"Jadi, benar kamu pernah dilamar dia?" Dania melebarkan mata. Tidak menyangka tebakannya akan benar. Meskipun Alex belum menjawabnya, tapi dari reaksi pria itu, dia bisa tahu. Dania menggeleng seraya berdecak. "Pantas saja, dia berani bayar kamu mahal. Kenapa kamu nggak terima dia saja? Kurang cantik apa dia?"
Alex memutar bola mata. Dia lantas menyentil dahi Dania. "Aku cuma anggap dia nggak lebih dari seorang klien. Tidak mungkin aku menikah dengannya."
"Tapi sepertinya dia ingin kamu jadi miliknya seutuhnya."
Alex mengangkat bahu, lalu menarik lengan Dania agar memeluk dirinya. "Aku nggak peduli seberapa cantik dan tajirnya dia. Intinya aku nggak cinta ya nggak bakal aku terima dia. Lain hal jika yang melamar aku itu kamu. Pasti aku langsung terima."
Dania mencibir. "Siapa juga yang mau melamar kamu."
"Ya, tentu saja, hanya wanita sinting yang mau menikahi seorang gigolo."
"Nggak, aku bercanda. Ya ampun." Dan
WARNING KERAS 18+BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN.________________________Dania tampak lebih rileks setelah mendapat sentuhan-sentuhan lembut dari Alex. Dia menangkup pipi pria itu, dan menariknya untuk kemudian mencium singkat."Sekarang, Martin," bisiknya.Seakan tahu apa yang Dania ingin, Alex mulai bergerak pelan. Sebisa mungkin dia tidak membuat gesekan yang akan membuat Dania sakit.Dania masih merasakan perih di bawah sana. Namun, sebisa mungkin dia tahan. Rasanya benar-benar aneh. Miliknya terasa penuh dan mengganjal. Sesuatu yang bergerak di sana terasa asing. Ini adalah kali pertama untuknya. Dan, awal-awal memang menyiksa sungguhan. Dania meringis menahan sakit dan nikmat yang ditimbulkan secara bersamaan. Kadang dia mengerang, kadang mendesah.Alex sendiri sama saja. Dia sesekali mendesis dan menengadahkan kepalanya menikmati sensasi bergetar yang menjalar sampai ke puncak kepala
"Sekarang cara jalanku pasti persis bebek," gerutu Dania yang merasa tidak nyaman dengan daerah sekitar selangkangannya."Nggak akan sampai seperti itu," sahut Alex, dia menuang teh hangat dalam cangkir."Kamu mah nggak rasain apa yang aku rasa," delik Dania jengkel."Memang apa yang kamu rasa aku nggak rasa?" Alex menarik bibir."Aku nggak percaya ini. Tapi rasanya masih ada yang nyangkut di bawah sana. Rasanya sangat mengganjal dan nggak nyaman." Dania beranjak duduk.Alex terkekeh. "Nanti juga biasa lagi. Apa itu sakit?" tanya Alex meletakkan cangkir teh itu ke meja makan."Sedikit.""Kamu bisa minum obat pereda nyeri. Mau aku ambilkan?""Nggak perlu, kata kamu nanti juga biasa lagi." Alex yang tadi hendak beranjak, kembali duduk. Dia lantas mengambil sebuah triangle sandwich dan meletakkannya di piring Dania."Kalau begitu kamu makan. Tenagamu terkuras habis kan?
Niken terkejut saat membuka pintu rumah. Anak yang dia cari seharian kini berada tepat di hadapannya. Hampir saja dia dan suaminya akan melapor kepada polisi, seandainya hingga pukul dua belas nanti anaknya tak kunjung ada kabar. Seharian ini dia dan suaminya kelimpungan mencari keberadaan Dania, yang tidak ada kabar sejak pagi tadi. Bahkan Clara dan Viona teman akrab anaknya tidak mengetahui keberadaan Dania."Dania! Astaga, kamu baik-baik saja, Nak?" Niken kontan menyentuh wajah anaknya."Aku nggak apa-apa, Ma." Dania menarik kopernya masuk. Sebelum ke rumah orang tuanya, dia sempat kembali ke apartemen untuk mengambil beberapa baju."Kamu ke mana saja? Seharian ini kami mencari kamu." Niken mengiringi langkah Dania menuju ruang tengah. Dia mengabaikan ruang tamu yang dilewatinya tadi. Ruang tamu sudah disulap menjadi ruangan kosong yang sudah didekorasi cantik. Dania juga mengabaikan tenda yang berdiri megah di halaman rumahnya itu. Ada panggung k
