Berhari-berhari Dion disuguhkan pemandangan 2 gadis kecil yang senang berlalu lalang di depan rumahnya. Tingkah mereka sangat lucu, membuat dirinya gemas. Tak jarang juga ia memergoki Seren dan Felicia sedang mengintip ke dalam rumahnya.
Kala itu Dion sedang berbaring di sofa ruang tamunya, lalu ia tiba-tiba melihat bayangan seseorang dibalik jendela. Dirinya berusaha menyelidiki siapakah 2 orang ini? Gelagatnya seperti sedang mencari obyek yang mereka cari. Sampai terdengar bisikan suara yang tidak asing bagi Dion.
Memejamkan mata sambil terus berpikir, seperkian detik kemudian ia menyadari kalo 2 orang yang sedang mengintip itu adalah Seren dan Felicia. Dion menahan tawanya, ia tak habis pikir dengan kedua gadis itu.
***
Hari ini, cuaca yang sedang tidak bersahabat. Awan mendung terus menyelimuti langit yang terasa sendu, seakan memberi sinyal sedang merintih kesakitan. Membuat suasana hati menjadi tidak terlalu bersemangat untuk menja
2 tahun berlalu, Felicia yang tak lagi menemani Seren untuk melihat sosok Dion setiap harinya. Dion yang juga hilang kabar. Bukan hanya Dion, teman-temannya pun sama. Sudah jarang terlihat, begitu pun Felicia, mengingat namanya saja ia tak bisa apalagi mengingat wajah Dion itu. ***Malam harinya, sahabatnya Maxim menghubungi pria keturunan Tiongkok ini. Ia meminta Dion untuk menemaninya pergi clubbing. Kebetulan Dion yang sudah lama tidak bersenang-senang, ia pun mengiyakan ajakan Max. Beberapa menit kemudian, Max sudah sampai di depan rumah Dion. Ia mengambil ponsel dalam saku jaketnya, dan mulai menelefon. -Berdering- "Bas! Buruan turun, gua udah di depan rumah lu.” Ucap Maxim kepada Dion. “Ya ampun sabar monyet! Gua lagi turun.” Jaringan teleponnya terputus. Beberapa detik kemudian, Dion sudah menyalakan mesin motornya. Tak menunggu lama, mereka segera menancap gas sampai melebihi kecepatan di atas
Pak Jarrel pamit pulang, Felicia menunggu ayahnya sampai benar-benar pergi baru ia akan memasuki rumahnya kembali.“Ayah pulang dulu, Cia.” Ucap Pak Jarrel sambil melajukan motornya.Felicia tersenyum dan melambaikan tangannya, sebagai tanda perpisahan. Ia kembali ke dalam rumahnya dengan senyum yang terus mengukir di sudut bibirnya. Kembali menuju dapur menghampiri Bu Elsie.“Kenapa ayah kamu kesini? Habis melakukan apa aja sama kamu?” Tanya Bu Elsie menyelidik.“Ya tujuannya ketemu aku, cerita-cerita biasa aja di depan tadi.”“T-tapi Cia diberi uang jajan kok.” Jawabnya.Bu Elsie tidak memberikan respons apapun dengan kata-kata Felicia yang terakhir ia ucap. Ia sibuk dengan masakannya yang belum matang.***Tak terasa sudah memasuki sore hari, angin yang panas bercampur pantulan sinar dari matahari. Dion sudah siap dari beberapa menit ya
“Koko, udah selesai kan acaranya? Bisa ga kita pergi ke alun-alun kota? Sambil makan jagung bakar.” Isi chat Farren.“Boleh, jam 8 malam ya,” Balas Dion.Setelah membalas pesan dari Farren, ia langsung memanfaatkan waktunya untuk tidur. Dirinya sudah memasang alarm untuk bangun pukul 7 lebih 30 menit.***Jauh dari rumah Dion, Felicia sedang berada di dalam kamar tidurnya. Bu Elsie baru saja pulang dari kantornya. Ibunya bekerja menjadi sebuah admin di salah satu perusahaan tepung. Dimana brand tepung ini, sudah sangat terkenal di kalangan masyarakat.Semenjak bercerai, Bu Elsie harus banting tulang untuk membiayai sekolah Felicia. Ia mati-matian mencari pemasukan sana-sini agar dapat menyambung hidup. Felicia dan Bu Elsie tinggal sekamar, Felicia yang sedari tadi sedang melamun, tiba-tiba Bu Elsie memasuki kamarnya sambil bermain ponsel.Awalnya tidak ada percakapan, karena Felicia bingung akan mengajak i
“Sayang, aku udah di depan rumah nih. Buru keluar.” Isi pesan Dion kepada Farren.5 menit kemudian Farren keluar, ia langsung bergelayut manja. Tidak melepaskan tangan Dion ketika sedang berjalan, selalu saja menempel. Kali ini mereka hanya pergi berdua, tidak mengajak Iris dan Velma.Dalam perjalanan mereka menghentikan langkahnya untuk membeli jagung bakar.“Bang, 2 ya.” Ucap Farren.“Oke, pedas ga?”“Kamu pedas ga yang?” Tanya Farren sambil menoleh ke arah Dion.“Iya pedas.” Jawab Dion singkat, sambil melihat padatnya jalanan oleh kendaraan yang berlalu lalang.***Tak lama 2 jagung bakar telah selesai. Aroma wanginya yang menusuk hidung mereka, membuat ingin cepat-cepat menggigitnya. Mereka berdua melanjutkan perjalanannya, mencari tempat duduk di tengah-tengah rumput.“Dekat tiang aja gimana? Ram
