Beberapa menit setelah kepergian Zelen, tiba lah Bu Sisi dan Pak Johan. Mereka sampai di rumah sakit terlalu malam, melihat kedua anak lelaki yang sudah memejamkan mata. Dion berada di ranjangnya, sedangkan Maxim berada di sofa panjang yang tersedia.
Bu Sisi dan Pak Johan menghela nafas, mereka duduk di sebelah ranjang Dion. Untung saja terdapat 2 kursi di dalam ruangan tersebut. Awalnya mereka berdua belum begitu mengantuk, mengisi keheningan malam dengan saling bercerita. Dan sesekali melihat Dion yang bergerak mengganti posisi tidurnya.
Sampai jam berdenting menunjukkan pukul 3 pagi. Samar-samar terdengar adzan dari luar sana. Mata mereka sudah sangat berat, kantuk yang hebat melanda habis-habisan!
Menopang kepala mereka dengan kedua tangan, bersandar disisi pinggir ranjang Dion. Dalam hitungan detik, pasangan tua ini sudah terlelap.***
-Keesokan harinya-
Max tersadar dari tidurnya, ia mengusap matanya
Zelen sudah menceritakan Dion yang awal mulanya sesak nafas hingga tak sadarkan diri. Pesan singkatnya itu, langsung dibaca oleh teman-temannya yang mencaci Dion tanpa tau asalnya.“Mampus lu!” Gerutu Zelen sambil menunggu balasan dari temannya.Ternyata pesan singkat darinya berhasil membuat teman-temannya bungkam, dan berujung meminta maaf. Mereka segera tag Dion agar memaafkan sikap mereka yang menghujat tanpa cari tau kebenarannya.Setelah melihat kembali balasan teman-temannya, Zelen pun tersenyum. Lalu ia memohon segera dihapus perkataan mereka yang sangat menyakitkan. Agar Dion yang memang belum merespons, takut nantinya ia melihat menjadi sakit hati atas perilaku temannya.Jari tangan Zelen beralih menuju kontak pria berdarah Tiongkok, ia menekannya agar terhubung oleh pesan singkat. Zelen mulai mengetik di keyboard ponselnya, mengirimkan kata-kata penyemangat untuk sang mantan.“Semua baik-baik saj
Semua telah kembali ke dalam ruangan masing-masing. Kini Dion dan Max sudah terbaring di atas kasur, mereka sibuk dengan ponselnya. Dion sedang mengecek aplikasi chatting yang diserbu banyak pengirim.Tentunya ucapan selamat atas kelulusannya, membalas pesan saja tidak. Apalagi membaca, ia hanya melihat di tampilan layar depan aplikasi. Lalu ia membuang kasar ponselnya ke bawah, untung saja lantai kamar Dion terdapat kasur lantai. Kalo tidak, ponselnya sudah hancur.Hari makin larut, Dion sudah memejamkan matanya terlebih dulu. Lalu disusul oleh Max, esok paginya mereka akan menuju sekolah SMP, untuk mengurus data-data sebagai penunjang masuk ke sekolah lain menjadi murid baru.***Felicia yang kini sudah naik kelas menjadi kelas 3 SMP. Ia terbagi dalam kelas C, hampir dalam 3 tahun ini Felicia belum begitu kenal dengan seluruh teman angkatannya.Dulu waktu ia menduduki kelas 1 SMP, dirinya juga tak mempu
Jam weker sudah berbunyi dari beberapa menit yang lalu. Tetapi, kedua anak lelaki ini masih terbaring di ranjang mereka. Tidurnya sangat lah pulas, hingga membuat saluran telinganya mendadak rusak tidak bisa mendengar suara sekeras apapun.Jika sudah begini, Bu Sisi lah yang turun tangan. Ia mengetuk pintu kamar putra pertamanya. Seperti biasa tidak ada jawaban, kejadian mengetuk pintu kamar Dion berulang hingga 5 kali. Sampai pada akhirnya sosok manusia muncul di hadapan Bu Sisi.Ia adalah Max, menguap selebar-lebarnya dan mempersilahkan Bu Sisi masuk.“Halo Tante, Bas masih tidur.” Ucap Max dengan muka bantalnya.“Cuci muka Max, tante yang urus Dion.” Sahut Bu Sisi sembari berjalan menuju ranjang.Max hanya mengangguk, ia telah memasuki toilet. Kini giliran Bu Sisi yang sedang menggoyang-goyangkan badan Dion, serta menepuk pipi anaknya dengan sedikit tekanan.Dion menggeliat, ia p
