Share

Kencan.

Owen dan Amara sudah sampai di taman, selepas memarkir sepeda motor, keduanya langsung berjalan-jalan menikmati suasana taman. Sama seperti ketika dalam perjalanan menuju taman, kali ini pun mereka lebih banyak diam daripada berbicara, ada perasaan malu juga gugup yang mencegah dua insan itu untuk saling mengobrol, hingga Owen memberanikan diri memulai percakapan.

"Amara."

Si empu nama menoleh cepat sembari bertanya. "Iya?"

"Kamu udah lama kerja di kafe?" sambung Owen.

"Hampir dua tahun lah," jawabnya.

Owen hanya mengangguk mendengar penuturan Amara, jujur, dia bingung harus bertanya apa lagi, sebab perasaan gugup membuatnya ragu. Untung saja gadis itu yang ganti bertanya, sehingga keakraban keduanya mulai tercipta. "Kalau kamu udah lama jualan online?"

"Ya lumayan," balasnya. "Sejak aku ...." Owen menghentikan kalimatnya, seolah ada yang sengaja dia rahasiakan.

"Sejak kapan?" tanya Amara yang terlanjur penasaran. Namun, pertanyaan darinya tidak mendapat jawaban, sebab Owen mengalihkan pembicaraan dan mengajak duduk di bangku taman yang kosong.

"Duduk di sana yuk!"

Gadis itu memicingkan mata juga mengerutkan kening pada lawan bicaranya, sebelum menghela napas serta mengangguk. "Yuk." Amara memilih membuang rasa penasarannya, takut jika bertanya lebih lanjut maka akan melukai perasaan Owen.

Lalu, mereka berjalan menuju bangku dan duduk di sana, sama seperti sebelumnya, kedua lawan jenis itu hanya diam tanpa mengatakan apapun, sampai secara tiba-tiba Owen melontarkan permintaan maaf dan membuat gadis itu terkejut.

"Maaf ya ...."

"Untuk apa? tanya Amara sambil menoleh memandang wajah laki-laki yang ada disampingnya.

Sementara Owen hanya menunduk melihat rumput yang ada di tanah. "Maaf karena tadi aku tidak menjawab pertanyaanmu." Tiba-tiba ia mendengar suara tawa, kemudian mengangkat pandangan ke arah Amara dan melihat gadis itu sedang tertawa renyah. Owen heran, jadi memutuskan bertanya.

"Ada apa?"

Hihihi ....

Amara berhenti tertawa, menatap Owen sambil tersenyum kecil juga berkata. "Santai saja, itu kan hak kamu untuk menjawab atau tidak."

Giliran pemuda itu menghela napas dan tersenyum lega, merasa bahagia bahwa gadis itu tidak marah. Lantas, ia bertanya pada Amara tentang hal yang terjadi di kafe tempo hari, saat itulah baru sadar bahwa telah salah mengajukan pertanyaan.

"Cowok yang ada di kafe waktu itu siapa?"

Raut muka Amara berubah, diikuti suasana hati menjadi buruk. Ia pun terdiam dengan badan gemetar seperti ada luapan perasaan sakit yang hendak keluar. Sementara Owen ingin segera meminta maaf, tapi terlambat karena gadis itu telah mulai bercerita.

#

Beberapa Tahun Sebelumnya.

Kriiinggg ....

Tepat sehabis bel pulang sekolah berbunyi dan guru berpamitan karena jam pelajaran telah usai, para murid segera memasukkan buku serta perlengkapan mereka ke dalam tas, dan setelah selesai berdoa, satu per satu siswa berhamburan keluar kelas. Namun, ada dua orang siswi perempuan yang asyik berbincang di dalam kelas.

"Amara, kamu langsung pulang?" tanya teman sebangku remaja perempuan itu.

"Iya, kalau aku pulang telat, nanti Bunda bakal marah," jelasnya. Teman Amara itu mengangguk, lalu berdiri dari tempat duduk dan berpamitan. "Kalau gitu aku duluan aja." Sesudah itu berjalan keluar kelas.

"Iya hati-hati, Vera."

Kini, Amara sendirian di kelas, duduk bersandar di kursi sambil menghela napas dan memijat kepala juga leher yang terasa pegal. Setelah dirasa cukup merilekskan badan, segera bangkit dan beranjak pergi, langkah kecil kakinya dengan cepat menyusuri koridor sampai ke halaman depan sekolah, tetapi pada saat itulah dirinya tiba-tiba berhenti menggerakkan kaki. Iris mata Amara memandang para siswa yang berkumpul di halaman, seolah memang sedang menunggunya, termasuk salah satu siswa perempuan yang menjadi sahabatnya pun terdapat di sana. Ia bingung, ekspresi wajahnya sulit diartikan, sebab semua sorot mata tertuju ke arahnya. Hingga, gadis yang merupakan sahabatnya berjalan menghampiri.