Selang beberapa menit setelah Maxel menelepon Pak Johan, ambulans datang. Tak lama Pak Johan pun menyusul, untuk membantu membuka kan jalan bagi ambulans. Bu Sisi yang ikut masuk ke dalam ambulans bersama Dion, yang masih memejamkan matanya.Sedangkan Pak Johan bersama Maxel. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah sakit. Dion segera dibawa menuju ruang IGD. Dokter disana bertindak cepat, laki-laki yang terbaring lemas ini langsung diberi alat bantu bernafas.***Bu Sisi, Pak Johan dan Maxel masih menunggu di luar ruangan. Mereka berharap anak sulungnya tidak begitu parah. Menunggu di kursi yang berada tak jauh dari ruang IGD, dengan perasaan cemas dan takut menjadi satu.Maxel diam-diam menghubungi Maxim, dirinya juga dilanda ketakutan yang luar biasa. Ia mengabari Max dengan pesan singkat, di aplikasi chatting. Ia berharap datangnya Maxim lebih bisa membuat ia tenang, dan percaya jika Dion yang sudah berada
“Kak, lapar ga? Mau aku pesanin makanan?” Tanya Zelen kepada Dion yang sudah berbaring di kasurnya itu.“Ga per-”Lagi-lagi Max memotong pembicaraannya dengan Zelen.“Ah iya! Makan, kasihan Dion pasti perutnya kosong. Sebenarnya lu perhatian ya, tapi kenapa kalian bisa putus?” Ujar Max yang sengaja membawa masa lalu mereka.Dion dan Zelen saling menatap, mereka memberikan setengah senyumannya. Sedangkan Max menutup mulutnya, ia baru menyadari apa yang ia bicarakan itu salah. Lalu mengedarkan pandangannya ke arah lain.Zelen yang merasakan rasa canggung, ia mulai mencairkan suasana. Kembali menanyakan menu apa yang akan dibeli.“Gimana kak, jadinya mau pesan makanan apa?” Ucap Zelen kembali sambil memegang ponselnya.Dion tidak menjawab pertanyaan yang Zelen tujukan padanya. Sebab ia sudah mempunyai firasat pasti jika dirinya berbicara, sahabatnya si Maxim in
Beberapa menit setelah kepergian Zelen, tiba lah Bu Sisi dan Pak Johan. Mereka sampai di rumah sakit terlalu malam, melihat kedua anak lelaki yang sudah memejamkan mata. Dion berada di ranjangnya, sedangkan Maxim berada di sofa panjang yang tersedia.Bu Sisi dan Pak Johan menghela nafas, mereka duduk di sebelah ranjang Dion. Untung saja terdapat 2 kursi di dalam ruangan tersebut. Awalnya mereka berdua belum begitu mengantuk, mengisi keheningan malam dengan saling bercerita. Dan sesekali melihat Dion yang bergerak mengganti posisi tidurnya.Sampai jam berdenting menunjukkan pukul 3 pagi. Samar-samar terdengar adzan dari luar sana. Mata mereka sudah sangat berat, kantuk yang hebat melanda habis-habisan!Menopang kepala mereka dengan kedua tangan, bersandar disisi pinggir ranjang Dion. Dalam hitungan detik, pasangan tua ini sudah terlelap.***-Keesokan harinya-Max tersadar dari tidurnya, ia mengusap matanya
Zelen sudah menceritakan Dion yang awal mulanya sesak nafas hingga tak sadarkan diri. Pesan singkatnya itu, langsung dibaca oleh teman-temannya yang mencaci Dion tanpa tau asalnya.“Mampus lu!” Gerutu Zelen sambil menunggu balasan dari temannya.Ternyata pesan singkat darinya berhasil membuat teman-temannya bungkam, dan berujung meminta maaf. Mereka segera tag Dion agar memaafkan sikap mereka yang menghujat tanpa cari tau kebenarannya.Setelah melihat kembali balasan teman-temannya, Zelen pun tersenyum. Lalu ia memohon segera dihapus perkataan mereka yang sangat menyakitkan. Agar Dion yang memang belum merespons, takut nantinya ia melihat menjadi sakit hati atas perilaku temannya.Jari tangan Zelen beralih menuju kontak pria berdarah Tiongkok, ia menekannya agar terhubung oleh pesan singkat. Zelen mulai mengetik di keyboard ponselnya, mengirimkan kata-kata penyemangat untuk sang mantan.“Semua baik-baik saj