Saat Amara dan Owen sampai di tempat parkir, tiba-tiba mereka didatangi oleh tiga orang pria yang berpenampilan garang. "Hei bagi duitnya!" ucap kasar satu dari tiga pria tersebut. Hal itu malah membuat Amara murka dan membalas tak kalah kasar.
"Kalian ini siapa?! Minta duit segala!"
Ketiga pria itu saling berpandangan, lalu terkekeh bersama sebelum melecehkan Amara memakai kata-kata. "Gadis cantik jangan galak, sini main sama gue aja, nanti gue kasih yang enak-enak."
"Hahahaha ...."
Amara marah, tangan kanannya terangkat dan hendak menampar pria yang baru saja menghinanya, akan tetapi, keinginannya itu dihentikan oleh Owen. Ia menatap Owen penuh kebingungan, lalu bertanya. "Ada apa?"
Owen hanya tersenyum kecil membalas perkataan Amara, lalu maju satu langkah dan berdiri di depan gadis itu sambil berkata. "Amara, pejamkan matamu sebentar, jangan buka matamu sebelum aku menyuruhmu." Anehnya, perempuan dua puluh tahun tersebut tak membantah, langsung mengikuti permintaan Owen.
Selanjutnya, raut muka Owen yang selalu ramah berubah tegas, diikuti sorot mata menjadi tajam. Sementara tiga orang pria itu hanya tersenyum remeh, sama sekali tidak menganggap laki-laki itu sebagai ancaman bahaya, bahkan salah satu dari mereka secara sengaja mengejeknya. "Lihat, ada cowok sok pahlawan!" Yang disambut gelak tawa kedua rekannya.
"Hahahaha ...."
Dia tak merespon ucapan itu, tetap berjalan tenang mendekati tiga orang tersebut untuk bertarung. Salah seorang pria maju, memandang remeh sambil tersenyum mengejek, lalu secara mendadak melancarkan pukulan ke arah Owen. Namun pukulan itu meleset, sebab Owen dengan sigap mengelak sembari memukul balik dagu lawannya. Bugh!
Orang itu terhuyung, tetapi serangan Owen belum selesai, tangan kanannya bergerak cepat memukul sekuat tenaga perut musuhnya, membuat pria tersebut memekik sakit sebelum terjatuh. Selanjutnya, Owen menghujamkan lututnya ke wajah pria itu.Braakk!!!
Aarrgh..!
Wajah pria itu langsung berdarah, tangan kanannya memegang hidung yang terasa sangat sakit, mungkin tulang hidungnya patah. Sementara Owen hanya menatap pria itu dengan ekspresi wajah dingin dan sorot mata tajam. Di sudut lain, dua orang yang merupakan rekan pria itu terkejut menyaksikan temannya tumbang hanya dengan tiga kali serangan. Tak ingin dipermalukan, mereka langsung maju menyerang bersama.
Sikap Owen tetap tenang melihat dua orang itu menyerang bersama, bahkan di wajahnya sama sekali tidak terlihat raut ketakutan. Ia memukul lebih dulu ketika dua orang tersebut sudah mendekat, tetapi serangannya meleset dan hanya mengenai udara, saat itulah ada sebuah tinju yang tertuju ke dadanya. Namun, tangan kanan Owen lebih cepat menangkap pukulan itu sebelum mengenainya, lalu memutar pergelangan tangan musuhnya disertai melayangkan pukulan menyamping ke leher.
Buuggh!
Orang itu terdorong ke samping sambil berteriak sakit, dan pada saat yang sama Owen melepaskan pergelangan tangan musuhnya. Di detik berikutnya, pemuda itu menghujamkan siku tangan kanannya ke mata kanan lawannya, menjadikan pria tersebut menjerit kesakitan sebelum tergeletak di tanah.
Arrgghhh ....
Namun, perkelahian belum usai, satu orang tersisa segera melayangkan serangan bertubi-tubi. Owen tak menghindari serangan itu, menahan setiap pukulan musuh menggunakan kedua lengan tangannya.
Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!
Sebenarnya ia tak sekadar menahan serangan, tetapi menunggu momentum juga celah untuk melepaskan serangan balasan. Saat yang ditunggu tiba, Owen merasa pukulan musuhnya kian lambat serta lemah, lalu memanfaatkan kesempatan itu untuk membalikkan keadaan. Dengan cepat, kuat dan akurat telapak tangan kanannya memukul dagu lawannya, membuat tubuh orang tersebut sedikit terangkat naik, selanjutnya tangan kiri Owen melesat cepat memukul dagu musuh dari arah lain. Bbuuaaakkk! Rangkaian serangan itu diakhiri dengan pukulan keras yang mengenai ulu hati, sekaligus melemparkan tubuhnya musuhnya satu meter ke belakang, hingga membuat orang itu terbaring tak berdaya dan muntah darah.