"Ada apa ini Vera?" Amara bertanya lebih dulu sebelum sahabatnya itu sempat berbicara.

Namun, Vera hanya tersenyum simpul, lalu menggerakkan tangannya ke arah kerumunan, pada saat itulah lautan siswa itu terbelah menjadi dua bagian, seakan memberi jalan untuk Amara lewat, sekaligus memperlihatkan Bintang yang sedang berdiri di sana sambil membawa satu buket bunga. Setelah itu, Vera berjalan menjauh dari Amara.

Sedangkan Amara hanya terpaku di tempat saat melihat laki-laki itu berjalan ke arahnya, meski begitu ia tahu yang sedang terjadi, karena hal itulah yang menjadi alasan dadanya berdegup kencang serta wajahnya tersipu malu. Sesampainya di depan Amara, Bintang langsung berlutut sembari memberikan bunga juga berbicara.

"Amara ... maukah engkau menjadi pacarku?"

Amara terkejut dengan cara Bintang mengungkapkan isi hati, walau begitu rona kebahagiaan tergambar jelas dari wajahnya. Ia terlalu hanyut dalam perasaan indah yang berbunga-bunga, sehingga tidak mampu menjawab dan hanya menganggukkan kepala.

"Yes!" teriak Bintang yang disusul tepuk tangan oleh semua orang.

#

Untuk pertama kalinya Amara menceritakan kisahnya pada orang lain, padahal dirinya merupakan tipe orang yang sulit menceritakan masalahnya. Selesai bercerita pada Owen, air mata mulai membasahi wajahnya disusul suara tangis.

Owen menghela napas setelah mendengar kisah Amara, kini dia melihat gadis itu sedang berurai air mata. Kemudian, secara refleks kedua tangannya bergerak menghapus air mata di wajah Amara, membuat gadis itu kaget dan langsung memandang Owen.

Owen menjadi gugup dan salah tingkah, tapi sorot matanya terkunci pada paras cantik Amara yang sedang bersedih. Kedua insan lawan jenis itu masih terus berpandangan selama beberapa detik, sampai mereka tersadar dan saling merasa malu. Amara langsung membuang muka ke arah lain, kedua pipinya bersemu merah serta terasa panas, apalagi sebuah perasaan bahagia dah nyaman muncul di hatinya. Sedangkan Owen hanya menundukkan kepala, menatap rerumputan kering yang ada di bawah kakinya, jantung pemuda itu berdegup kencang, disertai perasaan aneh yang belum pernah dirasakannya.

Beberapa menit berlalu dan keduanya masih terdiam karena situasi berubah canggung, sampai akhirnya Owen memberanikan diri bersuara. "Setiap orang boleh bersedih dan menangis jika terluka, tak ada larangan atau yang salah tentang hal itu, yang penting jangan lupa untuk bangkit serta melanjutkan hidup."

Selepas mendengar perkataan itu perasaan Amara menjadi lebih baik, lalu menoleh ke arah Owen sambil berujar. "Terima kasih."

Owen hanya tersenyum canggung dan memperhatikan Amara. "Cari makan yuk?" ajaknya yang dibalas anggukan kepala.

"Yuk."

#

Di tempat lain, Alyssa Maharani Kiehl tengah menikmati makan siang di sebuah restauran, akan tetapi, merasa bahwa hidangan mewah yang tersaji pada mejanya tidak cukup untuk menggugah selera, hal itu disebabkan karena pikiran perempuan dua puluh satu tahun itu berada di tempat lain. Bisa dibilang kalau dirinya sedang memikirkan laki-laki yang baru dikenalnya dalam beberapa hari terakhir, menurutnya, Owen hanyalah pemuda biasa, tidak terlalu tampan dan bukan dari keluarga kelas atas, tapi, ada hal lain dari laki-laki itu yang mampu memikatnya.

"Sial!" keluh Alyssa dalam hati yang tidak dapat berhenti memikirkan Owen. Bibirnya lalu tersenyum misterius tatkala sebuah ide terlintas di benaknya.

Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku

****

Komen (1)
goodnovel comment avatar
KhunDK
Bagus banget ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status