“Sayang, aku udah di depan rumah nih. Buru keluar.” Isi pesan Dion kepada Farren.
5 menit kemudian Farren keluar, ia langsung bergelayut manja. Tidak melepaskan tangan Dion ketika sedang berjalan, selalu saja menempel. Kali ini mereka hanya pergi berdua, tidak mengajak Iris dan Velma.
Dalam perjalanan mereka menghentikan langkahnya untuk membeli jagung bakar.
“Bang, 2 ya.” Ucap Farren.
“Oke, pedas ga?”
“Kamu pedas ga yang?” Tanya Farren sambil menoleh ke arah Dion.
“Iya pedas.” Jawab Dion singkat, sambil melihat padatnya jalanan oleh kendaraan yang berlalu lalang.
***
Tak lama 2 jagung bakar telah selesai. Aroma wanginya yang menusuk hidung mereka, membuat ingin cepat-cepat menggigitnya. Mereka berdua melanjutkan perjalanannya, mencari tempat duduk di tengah-tengah rumput.
“Dekat tiang aja gimana? Ram
Selang beberapa menit setelah Maxel menelepon Pak Johan, ambulans datang. Tak lama Pak Johan pun menyusul, untuk membantu membuka kan jalan bagi ambulans. Bu Sisi yang ikut masuk ke dalam ambulans bersama Dion, yang masih memejamkan matanya.Sedangkan Pak Johan bersama Maxel. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah sakit. Dion segera dibawa menuju ruang IGD. Dokter disana bertindak cepat, laki-laki yang terbaring lemas ini langsung diberi alat bantu bernafas.***Bu Sisi, Pak Johan dan Maxel masih menunggu di luar ruangan. Mereka berharap anak sulungnya tidak begitu parah. Menunggu di kursi yang berada tak jauh dari ruang IGD, dengan perasaan cemas dan takut menjadi satu.Maxel diam-diam menghubungi Maxim, dirinya juga dilanda ketakutan yang luar biasa. Ia mengabari Max dengan pesan singkat, di aplikasi chatting. Ia berharap datangnya Maxim lebih bisa membuat ia tenang, dan percaya jika Dion yang sudah berada
“Kak, lapar ga? Mau aku pesanin makanan?” Tanya Zelen kepada Dion yang sudah berbaring di kasurnya itu.“Ga per-”Lagi-lagi Max memotong pembicaraannya dengan Zelen.“Ah iya! Makan, kasihan Dion pasti perutnya kosong. Sebenarnya lu perhatian ya, tapi kenapa kalian bisa putus?” Ujar Max yang sengaja membawa masa lalu mereka.Dion dan Zelen saling menatap, mereka memberikan setengah senyumannya. Sedangkan Max menutup mulutnya, ia baru menyadari apa yang ia bicarakan itu salah. Lalu mengedarkan pandangannya ke arah lain.Zelen yang merasakan rasa canggung, ia mulai mencairkan suasana. Kembali menanyakan menu apa yang akan dibeli.“Gimana kak, jadinya mau pesan makanan apa?” Ucap Zelen kembali sambil memegang ponselnya.Dion tidak menjawab pertanyaan yang Zelen tujukan padanya. Sebab ia sudah mempunyai firasat pasti jika dirinya berbicara, sahabatnya si Maxim in
Beberapa menit setelah kepergian Zelen, tiba lah Bu Sisi dan Pak Johan. Mereka sampai di rumah sakit terlalu malam, melihat kedua anak lelaki yang sudah memejamkan mata. Dion berada di ranjangnya, sedangkan Maxim berada di sofa panjang yang tersedia.Bu Sisi dan Pak Johan menghela nafas, mereka duduk di sebelah ranjang Dion. Untung saja terdapat 2 kursi di dalam ruangan tersebut. Awalnya mereka berdua belum begitu mengantuk, mengisi keheningan malam dengan saling bercerita. Dan sesekali melihat Dion yang bergerak mengganti posisi tidurnya.Sampai jam berdenting menunjukkan pukul 3 pagi. Samar-samar terdengar adzan dari luar sana. Mata mereka sudah sangat berat, kantuk yang hebat melanda habis-habisan!Menopang kepala mereka dengan kedua tangan, bersandar disisi pinggir ranjang Dion. Dalam hitungan detik, pasangan tua ini sudah terlelap.***-Keesokan harinya-Max tersadar dari tidurnya, ia mengusap matanya
