Di Rumah Duka
Setela melakukan proses pembersihan jenazah, Yunita di semayamkan di rumah duka selama dua hari, sebelum di lakukannya kremasi.
Tok... tok... suara pintu di ketuk.
“Masuk,” Lukas setengah berteriak.
“Permisi, Presdir.” Jay menghampiri Lukas lalu berbisik pada salah satu telinganya.
Seketika raut wajah Lukas berubah sesaat mendengar kabar yang di sampaikan oleh sekretarisnya Jay.
Setengah mulutnya terbuka, kedua matanya yang indah itu memancarkan ke tidak percayaan. Perlahan Lukas memejamkan kedua matanya.
“Apakah Nyonya akan di beri tahu?” Jay bertanya dengan hati-hati.
“Entahlah, aku juga sedikit bingung saat ini.” Lukas memijat dahinya yang pening.
“Beritahu apa?” tiba-tiba terdengar suara Clarisa dari balik tirai.
Lukas mengalihkan pandangannya pada suara yang datang. Dia menghirup napasnya dalam-dalam sebelum memulai pembicaraannya
Dua hari telah berlalu, sejak kematian Yunita. Akhirnya harinya telah tiba di mana jasadnya akan di kremasi.Marco yang sedari dua hari yang lalu terus menunggui di rumah duka pun perlahan bangkit, dia berjalan mengikuti Mariam yang tengah membawa foto besar Yunita.Mereka berdua menyaksikan peti mati itu masuk dalam mesin pembakaran, perlahan tapi pasti tubuh Yunita masuk dalam lautan api yang membara, hingga tak terlihat lagi.Kesedihan yang amat dalam serta penyesalan yang besar terlukis dengan jelas di wajah marco, sorot mata yang kosong menambah kesan prihatin, air matanya seakan telah mengering, walau dia menangis tersedu-sedu namun air matanya tak tampak lagi. Mariam membawa abunya pulang.Proses kremasi pun telah berakhir, Marco pulang dengan keadaan kacau, wajahnya menjadi kosong, sorot matanya seakan padam. Dia yang berjalan memasuki rumah pun mendapat kesan yang tidak mengenakan. “Marco,” terdengar seseorang tengah ber
Saat Lukas dan Clarisa tengah berpelukan seseorang telah datang dan berdiri di ambang pintu, seraya mengamati dua sejoli yang tengah berpelukan, yang juga di saksikan oleh anak-anak.“Ehem,” Yo Han berdeham berusaha agar keduanya dapat saling melepaskan diri.Namun seketika aura dalam ruangan itu berubah drastis, suhu di dalamnya ikut turun sering tatapan Lukas yang dingin.Tatapan yang begitu menusuk, seakan langsung mengerti kala menatapnya. “Aku tidak bermaksud mengganggu kalian, aku hanya ada perlu denganmu kakak ipar,” ujarnya pada Lukas.“Ada perlu apa?” Clarisa sedikit kebingungan.“Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu kakak ipar.”“Jadi apakah aku bisa meminjamnya sebentar?” Yo Han bertanya pada Lukas.Lukas hanya memejamkan matanya, lalu menganggukkan kepalanya pelan.Yo Han membawa Clarisa menuju rooftop rumah sakit, setelah dia membeli kopi.Cla
Atmosfer di dalam toko begitu kuat, keduanya masih tertegun satu sama lain.Yo Han memandang setiap inci studio dengan tatapan dingin, seraya berkata. “Demi menghindariku, kamu telah melakukan pengorbanan besar.”“Bahkan Kau rela, melepaskan kariermu di bidang militer hanya untuk kembali merancang pakaian?”“Jadi selama ini kau bersembunyi di sini, di tempat ini!” Yo Han meliriknya dengan tatapan sedikit mengejek.Seo Nari selalu menundukkan kepala, tidak banyak bicara, yang di lakukannya hanya diam, mendengarkan setiap perkataan yang di lontarkan Yo Han padanya. Kedua matanya yang indah berkaca-kaca.“Seseorang yang tangan kanannya sudah cacat dan bahkan sulit untuk memegang sesuatu.”“Bagaimana mungkin masih berkualifikasi dan bertahan di militer?” dalam batinnya Seo Nari mengejek dirinya sendiri.Sudut bibir Yo Han terangkat sebuah senyuman yang penuh ironi. “A
Di rumah sakit Conan tengah di jaga oleh Adrian, bersama Christian yang ikut kembali ke sana.Conan sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, namun perubahan emosinya terlihat begitu jelas. Dia kembali pada pembawaannya yang dingin, namun terkesan hangat. Dia juga kembali tak banyak bicara sebelumnya.Conan tengah duduk di atas kursi roda, menghadap pada hamparan pemandangan yang asri yang di sajikan oleh pihak rumah sakit.Christian beserta neneknya hanya bisa melihatnya dari jauh, membiarkannya untuk sendiri, selang berapa lama Athes datang membawakan minuman kesukaannya.Athes menemani Conan menikmati pemandangan sore hari.“Tidak buruk juga berada di sini?” ujar Conan dengan pelan.“Satu minggu lagi aku akan melakukan perawatan, mungkin tidak akan punya waktu seperti ini lagi,” seraya meminum kembali minuman apel yang adi genggam olehnya.Athes menundukkan kepalanya, dia tahu ketakutan sedang menggerogot
