Share

Queen of School
Queen of School
Penulis: Melian Lee

1. Nol Lagi

"Apa?!" Tara membelalakkan matanya, tak percaya.

"Kamu kaget? Aku pikir kamu sudah biasa mendapat nilai nol. Jadi reaksimu tolong jangan berlebihan," sarkas Eva. Mereka adalah musuh bebuyutan.

Maria segera mendekati Tara mencoba menenangkan sahabatnya agak tidak meledak saat pelajaran masih berlangsung. "Sudahlah, lagian kita bisa remidi, kan?" kata siswi berambut ikal itu sambil menepuk-nepuk pundak Tara. 

"Kenapa sih ulangannya harus isian semua, kenapa bukan pilihan ganda aja?" Kertas ulangan bertanda nol dilingkari merah masih dipandanginya dengan tatapan nanar. Meski ini bukan pertama kalinya, tetap saja hatinya hancur. Nol. Benar-benar nol bahkan tidak ada koma di belakangnya. 

Antoni dan Nathan bersamaan memutar punggung mereka untuk melihat ribut-ribut di belakang mereka. "Maaf, Ta, aku tidak bisa bantu apa-apa. Pak  Rudi ketat banget, aku noleh aja tidak bisa," ucap Nathan prihatin. 

"Berapa nilai kalian?"

"Dua puluh lima," jawab Antoni dan Nathan serempak. Tara memutar bola mata. Teman-temannya tidak ada yang bisa diandalkan. Maria, teman sebangkunya hanya mendapat nilai tiga puluh, lima poin lebih banyak dari dua cowok di depannya. Tapi semua jelas lebih baik dari dirinya yang hanya mendapat nilai nol pada ulangan Fisika hari ini.

Jika kelompok pertemanan didasarkan pada kesamaan tertentu, Tara yakin dia dan teman-temannya ditakdirkan bersahabat karena satu kesamaan yaitu otak yang berkapasitas kecil. Dia sudah berusaha sebisanya. Ayolah, dia sudah pernah memanggil guru les, belajar kelompok, belajar tengah malam dan sebagainya. Tetap saja tak ada kemajuan yang berarti.

"Baiklah, pertemuan kali ini bapak akhiri. Tolong yang nilainya di bawah enam puluh persiapan untuk remedial minggu depan. Kalau sudah remedi namun nilainya masih di bawah enam puluh, bapak akan memberi tugas merangkum. Selamat siang." Pak Rudi mengakhiri kelas dengan peringatan menyeramkan untuk siswa-siswa ber-IQ rendah.

"Aaarrggghh!"

"Tara ... jangan stress nanti kamu cepat menua, loh." Antoni masih berusaha menghibur meski itu tidak membantu sama sekali.

"Ton! Aku mau tanya, tolong jawab serius."

"I-iya, Tara, apa?" Pertanda buruk kalau Tara sudah mengamuk. Bisa-bisa istirahat kedua akan Antoni dan temannya lewatkan dengan mendengarkan ocehan sang Queen of  School.

"Kamu lebih milih cewek pintar tapi jelek apa cewek cantik tapi bodoh? Jujur!"

Merasa ditodong, Antoni melihat ke Nathan untuk meminta bantuan. Tapi yang dilihat hanya menggedikkan bahu mencari aman dari pada menjawab salah dan berakhir dengan omelan panjang lebar.

"Kalau aku sih pilih yang cantik tapi bodoh, lagipula cowok itu makhluk visual." Tiba-tiba Deva menyahut. Bak angin segar, Antoni merasa lega lepas dari pertanyaan yang menjebak. Dalam hati dia berjanji akan mentraktir Deva nanti.

"Beneran?" Tara tentu saja tidak akan mudah percaya begitu saja.

"Iya, Ta. Baca di artikel banyak kok penjelasannya," jawab Deva sambil tersenyum ramah. 

"Dev ke kantin yuk." Tanpa menunggu persetujuan cowok bertubuh tingi tegap itu segera ditarik paksa oleh  Antoni. "Kita duluan. Daaa!" 

Tara tersenyum senang. Setidaknya jawaban Deva membuat suasana hatinya lebih baik sekarang. Kalau dipikir-pikir memang benar kata Deva, laki-laki hanya tertarik dengan perempuan yang cantik. Dengan kecantikan maka kesalahan akan termaafkan. Hanya perlu sedikit usaha untuk membuat semua ini jadi lebih mudah.

"Menurutmu berapa peluangku untuk dapat nilai delapan puluh untuk rata-rata semester ini, Mar?"

"Hah?! Apa? Tapi bisa sih, kalau kamu mengkhayal. Hahaha ...."

"Aku bicara serius, Maria Olivia." Gadis bermata karamel itu menatap lekat sahabatnya berharap mendapat jawaban yang lebih baik.

"Kalau kamu sampai dapat delapan puluh, berati dunia sedang tidak baik-baik saja Nona Tara Aprilia."

"Huff ... apa semustahil itu?"

"Iya. Jangan mengkhayal terus ayo kita ke kantin. Perutku sudah kangen sotonya Bu Sri."

Maria berdiri, memberi aba-aba pada Nathan untuk ikut bersama mereka. Cowok pendiam yang duduk menyandar tembok tersebut segera bangkit menyadari telah membuang sepuluh menitnya hanya untuk mendengar perdebatan tidak penting antar temannya.

*** 

Kantin sedang penuh. Mata Tara menelusur mencari tempat kosong untuk sekadar duduk memesan teh botol dingin, tapi nihil. Tiba-tiba seseorang melambaikan tangan ke arahnya. Dia duduk di pojok, dengan senyum lebar memamerkan deretan gigi putinya. Tentu saja itu adalah Antoni.

"Taraaa! Sini!" Suaranya benar-benar keras mengalahkan suara ribut siswa-siswa yang mengobrol di ruangan tersebut. Kini dirinya menjadi pusat perhatian, dan anehnya Antoni tidak sadar.

Meski merasa malu, Tara, Maria dan Nathan tetap menuju ke sana. Tidak ada pilihan lain, batin Tara menggerutu.

"Hei, bukannya itu Tara Queen of School sekolah kita, ya? Gila cantik banget!" ucap seorang siswa berbehel, mungkin ini kali pertama dia melihat Tara secara dekat. Rombongan anak kelas X selalu paling heboh.

"Iya, cantik. Dia seperti artis."

"Bukan, dia lebih cocok jadi model!"

"Oh, jadi dia yang wajahnya terpampang di halaman depan brosur sekolah waktu itu."

"Aku sekolah ke sini demi bisa melihat dia. Astaga! Aslinya ternyata lebih cantik."

Suara-suara itu membuat Tara jengah. Hari ini suasana hatinya benar-benar berantakan. Nilai ulangan Fisika nol, kantin penuh ditambah segerombolan anak kelas X yang menyebalkan. Ingin sekali rasanya pulang sekarang juga tapi masih ada pelajaran Bahasa Indonesia di jam terakhir. Tara hanya pasrah, untuk mengomel saja sudah malas sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status