Share

4. Bertengkar

Ranjang berseprei putih bersih itu berderit saat Tara menjatuhkan tubuhnya. Dia membenamkan wajahnya ke guling agar isaknya tidak terdengar. Rasa menyesal dan tidak berguna saling beradu. Andai saja otaknya tidak sebodoh ini, pasti keadaan akan lebih baik. Dia benar-benar tidak mau pindah ke rumah mama. 

Tiba-tiba pintu terbuka dan Alex masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Di suasana seperti ini masih saja Alex membuat Tara semakin murka.

"Ketuk pintu dulu! Kebiasaan!"

"Iya, iya." Alex kembali menghampiri pintu dan mengetukkan jarinya. "Tok tok permisi, tukang rusuh mau lewat."

Tara tersenyum sedikit. Meski menyebalkan, Alex selalu bisa membuatnya terhibur dengan tingkah konyolnya.

"Jadi kenapa masih rebahan? Kemasi barang-barangmu!" tegas Alex dengan mimik muka serius.

Hati Tara serasa meluncur jatuh ke lantai mendengar itu. Sakit sekali, dia mengira Alex akan menahannya pergi tapi ternyata dia tidak melakukannya. Tangisnya pecah tak tertahankan lagi.

"Hei! Aku cuma bercanda, Honey! Hahaha ayolah ...." 

Bukannya mereda, tangis Tara semakin kencang merasa dipermainkan oleh kakaknya sendiri.

"Aku benci Kakak!" teriaknya sambil memukul-mukul dada Alex.

"Iya, benci aku semaumu. Kakak tetap akan sayang sama kamu, Honey."

"Kakak jahat! Kenapa tak membelaku? Kenapa tak menahanku pergi?"

"Sayang! Berhenti memukulku, ini beneran sakit," ucap Alex sambil menahan tangan Tara. Dia pandangi wajah adik perempuan satu-satunya tersebut dalam-dalam. Mana mungkin dia membiarkan Tara pergi? Siapa yang akan dia ganggu kalau Tara tidak ada? Kemudian dia merengkuh tubuh gadis berparas cantik itu.

"Kakak janji akan mencegah Kak Brian mengirimmu ke rumah mama," ujar Alex, mengusap-usap rambut panjang Tara.

"Beneran?"

"Iya. Asal kamu juga berusaha buat rajin belajar. Minimal kamu harus bisa membuktikan pada Kak Brian bahwa kamu sungguh-sungguh."

Tara mengusap air matanya yang meluber ke mana-mana dengan punggung tangan.

"Aku bukannya tidak mau berusaha, tapi ...."

"Kalau belum menampakkan hasil, berarti kamu masih main-main. Belum serius, Tara."

"Jadi aku harus bagaimana, Kak?" 

"Soal itu kamu yang paling tahu harus bagaimana, kakak tidak bisa membantu. Tugasku adalah meyakinkan Kak Brian untuk tidak mengirimmu ke rumah mama."

Seutas senyum tulus terbit di bibir Tara menampakkan lesung di kedua pipinya. Dukungan Alexandra sangat berarti. Dia harus melakukan apa pun agar nilainya bisa naik. Semua omongan sumbang tentang dirinya yang bodoh akan dia bungkam dengan prestasi. Dalam hati dia sudah berjanji.

"Hei ... jangan memandangku seperti itu, aku hanya melakukan tugasku sebagai seorang kakak, Honey."

Tara kembali memeluk tubuh Alexandra. Rasanya seperti menemukan kembali semangat yang hilang saat berada dalam dekapan tubuh kakaknya. 

"Yah, kamu sudah melakukannya dengan baik, kok. Aku tahu kamu pasti selalu ada buatku."

Alexandra bangkit dari duduknya, berdiri dengan tegap kemudian membuang napas kasar.

"Huff! Semoga Kak Brian bisa luluh. Kamu tunggu di sini saja."

"Tapi, Kak--" Belum sempat Tara meneruskan kalimatnya Alex sudah pergi. Jujur, sebenarnya Tara khawatir kalau Kakaknya akan bertengkar gara-gara dirinya. Tapi apa boleh buat, dia juga tidak mau tinggal bersama papa tiri yang sama sekali tidak menginginkan kehadirannya.