#
Di sudut lain, Amara penasaran dengan yang terjadi, memang dirinya tidak dapat melihat, akan tetapi kedua telinganya menangkap jelas suara jeritan kesakitan. Ia yang sudah sangat penasaran akhirnya membuka mata, tapi langsung terkejut karena melihat wajah Owen yang tepat ada di depannya dan hanya berjarak beberapa inci.
Haaah!
"Bikin kaget saja," tutur Amara, sedangkan Owen hanya tersenyum kecil padanya. Bola mata gadis itu kemudian melirik ke arah tiga orang yang terbaring sakit di tanah, satu diantaranya bahkan tak sadarkan diri. "Kamu yang melakukan itu?" tanyanya.
Pemuda tersebut menengok ke tiga pria itu, lalu kembali menatap Amara sembari mengangkat bahu. "Mungkin," jawabnya yang terkesan ambigu.
Amara memilih tidak bertanya lagi, hanya tersenyum sembari berucap. "Terima kasih." Setelah itu mengajak Owen untuk pergi mencari makan. "Yuk cari tempat makan." Kalimat tersebut dibalas anggukan kepala juga senyuman, dan Owen langsung menggenggam tangan Amara sambil mengajaknya berjalan pergi.
#
Di tempat lain, Bintang yang sedari mengamati dari kejauhan harus menelan kecewa juga kesal, pasalnya dia merupakan orang yang memberi perintah pada tiga pria tersebut untuk menghajar Owen, tujuannya adalah untuk mempermalukan lelaki itu di hadapan Amara. Namun naas, rencananya gagal total, malah tiga orang yang disuruhnya terkapar tak berdaya. Kemudian, ia mencoba menenangkan emosinya sebelum pergi dari lokasi.
Lain kali kau takkan beruntung!
#
19.00 WIB.
Owen sedang duduk santai di ruang tamu, beristirahat setelah seharian pergi berjalan-jalan dengan Amara. Pemuda itu sama sekali tak merasa lelah, malah bahagia sebab bisa menghabiskan waktu bersama Amara, bahkan tanpa sadar kedua sudut bibirnya terangkat naik.
Tok.
Tok.
Tok.
Ketukan pada pintu rumahnya menghentikan kegiatan melamunnya. "Iya sebentar," sahutnya sebelum beranjak menuju pintu. Namun tatkala membuka pintu dirinya menjadi terkejut, sebab seorang gadis cantik sedang berdiri di hadapannya, ia tidak terpukau, melainkan heran. "Kenapa kau ada di sini?" tanyanya.
Perempuan itu hanya tersenyum cantik serta malah bertanya balik. "Apa kau tidak mempersilakan aku untuk masuk dulu."
Owen memutar bola mata sambil menghela napas. "Ayo masuk." Sesudah itu menuntun tamu tak diundang untuk masuk. Namun, baru berjalan beberapa meter langkah kakinya sudah berhenti, diikuti membalikkan badan seraya bertanya.
"Bagaimana kau tahu alamat rumahku?"
Perempuan itu adalah Alyssa, yang tahu alamat Owen dari informasi anak buahnya. Sedangkan tujuannya datang ke rumah pemuda itu merupakan rahasia, sebab hanya dirinya saja yang tahu. Dia tak membalas perkataan Owen, hanya tertawa kecil sembari menunjukkan tatapan nakal.
Hal tersebut membuat pemuda tersebut bergidik takut, karena sangat jarang berurusan atau mempunyai teman lawan jenis yang memiliki kepribadian seperti Alyssa. Owen lalu menyuruh tamunya itu agar duduk lebih dulu, sementara dirinya pergi ke dapur untuk mengambil minuman.
"Mau teh, kopi, susu, wedang jahe atau sirup?" tanyanya sesaat sebelum melangkah ke dapur.
Alyssa terdiam sebentar sebelum memberi jawaban. "Susu atau kopi boleh."
"Gak ada susu, dan kopi juga habis," timpal Owen.
Gadis itu berubah sedikit kesal, lalu menyahut cepat. "Kalau gitu teh aja." Dengan nada suara naik beberapa oktaf. Ia juga membatin pertanyaan si tuan rumah. "Jika tak punya kopi atau susu ngapain nawarin!"