Clarisa berada di balik pintu, wajahnya muram, kedua mata indahnya berkaca-kaca, setelah apa yang lewatinya saat ini, Dia menangis tertahan di sana, tanpa tahu putranya tengah menderita di kamarnya.Clarisa berjalan dengan linglung, air matanya masih tetap mengalir, dia menghela napasnya, mencoba menguatkan hatinya, bukannya segera menuju kamar Conan. Clarisa malah pergi ke taman untuk menenangkan dirinya.Di duduk di salah satu kursi yang berada di sana. Dia termenung di sana cukup lama, entah apa yang di pikirannya.Tok... tok... tok suara pintu di ketuk, sedetik kemudian Jay datang membawa setumpuk berkas, dan juga sebuah map coklat.“Presdir, ini yang ada inginkan!” seraya menyerahkan kumpulan berkas serta map coklatnya pada Lukas yang tengah berdiri di depan kaca jendela yang besar.Lukas tak bicara dia fokus memandang keluar jendela. Sesaat setelah mendengar perkataan Jay, ia pun berbalik menatap Jay yang tengah berdiri menunggu p
Satu minggu kemudianMarco telah keluar rumah sakit, begitu pula dengan Conan. Saat berada di lobi rumah sakit, Conan bersama dengan ibunya.Marco yang tengah berjalan bersama ibunya Lily menghentikan langkah kakinya. Ia melirik ke arah di mana Marco memalingkan pandangannya.Tatapannya tertuju pada seorang wanita, dan seorang anak laki-laki yang tengah duduk di sofa lobi. Lily terus mengamati keduanya dan ternyata itu adalah Clarisa.“Apakah anak yang bersamanya adalah putra sulungnya?” batinnya.Marco yang sedari tadi tertegun, mulai melangkahkan kakinya menuju Clarisa.“Marco,” Lily setengah berteriak padanya, namun Marco tidak menghiraukan suara ibunya. Dia terus menghampiri Clarisa yang tengah menunggu seseorang.“Clarisa,” Marco memanggilnya, tatapannya begitu hangat, kala memandangnya.Clarisa berbalik, saat tatapannya jatuh pada sosok Marco, senyuman yang awalnya hangat pun, sek
Melihat kedua putranya yang tengah berpelukan, Lukas merasa bahwa semenjak putra sulungnya sakit, putra keduanya Christian lebih sering bersama Kakek-Neneknya dibanding bersama dirinya atau Clarisa.Lukas menghisap kembali rokoknya, dia bersandar pada dinding, memejamkan matanya merenungi tentang apa yang telah terjadi.“Ah, sepertinya aku melupakan putraku lain,” Lukas menghela napas beratnya.Di saat dia termenung, pintu pun di ketuk, mengalihkan pandangannya, terlihat Clarisa tengah berjalan masuk. Clarisa tidak menutup pintu dengan benar, sehingga meninggalkan sedikit celah untuk mengintip. Sedangkan di belakangnya Adrian tengah mengintip dari sela pintu yang sedikit terbuka.Lukas menghisap kembali rokoknya, dia berjalan mengitari meja kerjanya, lalu duduk di kursinya.“Ada apa?” suaranya rendah namun terkesan dingin.Clarisa tertunduk, ia mencoba untuk memandang wajah Lukas yang dingin bagaikan es di musim dingi
“Tuan apakah Anda merasa sakit?” Athes bertanya dengan sedikit khawatir.Conan hanya tersenyum tipis dia berkata. “Tidak apa-apa, hanya sakit sedikit,” ucapnya, seraya mengedipkan sebelah matanya.“Tuan,”Conan menaruh jari telunjuknya di depan bibir tipisnya, mengisyaratkan agar Athes berhenti bicara.Athes terperangah, mulutnya setengah terbuka, ia pun menghela napasnya, lalu berkata. “Apa saya harus memberi tahu Ayah Anda tentang ini?” Athes bertanya namun terkesan mengancamnya.Wajah Conan mengerut, tatapannya begitu tajam, ia tidak percaya Athes mengancam dirinya.“Berhentilah bicara omong kosong, aku bahkan baik-baik saja.”“Tidak perlu di perpanjang lagi, jadi diamlah!” pintanya pada Athes.Athes yang menanggapi perkataan Conan, hanya bisa memijat dahinya yang pening, dia menghela napasnya lalu melangkah pergi meninggalkan Conan yang tengah memejamka