bingung untuk menanggapi gejolak perasaan yang ada di hati, sebab rasa senang, sedih dan marah bercampur menjadi satu.
"Amara!" Seorang gadis memanggil dan berjalan menghampiri pemilik nama sembari bertanya. "Apa kamu tidak apa-apa pulang sendiri?"
Amara menggeleng lemah sambil tersenyum paksa. "Aku baik-baik saja, hanya butuh sedikit istirahat," jawabnya.
Huuffft ....
Gadis itu menghela napas seraya memandang muka temannya yang pucat, dia merasa khawatir dan takut terjadi hal buruk pada temannya ketika perjalanan pulang. "Ya sudah kalau begitu, tapi nanti kalau sampai rumah langsung chat aku."
"Oke," timpal Amara, membuat lawan bicaranya hanya geleng-geleng kepala.
Perempuan itu adalah Maya, sahabat sekaligus rekan kerja dari Amara. Dia sudah bersahabat cukup lama dengan Amara, tapi baru kali ini melihat wajahnya temannya begitu pucat, atau lebih tepatnya sedih. Namun, Maya tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan hal tersebut, karena harus segera kembali bekerja dan menutupi kekosongan Amara.
Singkat cerita, setelah berpamitan pada manajer kafe dan teman-temannya, Amara segera pergi dari kafe. Namun, bukannya pulang ke rumah, tapi malah pergi berjalan-jalan ke taman guna membuang rasa penat yang tengah dirasakan. Gadis itu berjalan tanpa arah berkeliling taman sambil menikmati suasana dan udara taman, hingga tiba-tiba kedua kakinya berhenti melangkah saat berada di depan sebuah bangku taman. Ia memandang bangku itu tanpa berkedip, diikuti sejumlah kenangan yang muncul di pikiran juga hatinya. Lalu, dengan langkah lemah berjalan ke bangku tersebut sebelum duduk.
Raut wajah Amara nampak kembali bersedih, disertai kedua bola matanya yang nanar dan hendak menangis, apalagi perasaan menyakitkan keluar dari dalam hatinya. Hingga selang beberapa detik, kedua pipinya sudah basah oleh air mata.
"Tuhan, mengapa ia kembali dan menghadirkan rasa sakit yang sangat menyiksa."
#
"Permisi ...."
Amara yang masih sibuk menangis dikejutkan oleh suara laki-laki yang ada di depannya, kedua tangannya pun bergerak cepat menghapus air mata, selanjutnya, melihat ke arah lelaki tersebut.
Sementara laki-laki itu hendak melanjutkan ucapannya, tapi setelah melihat gadis itu menangis, dia langsung mengurungkan niat. "Maaf." Sepatah kata yang keluar dari mulutnya karena merasa mengganggu waktu gadis yang tengah bersedih.
Amara hanya menatap sesaat laki-laki yang ada di hadapannya tanpa ingin membalas perkataan. Ia lalu berdiri dan berlalu pergi tanpa menggubris laki-laki tersebut. Namun, baru beberapa langkah dirinya dikejutkan oleh lelaki itu yang kembali berbicara serta mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Merasa curiga, Amara segera menjaga jarak sambil menatap tajam lelaki itu, dan siap berteriak keras meminta pertolongan jika laki-laki itu berbuat aneh.
"Maaf Mbak, gak usah takut," tutur halus dan sopan dari lelaki itu sambil tersenyum, tangan kanannya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecil yang dibawanya. "Ini Mbak." Seraya menyerahkan benda tersebut.
Amara tersenyum geli dalam hati karena salah mengira dan berpikiran buruk. Ia kemudian mengangguk sembari meraih sapu tangan yang diberikan oleh laki-laki yang tak dikenalnya, lalu tanpa berterima kasih kembali berjalan pergi.
Sedangkan laki-laki itu memandang penuh bingung dengan senyuman aneh yang terukir pada bibirnya. Selanjutnya, ia duduk menempati bangku taman sambil tangan kanannya mengeluarkan bungkus rokok dari saku celana. Tatkala menikmati sebatang rokok dan pemandangan taman, pemuda itu tersadar, bahwa gadis yang ditemuinya tadi adalah orang yang sama ketika berada di kafe.
"Sungguh aneh," bathin laki-laki itu.
Namanya adalah Owen Alfiansyah Fazhaira, laki-laki berparas tampan dan berusia dua puluh satu tahun. Postur badannya terbilang sedang, dengan tinggi 168cm dan berat seimbang. Owen adalah penjual berbagai macam barang melalui aplikasi online, mulai dari alat elektronik seperti handphone, laptop, juga menjual juga berbagai jenis sepatu dan pakaian.
Sebenarnya, tadi dirinya menyapa gadis itu karena mengira bahwa sosok tersebut adalah pembeli yang sedang menunggunya, tapi ternyata ia malah salah orang, hal tersebut membuatnya merasa sedikit malu.