Owen menahan diri untuk tidak tertawa saat melihat ekspresi lawan bicaranya, selanjutnya bergegas ke dapur dan tak ingin membuat tamu yang tak diundang menunggu, bahkan dalam hati berharap tamu itu segera pergi.
****
Bola mata Alyssa melebar memperhatikan setiap lekuk ruang tamu, sampai tatapan matanya terkunci pada bingkai foto keluarga, lalu beralih ke bingkai foto lainnya yang menunjukkan kedekatan Owen bersama dua temannya, anehnya, latar belakang foto tersebut nampak tidak lazim. Tiba-tiba terdengar bunyi langkah kaki mendekat, ia yang terkejut langsung kembali ke posisi duduk semula, bersikap normal seperti tamu pada umumnya. "Jadi apa tujuanmu datang kemari?" tanya Owen seketika kembali dari dapur dan meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Mendengar pertanyaan itu Alyssa hanya tersenyum lembut, kemudian berdiri sembari mengulurkan tangan. "Kurasa kita harus berkenalan terlebih dulu," tuturnya halus. Owen mengerutkan kening sembari menatap aneh Alyssa, pasalnya gadis itu bersikap sopan, ramah juga lemah lembut, berbeda sekali ketika mereka berjumpa pertama kali. Tak lama kemudian, dia menyambut uluran tangan tersebut seraya
Sebuah sepeda motor matic yang ditumpangi dua orang lawan jenis berhenti di depan pintu gerbang bangunan rumah. Dilihat dari ukuran pintu gerbang serta tembok yang mengelilingi bangunan tersebut, sudah dapat dihitung seberapa luas dan megahnya rumah yang ada di dalamnya. Ia sudah mengira kalau perempuan yang diboncengnya berasal dari keluarga kaya, tetapi tidak menyangka bahwa ternyata sangat kaya. Lalu, kepalanya menoleh ke belakang sembari berkata."Turunlah, kita sudah sampai."Gadis yang masih duduk santai membonceng di atas sepeda motor itu mengangguk pelan, bibirnya agak cemberut, mungkin karena akan berpisah dengan lelaki yang disukainya. "Iya," jawabnya setelah turun dari sepeda motor. Kemudian, menawarkan teman barunya itu untuk singgah sebentar di rumahnya, tapi ternyata tawarannya ditolak halus."Gak usah, aku langsung pulang saja. Lagi pula udah terlalu malam untuk bertamu." Selesai memberi penjelasan,
Owen bangun dan meludah ke aspal sembari menatap tajam dua musuhnya serta memikirkan cara mengalahkan mereka. Dia memasang kuda-kuda, siap melanjutkan pertarungan, saat itulah salah seorang pria berlari ke arahnya, kemudian melakukan tendangan sambil memutar badan. Pemuda itu sedikit terkejut akan kecepatan musuh, segera menggunakan kedua lengannya untuk menahan serangan. Naas, tenaganya kalah kuat sehingga dirinya terpental mundur sebelum terjatuh.Ketika ia sedang terbaring tiba-tiba sebuah kaki hendak menginjak kuat dadanya. Owen langsung berguling untuk menghindar, lalu menendang kaki lawan guna merusak keseimbangan. Usahanya berhasil, pria itu terjatuh oleh serangannya, Owen segera memanfaatkan kesempatan memukul balik lawannya.Bugh!Bugh!Bugh!Keadaan berubah, Owen kini ganti meninju musuhnya tanpa memberikan jeda, sedangkan lawannya hanya sanggup m
Owen bangkit dengan napas hampir putus dan mulai membalas serangan, berbeda dari sebelumnya, kali ini sama sekali tidak menghindar dari setiap serangan yang terarah padanya. Imbasnya adalah luka pada wajah dan badannya bertambah. Sedangkan Bambang merasakan hal aneh, seperti menghadapi orang yang berbeda dari sebelumnya. "Sial! Bocah ini lumayan juga!" makinya dalam hati, kemudian mengayunkan tangan kanannya ke belakang dan siap memukul sekuat tenaga. "Mati kau bocah keparat!" Mendapati serangan kuat tertuju padanya, Owen melayangkan tinju lebih dulu ke pergelangan tangan lawannya sebelum bogem mentah itu mendarat ke wajahnya. Upaya tersebut berhasil, segera memanfaatkan momentum menyerang balik, meninju sekuat tenaga pelipis mata lawannya. Draaakk! Bambang terdorong mundur disertai pelipis mata kanan berdarah, dia tidak dapat melihat normal karena darah menutupi mata kanannya. Pria itu menden
