Dua hari menginap di apartemen Clara memang aman, tapi tidak untuk hari ini. Di luar, tepatnya di depan pintu unit, ada tiga orang laki-laki bertubuh besar. Dari tadi orang itu menekan bel pintu. Dania bisa melihat mereka dari kamera pemantau, sebelum bergerak membuka pintu. Untungnya dia melihat dulu siapa orang yang datang itu. Kalau tidak, tamatlah riwayatnya. Dania menduga itu adalah orang-orangnya Alvin.
Dania gelisah dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Bunyi bel masih beberapa kali terdengar. Dia mengabaikan dengan hati was-was. Bagaimana seandainya orang itu nekat menerjang pintu itu? Tidak, apartemen ini dilengkapi peralatan keamanan canggih. Orang-orang itu tidak akan mudah menerobos masuk secara paksa.
"Cla, orang-orang Alvin ada di depan apartemen," ucap Dania dengan nada pelan. Dia sedang menelepon Clara.
"Sial. Kenapa sih lo harus nyeret gue dalam masalah lo?" umpat Clara di ujung sana.
"Mereka nggak bakal masuk 'kan
Papa pikir kamu nggak akan berani muncul?" Arya menenggelamkan kedua tangan pada saku celananya."Aku nggak salah, Pa. Makanya aku pulang," jawab Dania datar."Nggak salah kamu bilang? Kamu sudah bikin kepala Alvin bocor." Mata Arya melotot. "Dan kamu tahu? Kamu itu buronan. Kamu masuk daftar DPO. Pulang artinya kamu nyerahin diri."Mata Dania melebar, tangannya berpegang erat pada sandaran sofa. Dengan gusar dia menatap sang ibu."Ma, apa itu benar?"Tak perlu menunggu jawaban. Dari raut yang ditunjukkan Niken, Dania tahu berita itu memang benar. Apa yang harus dia lakukan sekarang?"Pa, Dania nggak salah. Alvin mau memperkosaku. Yang aku lakukan hanya untuk membela diri," sanggah Dania membela diri."Apa pun itu alasannya, Dania. Bukti kamu mencelakai Alvin itu ada."Dania menggigit bibir. Apa keputusannya salah sudah kembali ke rumah?Arya beranjak dan duduk di sofa sebera
Dania berjalan dengan malas ke ruang besuk. Di sana sudah ada Clara dan Viona sahabatnya. Gara-gara ide gila Clara yang menyuruhnya pulang, Dania jadi ditangkap polisi."Astaga, Dan! Kenapa lo bisa gini, sih?!" pekik Vio melihat seragam orange yang Dania kenakan."Berkat saran temen lo tuh. Sarannya beneran hebat banget," jawab Dania sarkas saat berada di depan mereka."Lo belum menjalankan saran gue sepenuhnya, Dan," sanggah Clara."Emang lo nyaranin apa, Cla?" tanya Viona yang memang belum tahu apa-apa. "Gue heran lo habis lakuin kesalahan apa sampai-sampai bisa ditahan gini? Gue beneran syok dengar kabar ini.""Dia dituntut Alvin karena bocorin kepala tuh laki," Clara yang menjawab."Apa? Gimana bisa?" Vio terkejut. "Dania nggak mau cipokan sama Alvin. Jadi, dia memukul pria malang itu dengan botol wine sampai kepalanya bocor."Dania berdecak. "Gue mau diperkosa, ya. Kalau sek
Dania turun dari taksi di depan sebuah kelab malam besar ibu kota. Clara dan Viona sudah lebih dulu sampai. Waktu sebulan yang Alvin berikan akan dia manfaatkan sebaik mungkin. Oleh karena itu, setiap kali teman-temannya mengajak hangout, Dania akan segera menyetujuinya. Seperti malam ini. Sudah nyaris pukul sepuluh malam ketika dia memasuki pintu kelab yang dijaga ketat oleh para bodyguard berbadan besar.Masuk lebih dalam, dia bisa langsung menemukan keberadaan para sahabatnya. Viona melambai padanya, di samping wanita itu ada laki-laki tampan entah siapa. Mungkin gigolo yang dia pesan. Dania meringis.Sementara Clara, wanita itu tampak sedang minum bersama dengan Alian, pacarnya. Dania mendekati table mereka.Bunyi musik berdentam mengusik telinga, belum lagi bau asap rokok bercampur dengan bau parfum yang berseliweran. Kalau boleh Dania bilang, tempat ini sama sekali tidak cocok untuk melepas penat setelah seharian bekerja. Namun, ber
Alex sedang asyik bermain games pada laptopnya ketika suara ketukan di pintu terdengar. Tidak lama kemudian, Arnold—manajernya—masuk. Kontan dia berdecak. Karena dia tahu persis tujuan Arnold mendatangi ruangannya."Seorang wanita muda menawarkan tarif tinggi, Lex," ujar Arnold begitu sampai di hadapan Alex. "Dia hanya butuh waktu satu jam. Untuk pertemuan pertama.""Gue kan udah bilang, kalau gue lagi nggak terima job dulu. Gue lagi bosan." Alex masih fokus pada layar laptopnya."Hanya main-main sebentar. Billy bilang dia masih virgin."Mendengar kata virgin, Alex langsung mendongak. Kedua alisnya yang tebal tertaut. Dia hampir tidak pernah memiliki klien seorang wanita yang masih virgin."Wanita virgin menyewa seorang gigolo buat menjebol keperawanannya?" Alex tertawa seraya menggeleng. Omong kosong macam apa ini?"Nggak. Kan gue bilang hanya main-main. Dia cuma ingin lo puasin tanpa bercinta