#
19.45 WIB.
Amara berada di dalam kamar dan berbaring di tempat tidur sambil memandangi langit-langit kamarnya, perasaannya sudah sedikit membaik walau belum sepenuhnya pulih. Ia masih tak menyangka bahwa tadi siang melihat mantan kekasihnya yang memutuskan kuliah di luar negeri, mengetahui hal tersebut, Amara mengira bahwa mantan kekasihnya sudah menyelesaikan pendidikan dan kembali ke tanah air.
Issshh ... mengapa aku mikirin dia sih!
Gadis itu segera membuang pikiran tentang mantannya, dan berganti memikirkan pemuda yang tadi ditemuinya di taman. Entah mengapa, dia merasa agak malu membayangkan kejadian tadi siang. Dengan segala macam hal yang berkutat di kepalanya, Amara merasa lapar, tapi tidak ingin memakan sesuatu yang berat serta hanya ingin memakan makanan ringan, lantas memutuskan untuk pergi ke mini market yang tak jauh dari rumahnya.
Amara melenggang pergi ke mini market menggunakan sepeda motor lengkap dengan helm, selain berguna sebagai pelindung kepala, tetapi juga merupakan aturan berkendara yang baik dan aman. Setelah lima belas menit berbelanja, ia keluar dari mini market sambil membawa dua kantung plastik yang berisi penuh makanan ringan. Namun, langkah kakinya tiba-tiba terhenti dengan pandangan yang tertuju ke arah sepeda motornya, pasalnya dia tidak melihat helm miliknya berada pada tempatnya alias hilang. Kedua kantung plastik yang dibawanya segera jatuh, dengan mata membelalak tajam dirinya mengumpat kasar dalam hati.
Taik!
****
Amara seharusnya datang ke kafe jam satu siang karena hari ini dirinya shift siang, akan tetapi, perempuan itu sudah tiba di kafe ketika waktu masih menunjukkan pukul dua belas lebih dua puluh menit. Saat dia membuka pintu kafe dan berjalan masuk, langkah kakinya seketika terhenti ketika melihat pengunjung kafe hendak keluar dan berdiri tepat di hadapannya.Dada Amara menjadi sesak, napasnya sedikit tak beraturan, apalagi sejumlah kenangan kembali muncul di pikiran dengan rasa sakit di hati yang menyeruak keluar. Tubuhnya bergetar, dengan raut muka pucat serta sedih yang bercampur menjadi satu. Tak ingin terus melihat orang itu, Amara mengalihkan pandangan ke arah lain.Di sisi lain, laki-laki itu pun nampak terkejut, bola matanya membola sempurna dan seperti akan melompat keluar dari tempatnya. Ia hendak menyapa, tetapi suaranya seakan tertahan dan tidak dapat keluar, satu-satunya yang bisa dilakukan olehnya hanyalah memandangi w
Bandara Soekarno-Hatta 09.00 WIB. Kehadiran seorang wanita muda yang berjalan di lobi bandara langsung menarik perhatian semua orang, khususnya para laki-laki yang memperhatikan perempuan seolah tanpa berkedip. Sedangkan si perempuan itu tetap berjalan normal, terlihat santai dan tidak peduli pada tatapan orang-orang. Namanya adalah Alyssa Maharani Kiehl, putri dari pengusahaan ternama di Indonesia yang baru saja menyelesaikan pendidikan di luar negeri. Memiliki paras cantik dan kulit putih, ditambah berbadan langsing dengan tinggi 167cm. Setelah keluar dari lobi bandara, Alyssa langsung disambut oleh dua orang pria yang mengenakan setelan jas serba hitam. Kedua orang itu selain mempunyai badan yang six pack juga memiliki wajah lumayan tampan untuk seukuran pengawal atau supir. "Selamat datang kembali, Nona," sambut salah satu pria sambil menurunkan pand
23.15 WIB. Setelah jam kerjanya selesai, Amara segera berganti pakaian dan bergegas pulang, akan tetapi, saat dirinya berjalan melewati pintu kafe dikejutkan oleh kehadiran Bintang yang berdiri di luar kafe dan sedang menunggunya. Kejadian ini terasa sedikit familiar baginya, sehingga menimbulkan gejolak perasaan berserta kenangan kecil yang muncul. Namun, ia menekan perasaannya, sebab tidak ingin kembali merasakan sakit yang sama seperti di masa lalu. Amara kemudian berjalan menuju tempat sepeda motornya terparkir, mengabaikan laki-laki itu dan berpura-pura tak melihatnya. Di sisi lain, Bintang sedari tadi menunggu Amara selesai bekerja. Senyum di bibirnya seketika mengembang tatkala mengetahui mantan kekasihnya keluar dari kafe serta bersiap pulang, maka tanpa membuang waktu segera memanggilnya. "Amara!" Mendengar namanya dipanggil, si empu nama segera mempercepat langkah ka