Zelen sudah menceritakan Dion yang awal mulanya sesak nafas hingga tak sadarkan diri. Pesan singkatnya itu, langsung dibaca oleh teman-temannya yang mencaci Dion tanpa tau asalnya.“Mampus lu!” Gerutu Zelen sambil menunggu balasan dari temannya.Ternyata pesan singkat darinya berhasil membuat teman-temannya bungkam, dan berujung meminta maaf. Mereka segera tag Dion agar memaafkan sikap mereka yang menghujat tanpa cari tau kebenarannya.Setelah melihat kembali balasan teman-temannya, Zelen pun tersenyum. Lalu ia memohon segera dihapus perkataan mereka yang sangat menyakitkan. Agar Dion yang memang belum merespons, takut nantinya ia melihat menjadi sakit hati atas perilaku temannya.Jari tangan Zelen beralih menuju kontak pria berdarah Tiongkok, ia menekannya agar terhubung oleh pesan singkat. Zelen mulai mengetik di keyboard ponselnya, mengirimkan kata-kata penyemangat untuk sang mantan.“Semua baik-baik saj
Semua telah kembali ke dalam ruangan masing-masing. Kini Dion dan Max sudah terbaring di atas kasur, mereka sibuk dengan ponselnya. Dion sedang mengecek aplikasi chatting yang diserbu banyak pengirim.Tentunya ucapan selamat atas kelulusannya, membalas pesan saja tidak. Apalagi membaca, ia hanya melihat di tampilan layar depan aplikasi. Lalu ia membuang kasar ponselnya ke bawah, untung saja lantai kamar Dion terdapat kasur lantai. Kalo tidak, ponselnya sudah hancur.Hari makin larut, Dion sudah memejamkan matanya terlebih dulu. Lalu disusul oleh Max, esok paginya mereka akan menuju sekolah SMP, untuk mengurus data-data sebagai penunjang masuk ke sekolah lain menjadi murid baru.***Felicia yang kini sudah naik kelas menjadi kelas 3 SMP. Ia terbagi dalam kelas C, hampir dalam 3 tahun ini Felicia belum begitu kenal dengan seluruh teman angkatannya.Dulu waktu ia menduduki kelas 1 SMP, dirinya juga tak mempu
Jam weker sudah berbunyi dari beberapa menit yang lalu. Tetapi, kedua anak lelaki ini masih terbaring di ranjang mereka. Tidurnya sangat lah pulas, hingga membuat saluran telinganya mendadak rusak tidak bisa mendengar suara sekeras apapun.Jika sudah begini, Bu Sisi lah yang turun tangan. Ia mengetuk pintu kamar putra pertamanya. Seperti biasa tidak ada jawaban, kejadian mengetuk pintu kamar Dion berulang hingga 5 kali. Sampai pada akhirnya sosok manusia muncul di hadapan Bu Sisi.Ia adalah Max, menguap selebar-lebarnya dan mempersilahkan Bu Sisi masuk.“Halo Tante, Bas masih tidur.” Ucap Max dengan muka bantalnya.“Cuci muka Max, tante yang urus Dion.” Sahut Bu Sisi sembari berjalan menuju ranjang.Max hanya mengangguk, ia telah memasuki toilet. Kini giliran Bu Sisi yang sedang menggoyang-goyangkan badan Dion, serta menepuk pipi anaknya dengan sedikit tekanan.Dion menggeliat, ia p
Setelah selesai mengurus semua pembayaran dan berkas-berkas, mereka berdua segera menuju area parkir. Ketika mereka sedang memakai helm, tiba-tiba kedatangan tamu tak diundang. Ialah Robert.“Eitss, buru-buru banget. Mau kemana sih kalian?” Ujar Robert bak jelangkung.“Eh Kak Robert,” Sahut Max dan Dion bersamaan sembari bertaut tangan dengan Robert.“Main futsal gas? Senggang kan?”“Aduh Kak, sorry banget nih kita berdua lagi sibuk. Lu sendiri udah daftar sekolah mana?” Sahut Dion kepada Robert.“Gua masih bingung, oke kalo kalian ga bisa. Next time yah, gua tunggu. Duluan” Ucap Robert sambil menepuk pundak Dion dan meninggalkannya pergi.Dion dan Max sudah menghidupkan mesin motornya, mereka segera melaju menuju Sekolah Ksatria. Yang jaraknya tidak cukup jauh dari Sekolah Menengah Pertama mereka.***Sesampainya disan
“Dion, komputer kamu sudah dimatikan ya.” Ucap Bu Sisi sembari beranjak dari kursi.Ketika ia membalikkan badan, ternyata putra pertamanya sudah tertidur pulas. Gaya tidur favoritnya sembari memeluk guling. Bu Sisi beralih duduk di tepi ranjang Dion, melihat wajah polos putranya sejenak.Lalu lamunannya buyar ketika mendengar bunyi suara ketukan pintu. Ia cepat-cepat menuruni anak tangga, menyempatkan mengintip siapakah gerangan tamu yang datang.Ternyata ialah suaminya dan juga Maxel. Pak Johan segera mengistirahatkan tubuhnya di sofa ruang tamu, sedangkan Maxel ia sudah menuju kamarnya di lantai 2.“Langsung mau makan siang?” Celetuk Bu Sisi tiba-tiba kepada Pak Johan.“Iya, bareng bersama Maxel.”“Ya sudah, di meja makan lengkap dengan nasi dan lauk pauk. Silahkan ambil saja ya.”Bu Sisi beranjak pergi menuju ruang keluarga, dirinya ingin menonton televis