Setelah selesai mengurus semua pembayaran dan berkas-berkas, mereka berdua segera menuju area parkir. Ketika mereka sedang memakai helm, tiba-tiba kedatangan tamu tak diundang. Ialah Robert.“Eitss, buru-buru banget. Mau kemana sih kalian?” Ujar Robert bak jelangkung.“Eh Kak Robert,” Sahut Max dan Dion bersamaan sembari bertaut tangan dengan Robert.“Main futsal gas? Senggang kan?”“Aduh Kak, sorry banget nih kita berdua lagi sibuk. Lu sendiri udah daftar sekolah mana?” Sahut Dion kepada Robert.“Gua masih bingung, oke kalo kalian ga bisa. Next time yah, gua tunggu. Duluan” Ucap Robert sambil menepuk pundak Dion dan meninggalkannya pergi.Dion dan Max sudah menghidupkan mesin motornya, mereka segera melaju menuju Sekolah Ksatria. Yang jaraknya tidak cukup jauh dari Sekolah Menengah Pertama mereka.***Sesampainya disan
“Dion, komputer kamu sudah dimatikan ya.” Ucap Bu Sisi sembari beranjak dari kursi.Ketika ia membalikkan badan, ternyata putra pertamanya sudah tertidur pulas. Gaya tidur favoritnya sembari memeluk guling. Bu Sisi beralih duduk di tepi ranjang Dion, melihat wajah polos putranya sejenak.Lalu lamunannya buyar ketika mendengar bunyi suara ketukan pintu. Ia cepat-cepat menuruni anak tangga, menyempatkan mengintip siapakah gerangan tamu yang datang.Ternyata ialah suaminya dan juga Maxel. Pak Johan segera mengistirahatkan tubuhnya di sofa ruang tamu, sedangkan Maxel ia sudah menuju kamarnya di lantai 2.“Langsung mau makan siang?” Celetuk Bu Sisi tiba-tiba kepada Pak Johan.“Iya, bareng bersama Maxel.”“Ya sudah, di meja makan lengkap dengan nasi dan lauk pauk. Silahkan ambil saja ya.”Bu Sisi beranjak pergi menuju ruang keluarga, dirinya ingin menonton televis
Makan malam mereka sudah berakhir dari 10 menit yang lalu. Tetapi piring-piring sisa makanan masih tertumpuk rapi di tepi meja.Pak Johan sudah memasang raut wajah yang cukup serius, ia mulai melipatkan tangannya di atas meja.“Gini, papah pikir sepertinya kita harus pindah rumah lagi.” Ucapnya.Semua terkejut mendengar perkataan dari Pak Johan. Bagaimana bisa, mereka pindah rumah baru sebentar. Mungkin belum ada 1 bulan, tetapi Ayahnya meminta mereka untuk pindah rumah lagi.“Kenapa? Bukan kah rumah ini cukup nyaman?” Tanya Dion.“Papah kenapa mendadak memutuskan untuk pindah rumah?” Tanya Bu Sisi.Hanya Maxel lah, yang diam tidak tau harus menanyakan apa. Ia terlalu bingung kenapa harus pindah satu ke rumah lainnya.Pak Johan menghela nafasnya, lalu ia mulai menjelaskan apa yang ia bicarakan.“Kita pindah saja ke rumah Ibumu sayang, memulai usaha baru disan
Pagi harinya Felicia sudah bersiap-siap dengan seragam putih birunya. Memakai hijab di kepala, mempercantik penampilannya dengan menutup aurat.Suara klakson motor sudah berbunyi nyaring sedari tadi, memang seperti itu kebiasaan kakeknya. Tidak mau sabar dalam urusan waktu. Membuat gerakan Felicia dalam memakai sepatu menjadi grasak-grusuk.“Iyaaa! Sabar ih, masih pakai sepatu.” Gerutu Cia kesal.Begitu menaiki sepeda motornya, ia langsung melambaikan tangan kepada Bu Elsie yang terkadang mengantarkan dirinya untuk berangkat sekolah sampai di depan pintu.Jarak dari rumahnya menuju Sekolah Menengah Pertamanya hanya 4 menit saja. Lokasi yang cukup dekat dengan rumah.***Kakinya sudah menapak di halaman depan sekolah. Lalu ia segera masuk, yang kebetulan suasana masih sepi. Felicia berjalan sangat leluasa, karena baru sedikit teman seluruh angkatannya yang berangkat.Ketika ia sud
“Gais, kalo Farah benci sama gua gimana?” Ucap Felicia di tengah mengunyah makaroninya.“Bodo amat aja! Fel, Arden dan Farah itu masa lalu.” Jawab Eva yakin.Felicia hanya mengangguk, kini pembelajaran seperti biasa di mulai.Dion sedang bermain dengan laptopnya, membuka situs sekolah barunya dan melihat foto-foto bangunan secara keseluruhan. Tetapi semakin lama, dirinya juga mulai bosan.Akhirnya ia iseng mengetik di dalam situs google, ‘kursus menjadi Dj.’ Ia membaca artikelnya dan mulai bertanya kepada orang-orang yang Dion kenal seputar tentang Dj. Ada dari orang club yang sering ia datangi, memberi tau untuk mencoba bermain turntable. Sebuah alat wajib bagi seorang Dj.“Datang aja langsung kesini, nanti malam ya sebelum club buka.” Ucap seorang pria di seberang sana.“Oke baik, thanks ya. Gua makin semangat!” Jawab Dion sambil mematikan teleponnya.&n