Owen berdiri di depan pintu gerbang sebuah rumah, ia lalu menekan bel yang ada di dekat gerbang sambil berteriak. "Keluarlah jika kamu bukan pengecut!" Tak berselang lama gerbang terbuka, diikuti langkah kaki dua pria berbadan besar serta berwajah garang yang muncul dari balik gerbang."Kalau bertamu itu yang sopan!" tegur salah seorang dari mereka. Sementara rekannya langsung menyuruh pergi. "Pergi sana! Sebelum kamu pulang dengan kondisi tubuh tak lengkap!"Sebenarnya, dua pria penjaga gerbang merasa heran akan pemuda yang ada di hadapannya, sebab laki-laki itu memiliki wajah yang penuh luka lebam serta bersikap menantang."Suruh majikan kalian keluar!" bentak Owen, raut muka dan sorot matanya terlihat penuh kemarahan."Maaf tapi kamu ...." Belum sempat kalimat itu selesai Owen sudah berusaha menerobos masuk, akan tetapi, gerakannya dengan mudah dihentikan."Maaf Mas, bisa sopan gak!" se
Danu Prasetyo berniat mengantarkan pulang Amara setelah karyawati di kafenya itu meminta ijin pulang lebih awal, tapi sayang, tawaran darinya ditolak oleh perempuan tersebut dengan sebuah alasan klasik. Ia pun hanya berdeham sambil menghela napas setelah upayanya dekat dengan Amara kembali gagal. Bersama salah satu karyawati lain, dirinya mengantar gadis itu sampai di depan pintu kafe."Kau tidak apa-apa pulang sendiri?" tanya Maya sambil memandang lekat sahabatnya.Amara menggeleng lemah seraya berujar. "Aku baik-baik saja kok." Nada suaranya sangat pelan juga lemah."Lebih baik aku atau Maya antar kamu pulang," sambung Danu, selain merasa khawatir pada anak buahnya, dia ingin mencuri kesempatan."Enggak usah, Pak," tolaknya, "aku bisa pulang sendiri."****Sebuah sepeda motor matic berhenti di parkiran rainbow cafe, sang pengemudi berja
"Makasih ya," tutur Amara selepas turun dari sepeda motor. Owen hanya menatap gadis itu sambil membalas. "Sama-sama." Selanjutnya, tancap gas dari lokasi. Amara terus tersenyum melihat Owen yang kian menjauh, perasaan buruknya sudah sedikit membaik, lalu membuka pintu gerbang dan melangkah masuk ke rumah. Saat ia berjalan melewati ruang tamu mendapati sang bunda tengah asyik menonton acara gosip pada televisi, kemudian mengubah langkah kakinya menjadi pelan, sebab takut ditanya aneh-aneh oleh ibunya. "Amara!" panggil perempuan tiga puluh tahun itu sambil menoleh ke belakang secara tiba-tiba. "Iya Bunda," sahut Amara gugup. Ibu satu orang anak itu memandang Amara, menelisik tajam karena merasakan keanehan dari sikapnya, lalu menghela napas sebelum bertanya. "Kok Bunda gak dengar suara motormu?" Gadis itu kian cemas, bingung sekaligus takut menceritakan kebenaran pada ibunya, maka memil
Alyssa melangkah turun dari mobil sembari memberi perintah pada supirnya untuk pulang. Sedangkan Owen yang lebih dulu keluar dari mobil merasa bingung dan pertanyaan. "Kau ... mengapa menyuruh supirmu pergi?"Gadis itu hanya tersenyum ringan sebelum menjawab. "Kan nanti kamu mau antar aku pulang."Owen mendesah lesu sambil menepuk keningnya dengan tangan kanan, kemudian, mengajak perempuan itu untuk masuk ke dalam rumah. Mereka berjalan masuk tanpa berbicara, karena masing-masing bingung untuk memulai topik obrolan. Lalu, setelah membuka pintu, ia mempersilakan tamunya itu untuk masuk."Masuklah, tapi jangan anggap rumah sendiri.""Iya," balas gadis berusia dua puluh satu tahun sambil sedikit cemberut menatap temannya."Mau minum apa?" tawar Owen setelah keduanya berada di dalam rumah.Alyssa termenung sesaat, ingat percakapan terakhir dirinya dengan pemilik rumah. "Yang a