Prosesi pernikahan Alvin dan Dania sudah selesai beberapa saat lalu. Saat ini mereka sedang melakukan pemotretan tukar cincin dan pengabdian buku nikah serta maharnya. Tidak ada air mata saat dia akhirnya sah menjadi milik Alvin. Air matanya sudah kering. Hanya ada tatapan kosong ketika proses itu berlangsung. Bahkan ketika fotografer mengarahkannya untuk tersenyum, dia hanya menarik sudut bibitnya tanpa minat.Rombongan pengantin langsung menuju Jakarta Convention 1Hall. Mereka diiringi dengan pengawalan yang sangat ketat menuju ke tempat acara resepsi."Besok kita akan langsung terbang ke Maldives." ujar Alvin. "Aku sudah mempersiapkannya." Dia melirik Dania di sampingnya yang hanya diam sedari tadi. "Dania, kamu dengar aku kan?""Aku dengar," sahut Dania."Jadi, kamu setuju rencana ke Maldives kan? Atau ada tempat spesial yang ingin kamu kunjungi?"Dania menggeleng. "Nggak ada."Alvin tersenyum. Dia lan
Maaf dari awal memang cerita ini tanpa edit. Maaf kalau banyak typo. Happy reading.__________________"Halo, Sayang. Masih mau di sini atau pulang?"Viona menoleh dan mendapati Robbi sudah ada di hadapannya beserta Aliqa anaknya."Pak Robbi, anaknya imut sekali, siapa namanya?" tanya Clara melihat gadis cantik berumur sepuluh tahun dengan gaun berwarna navy yang sama seperti Viona. Sepertinya Viona memang sangat siap untuk menjadikan mereka keluarganya."Namaku Aliqa, Tante," jawab gadis itu menyambut uluran tangan Clara."Kalau Tante namanya Clara. Aliqa, gaun kamu bagus banget. Kamu cantik pake gaun itu," puji Clara seraya melirik Viona."Ini yang pilihin, Tante Vio. Lihat, kami pakai gaun couple." Aliqa mendekati Viona dan berdiri di sebelahnya.Clara menyatukan tangan kagum. "Kalian sangat serasi, cocok jadi ibu dan anak."Aliqa menatap Viona yang terseny
Terima kasih yang udah mau baca sampai bab ini. Dukung terus cerita ini ya, Gaes dengan memberi ulasan bintang lima kalian. Terima kasih. ^^_________________Dania menatap Clara dengan mata berkaca-kaca. Tanpa banyak kata, dia memeluk sahabatnya dengan erat."Yang sabar, ya, Dan. Gue yakin lo bakal bahagia," ucap Clara ikut merasakan kesedihan sahabatnya."Terima kasih, Cla." Dania menyeka hidungnya yang basah. Semoga ini bukan terakhir kalinya dia bertemu Clara. Alvin kejam jika dia benar-benar tidak mengizinkannya untuk bertemu kedua sahabatnya.Setelah sedikit menguatkan Dania, Clara beringsut menyalami Alvin dan memberi selamat sekadarnya kepada laki-laki itu. Dia lantas bergegas turun dari panggung."Sudah siap pulang?" tanya Arnold begitu Clara sampai ke bawah lagi.Clara mengangguk dan berjalan lebih dulu keluar gedung resepsi yang megah ini."Kita tunggu layanan
Alian gelagapan. Dia bingung mau menjelaskan apa atas semua kebohongan yang sudah dia lakukan kepada Clara. Wanita di sebelahnya juga tampak meminta penjelasan."Clara, sori, tapi ini benar-benar di luar dugaan. Aku beneran ke Makassar hanya saja—""Di luar dugaan bakal ketemu aku di sini kan? Kamu kaget kan aku bisa melihat kamu nyeleweng. Sudah sejak kapan?" tanya Clara menatap Alian tajam. Sungut di atas kepalanya makin memanjang."Cla, aku nggak nyeleweng, aku—""Sudah berapa lama kalian berhubungan?" potong Clara melihat kepada wanita di sebelah Alian.Wanita itu menampakkan muka kesalnya. "Gue sudah lama kenal Alian, tapi baru dua bulan ini jalan bareng."Clara tersenyum miris. "Hebat banget, ya." Dia mengangguk. Hatinya terasa remuk mendengar pengakuan wanita itu. Dia melihat wajah Alian yang tampak gusar. Beberapa kali pria itu mengusap wajahnya. Semua sudah berakhir. Alian tidak mungkin bisa menge
Arnold melihat Clara tertidur rapat di bawah selimutnya. Senyumnya terbit lantas mendekati wanita itu. Sebenarnya dia kasihan melihat Clara menangis. Hanya saja alasan wanita itu menangis yang membuatnya tidak terlalu menunjukkan empatinya. Hah! bagaimana tidak? Clara menangisi pria lain. Entah untuk alasan apa dia tidak suka melihat Clara menangis seperti tadi. Seandainya penyebab wanita itu menangis ada di hadapannya mungkin sudah dia habisi laki-laki itu.Tangan arnold terulur membelai pipi Clara. Kelihatannya wanita itu benar-benar sudah pulas. Arnold melebarkan senyum. Dia yakin, mata wanita itu akan bengkak saat bangun nanti. Arnold merapatkan selimut perempuan itu sebelum beranjak keluar dari kamarnya. Dia sendiri akhirnya mengalah dan tidur di sofa ruang tengah.***Sementara Viona di rumah Robbi baru saja keluar dari kamar Aliqa. Setelah membaca dua buah buku dongeng, Aliqa lelah dan tertidur dengan sendirinya. Viona yang menemani anak itu b