Tok!Tok!Tok!Seorang pria paruh baya mengetuk pintu kamar majikannya dan lanjut berbicara. "Selamat pagi Nona Alyssa, sudah waktunya sarapan. Tuan Besar sudah menunggu di ruang makan.""Ya." Terdengar suara menyahut dari dalam kamar. Kemudian, tak berselang lama pintu kamar terbuka dan seorang gadis yang memakai setelan pakaian kasual melangkah keluar. Sedangkan pria paruh baya yang berdiri di depan kamar hanya melempar senyum sembari sedikit menundukkan kepala.Alyssa mengabaikan kepala pelayan rumahnya dan terus melangkah menuju ke ruang makan, sesampainya di sana, melihat sang ayah yang sedang makan ditemani beberapa pelayan yang berdiri di sisi kanan juga kiri ruangan. Berbagai macam hidangan mewah serta lezat pun sudah terhampar memenuhi meja makan. "Selamat pagi Ayah," sapanya sambil tersenyum sesaat sete
Alyssa Maharani Kiehl melangkah masuk ke dalam kafe, ia berhenti sebentar sambil mencari sosok yang ingin ditemuinya, setelah melihat orang itu, langkah kakinya bergerak menuju sosok tersebut. Tentu saja kedatangan Alyssa menyita sebagian pandangan orang-orang yang sibuk menonton pertikaian, mereka bahkan seolah tak berkedip ketika menatap gadis itu.Dia kemudian melambaikan tangan kiri sambil menyapa halus juga tersenyum. "Hai ...." Hal itu langsung mengejutkan sekaligus menghentikan perdebatan tiga orang manusia, tetapi, salah seorang yang paling terkejut secara refleks memekik heran."Elu ...?"Alyssa hanya mengangguk juga tersenyum sambil tetap berjalan maju, baru setelah sampai di hadapan orang itu, dia berbicara sembari mengulurkan tangan kanan. "Mana?"Owen menatap bingung gadis itu yang berbicara sok akrab dengannya, padahal mereka sama sekali belum saling mengenal, hanya pernah bertemu sekali seca
Owen dan Amara sudah sampai di taman, selepas memarkir sepeda motor, keduanya langsung berjalan-jalan menikmati suasana taman. Sama seperti ketika dalam perjalanan menuju taman, kali ini pun mereka lebih banyak diam daripada berbicara, ada perasaan malu juga gugup yang mencegah dua insan itu untuk saling mengobrol, hingga Owen memberanikan diri memulai percakapan. "Amara." Si empu nama menoleh cepat sembari bertanya. "Iya?" "Kamu udah lama kerja di kafe?" sambung Owen. "Hampir dua tahun lah," jawabnya. Owen hanya mengangguk mendengar penuturan Amara, jujur, dia bingung harus bertanya apa lagi, sebab perasaan gugup membuatnya ragu. Untung saja gadis itu yang ganti bertanya, sehingga keakraban keduanya mulai tercipta. "Kalau kamu udah lama jualan online?" "Ya lumayan," balasnya. "Sejak aku ...." Owen menghentikan kalimatnya, seolah ada yang sengaja dia rahasi
Saat Amara dan Owen sampai di tempat parkir, tiba-tiba mereka didatangi oleh tiga orang pria yang berpenampilan garang. "Hei bagi duitnya!" ucap kasar satu dari tiga pria tersebut. Hal itu malah membuat Amara murka dan membalas tak kalah kasar."Kalian ini siapa?! Minta duit segala!"Ketiga pria itu saling berpandangan, lalu terkekeh bersama sebelum melecehkan Amara memakai kata-kata. "Gadis cantik jangan galak, sini main sama gue aja, nanti gue kasih yang enak-enak.""Hahahaha ...."Amara marah, tangan kanannya terangkat dan hendak menampar pria yang baru saja menghinanya, akan tetapi, keinginannya itu dihentikan oleh Owen. Ia menatap Owen penuh kebingungan, lalu bertanya. "Ada apa?"Owen hanya tersenyum kecil membalas perkataan Amara, lalu maju satu langkah dan berdiri di depan gadis itu sambil berkata. "Amara, pejamkan matamu sebentar, jangan buka matamu sebelum aku menyuruhmu." Anehnya
Bola mata Alyssa melebar memperhatikan setiap lekuk ruang tamu, sampai tatapan matanya terkunci pada bingkai foto keluarga, lalu beralih ke bingkai foto lainnya yang menunjukkan kedekatan Owen bersama dua temannya, anehnya, latar belakang foto tersebut nampak tidak lazim. Tiba-tiba terdengar bunyi langkah kaki mendekat, ia yang terkejut langsung kembali ke posisi duduk semula, bersikap normal seperti tamu pada umumnya. "Jadi apa tujuanmu datang kemari?" tanya Owen seketika kembali dari dapur dan meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Mendengar pertanyaan itu Alyssa hanya tersenyum lembut, kemudian berdiri sembari mengulurkan tangan. "Kurasa kita harus berkenalan terlebih dulu," tuturnya halus. Owen mengerutkan kening sembari menatap aneh Alyssa, pasalnya gadis itu bersikap sopan, ramah juga lemah lembut, berbeda sekali ketika mereka berjumpa pertama kali. Tak lama kemudian, dia menyambut uluran tangan tersebut seraya