"Gue juga nggak kalah terkejut tahu kalau lo itu seorang pria penghibur. Sama sekali nggak gue duga," Dania mengedikkan bahu. Entah kenapa ada sedikit perasaan aneh—mungkin bisa disebut kecewa—mengetahui kenyataan ini. Pria setampan dan nyaris sempurna seperti Martin ternyata seorang gigolo. Sulit membayangkan sudah berapa banyak wanita yang dia layani.Dania jadi mengingat pertemuannya pertama kali dengan pria itu. Ya, seharusnya Dania tidak perlu terkejut mengingat waktu itu dia melihat pemandangan panas antara lelaki dan perempuan di koridor menuju apartemennya. Yang mana lelaki tersebut adalah Martin.Dan lagi-lagi Dania diingatkan pada pertemuan keduanya di Puncak. Saat pria itu menolongnya kabur dari vila Alvin. Bukankah Martin malam itu meninggalkannya sendiri dan bilang akan bertemu dengan klien? Lalu pagi buta dia baru kembali. Dania mengangguk. Sekarang dia tahu siapa klien-klien itu. Wanita kesepian atau juga wanita yang hanya cari ke
Dania mengumpat beberapa kali ketika merasa terganggu dengan suara berisik ponselnya yang terus saja berbunyi. Ini menyebalkan. Di saat tumpukan pekerjaan menanti, panggilan tak tahu diri itu terus saja masuk. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Alvin. Apa pria itu tidak ada pekerjaan selain mengganggunya terus tiap hari? Dua jam lalu padahal dia sudah mengangkat panggilannya.Syukurlah deringan pada ponsel itu akhirnya berhenti. Hanya sesaat sebelum deringan lain terdengar. Kali ini dari pesawat telepon yang ada di mejanya. Dania mengembuskan napas kuat-kuat. Tangan kanannya meraih gagang telepon sementara jari jemari tangan kirinya terus menari di atas keyboard."Ya, halo, dengan HR Welfare di sini, ada yang bisa saya bantu?" sapa Dania ramah seraya mengapit gagang telepon itu di antara telinga dan bahunya. Sementara tangan kanannya sekarang berpindah ke atas keyboard lagi. "Sibuk banget ya, sampai nggak bisa angkat panggilanku?"J
Dania tertegun di tempat saat tahu dirinya ada di mana. Dia benar-benar seperti orang bodoh sekarang. Berdiam diri di depan pintu apartemen Alex. My God. Apa yang sebenarnya sedang dia lakukan?Tadi itu dia kesal dengan manusia posesif bernama Alvin yang setiap jam sekali meneleponnya. Dania heran, apa manusia itu kurang kerjaan? Ada saja hal remeh temeh yang lelaki itu tanyakan. Belum juga Dania menjadi istrinya, bagaimana seandainya mereka sudah menikah nanti? Dania sulit membayangkan. Entah hidup seperti apa yang akan dia jalani.Dania mengembuskan napas. Menggenggam erat-erat sebuah kartu kecil yang mencetak nama dan tempat tinggal Alex. Dania tidak tahu kenapa kakinya membawanya ke sini. Mungkin hanya iseng. Kejadian beberapa waktu lalu kembali terlintas. Saat Dania menyewa Alex untuk membuatnya puas. Wajahnya terasa hangat. Astaga, Clara dan Viona akan tertawa melihat muka meronanya sekarang.Dania membalik kartu kecil itu. Di sana ada ko
Matahari semakin turun ke perut bumi. Gelap mengiringi, dan angin malam mulai berembus perlahan. Dania merasakan hawa di sekitarnya mulai dingin. Dia makin merapatkan diri ke pelukan Alex. Entah ini perasaan apa, yang jelas dia nyaman.Setelah beberapa menit lalu tiba-tiba Alex membuatnya terkejut dengan ciumannya, dia lantas dikejutkan dengan dirinya sendiri karena membalas apa yang Alex lakukan. Sekarang dirinya sedang berada di atas dada bidang Alex yang tengah merebah di atas sofa.Lelaki itu menaik-turunkan tangannya mengusap punggung Dania. Dia gagal memindahkan wanita itu ke kamarnya. Jadilah mereka di sini saling berpelukan. Alex tahu Dania tidak baik-baik saja. Instingnya terhadap perasaan perempuan sudah sangat terlatih. Saat ini Dania hanya butuh kenyamanan. Sebagai seorang yang memberi jasa, Alex akan melakukan tugasnya dengan baik."Kamu sudah merasa baik?" tanya Alex perlahan.Dania hanya mengangguk. Dia masih betah m