*** 

Seorang laki-laki tampan berkacamata masih duduk tenang menghadap layar. Kertas-kertas berserakan di meja kerjanya, beberapa juga tersebar di tempat tidur. Meski sudah mengantuk dia tetap berusaha menyelesaikan tugas kuliahnya. Jadwal sangat padat. Belum lagi besok pagi harus bertemu dengan klien. Hendra, pamannya bisa membantu tapi Brian tidak mau sepenuhnya bergantung. Untuk klien-klien penting dia sendiri yang akan menanganinya. Pamannya bukan orang yang  bisa dipercaya. Dia tahu Hendra berambisi merebut perusahaan peninggalan ayah untuk dikuasai sendiri.

Sesekali kopi dihadapannya dia sesap untuk mengusir kantuk. Brian masih sibuk membolak-balik kertas. Kemudian terdengar pintu diketuk membuat perhatiannya teralih.

"Masuk," jawabnya singkat tanpa menoleh.

"Kak, masih nugas?" Alex mencoba berbasa-basi meski itu tidak berguna sama sekali.

"Ada apa? Langsung saja."

Alex menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Anu, Kak, sebaiknya Tara tetap tinggal di sini bersama kita."

Mendengar itu Brian memutar kursi agar menghadap Alex yang berdiri di sampingnya.

"Masih ada mama, dia lebih berhak mendidik Tara. Aku sudah berusaha, tapi sepertinya gagal bukan?"

"Kak ... tolong beri Tara kesempatan lagi, dia pasti bisa. Tara selama ini berprestasi, hanya akademiknya saja yang kurang." Alex memohon sembari memelaskan wajahnya. 

"Daripada mengurusi Tara lebih baik kamu mengurus hidupmu sendiri! Lihat dirimu sekarang!"

"Iya, Kak, aku salah .... Aku tidak akan mengelak, aku akan memperbaiki semuanya. Mungkin tahun depan aku akan kuliah. Tapi please jangan pisahkan Tara."

"Kamu bisa mendidiknya? Tidak bisa, kan? Lihat dia suka keluyuran bersama teman-temannya! Dia mencontohmu, Alex! Masih tidak sadar juga ya?! Kalian memang sampah. Bisanya terus-terusan menyusahkan saja!"

Secepat kilat Alex menarik kerah kaos Brian. "Tarik kembali ucapanmu!" geram Alex sambil menatap tajam. Dia tidak memanggil 'kakak' lagi ke Brian. Emosinya sudah di ubun-ubun. Jika Brian bukan kakaknya, dia pasti sudah meninju wajahnya sekarang.

Kata-kata Brian begitu menusuk. Alex tidak mengira Brian mampu mengucapkan kata seperti itu ke adiknya sendiri.

"Kalau Tara pergi dari rumah ini, aku juga akan pergi dan kami tidak akan pernah kembali lagi!" Alex melepaskan Brian, kemudian melenggang keluar kamar dengan wajah bersungut-sungut.

Andai saja Ayahnya masih hidup pasti semua bisa teratasi. Sekarang dia tidak akan mengandalkan Brian lagi. Dia tidak mau menggantungkan hidup pada kakak yang menganggapnya sampah yang tidak berguna. Alex keluar menuju garasi, kemudian memacu motornya dengan kecepat tinggi. Hujan turun deras, tapi Alex tetap pergi.

Tara yang mendengar suara motor Alex mengintip dari jendela kamarnya di lantai atas. Dia keluar ke balkon untuk melihat kakaknya. Sesuatu yang buruk sudah terjadi. Firasatnya benar. Alex bertengkar dengan Brian karena membela dirinya. 

Dengan langkah gontai Tara kembali masuk ke kamar. Dia tidak tahu harus melakukan apa saat ini. Dia mendengar sebuah telepon masuk. Tangannya meraih handphone di bawah bantal.

"Kak Alex ke mana?" ucapnya setelah tersambung.

'Tara kamu tenang ya. Tetap belajar yang rajin. Kakak tidak akan membiarkan Brian mengirimmu ke mana pun. Kalau ada apa-apa bilang sama kakak.'

"I-iya, Kak. Tapi kamu di mana sekarang?" tanya Tara khawatir.

'Aku di rumah teman. Kamu jangan terlalu banyak pikiran. Kakak baik-baik saja. Sekarang tidur. Besok aku akan menemuimu di sekolah.'

"Baiklah, Kak. Aku sayang kamu," ucap Tara tulus.

'Aku juga sayang sama kamu,' balas Alex, lalu mematikan teleponnya agar adiknya segera tidur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status