Share

5. Sebuah Rencana

Sudah hampir jam tujuh pagi. Tara duduk manis di meja makan sambil asyik memainkan handphone. Nasi goreng beserta kerupuk dan lalapan terhidang di depannnya. Mbak Ina, asisten rumah tangga masih mondar-mandir menyiapkan air minum dan buah.

"Mbak, Kak Brian mana?" tanya Tara yang sudah jengah menunggu terlalu lama. Biasanya mereka sarapan bersama sebelum memulai aktivitas masing-masing.

"Loh, Den Brian kan sudah berangkat dari tadi, Non."

"Apa?! Kenapa tidak bilang?"

"Saya kira Non Tara sudah tahu."

Astaga! Bagaimana caranya dia bisa berkonsentrasi belajar kalau paginya sudah di awali dengan kejadian tidak mengenakkan seperti ini. Buru-buru Tara menyambar tas ransel kemudian berlari ke garasi untuk mengendarai Civic Hatchback merahnya.

Sepanjang perjalanan Tara terus mengoceh. Bisa-bisanya Brian tidak memberitahu berangkat duluan. Apa gara-gara pertengkarannya semalam dengan Alex?

***

"Kamu terlambat?"

Ingin sekali rasanya dia menjambak Maria. Dia masuk ke kelas saat pelajaran sudah dimulai. Jelas dia terlambat, apa lagi namanya?

"Kamu kenapa sih diam terus? Marah?" tanyanya polos.

"Tidak. Hanya saja pertanyaanmu tidak bermutu," jawab Tara, mengeluarkan buku paketnya. Pelajaran Bahasa Indonesia sedang berlangsung, Bu Siti sibuk menjelaskan tentang majas.

"Ya sudah, aku ralat. Kemarin kamu ke mana? Kenapa jam terakhir menghilang?" Maria terus-terusan menginterogasinya.

"Bolos sama Deva."

"Apa?!" Suara Maria cukup keras sampai beberapa anak menoleh padanya.

"Maria, ada apa ribut-ribut?" tanya Bu Siti, perhatiannya terganggu oleh suara Maria yang cempreng.

"Oh, tidak, Bu. Tidak apa-apa."

"Mereka memang selalu membuat ulah, Bu." Eva membumbui membuat Bu Siti semakin tersulut emosi.

"Kalian berdua keluar saja daripada ribut terus!" 

"Tapi, Bu, saya tidak--"

"Keluar!" perintah Bu Siti mutlak.

Suasana kelas hening. Nathan dan Antoni saling berpandangan sedang mencerna apa yang baru saja terjadi. Tara kemudian keluar kelas diikuti oleh Maria.

"Aku tidak percaya! Aku baru saja berniat belajar dengan sungguh-sungguh tapi semesta sepertinya tak mendukungku!"

Tara memijit pelipisnya yang berdenyut sambil terus berjalan melewati lorong. Tujuannya adalah kantin. Dia sampai lupa sarapan gara-gara terlambat.

"Maaf, Tara ... Aku tidak bermaksud membuat kamu dikeluarkan dari kelas."

"Mau bagaimana lagi? Sekarang daripada kita tidak melakukan apa-apa sebaiknya kamu bantu aku berpikir agar bisa menaikkan nilai-nilaiku sebelum aku diusir dari rumah oleh Kak Brian."

"Apa?! Kamu diusir?"

"Maria pelankan suaramu. Bisa-bisa kita juga diusir dari kantin," ucap Tara sambil membungkam mulut temannya itu. "Aku tidak tahu bahasa yang lebih sopan, yang jelas kakak akan segera mengirimku ke rumah mama kalau nilaiku masih seperti ini."

"Ini gila," gumam Maria, berjalan mondar-mandir sambil memegangi keningnya.

"Iya, memang. Aku tidak mau pindah .... makanya bantu aku, Maria." Tara memohon pada sahabatnya. Matanya yang indah berkaca-kaca karena tidak mampu lagi menyembunyikan masalah yang dia hadapi.

"Pasti aku akan membantumu. Tenang biarkan aku berpikir sejenak." Maria kembali duduk, mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Otaknya bekerja keras menemukan cara agar Tara tidak jadi dipindahkan.

"Aku tidak mau tinggal bersama papa tiri, dia sangat membenciku ...." Tara menelungkupkan kepala ke dalam lipatan tangannya.

Tentu Maria sudah khatam tentang cerita papa tiri Tara yang bernama Hugo. Dia adalah mantan kekasih Rosa, mamanya Tara. Setelah papa Tara meninggal dan Hugo bercerai dengan istrinya, mereka kembali menjalin asmara. Kisah yang sempat terputus berpuluh-puluh tahun lalu, tersambung lagi. Itu sebabnya Hugo sangat membenci Tara dan kakak-kakaknya. Alasannya karena mereka adalah anak dari seseorang yang merebut kekasihnya dahulu.

Tiba-tiba Maria menjentikkan jarinya, melintas sebuah ide luar biasa dari otaknya yang biasa-biasa saja.

"Kemarin kamu bolos berasama Deva, kan?"

Tara mengernyitkan dahi tanda tidak mengerti arah pembicaraan Maria.

"Iya, kan?" tanyanya lagi mencari kepastian.

"Apa hubungannya dengan masalahku sekarang, Maria?" jawab Tara, menarik gemas kedua pipi sahabatnya.

"Ah, aku serius. Kalian punya hubungan apa?"

"Kami hanya saling memanfaatkan satu sama lain. Aku bosan dan dia butuh teman bicara. Itu saja. Kami hanya sebentar ngobrol di taman."

"Bagus!"

"Hah? Apanya?" 

"Kalau bisa kalian bolos saja setiap hari."

"Apa! Kamu mau aku mati muda?"

Maria menarik tangan Tara agar lebih dekat dengannya. Kemudian dia membisikkan sebuah rencana.

"Apa tidak ada rencana lain yang lebih ... logis?" 

Berpacaran menjelang tes kelulusan adalah ide paling gila yang pernah dia dengar.

"Kamu tahu kan, Deva itu pintar. Selalu peringkat tiga besar. Dia bisa kamu manfaatkan."

"Kenapa repot-repot. Aku bisa minta Kak Brian mencarikan guru les untuk mengajariku. Buat apa harus pacaran segala."

Maria tidak segera menjawab, dia memesan dua mangkok soto dan es jeruk kepada Bu Sri. Ternyata berpikir juga menghabiskan banyak energi.

"Beda, Tara. Cara mengajar guru dan teman seumuran itu beda, lho."

"Akan aku pikirkan. Kita juga harus minta pendapat Nathan dan Antoni soal ini."

"Baiklah ...." Maria tersenyum lebar melihat pesanannya datang. Mereka berdua menikmati soto hangat yang sudah tersaji di meja. Tara sangat lahap. Makan-makanan rumahan seperti ini membuatnya selalu senang. Mengingatkannya kembali tentang keluarganya saat masih utuh.

"Ternyata orang kaya makannya cuma soto, ya."

Sebuah suara membuat Maria dan Tara mendongakkan kepalanya bersama-sama. Eva beserta gengnya berdiri, menatap sinis. Seolah belum puas membuat dirinya dikeluarkan dari kelas, mereka terus saja mencari gara-gara. 

Tara sebenarnya tahu, Eva membencinya karena dirinya jauh lebih populer. Meski Eva tergolong pintar, tidak banyak yang mengenalinya. Ditambah dengan sikapnya yang merasa paling superior, dia tidak mudah menjalin keakraban dengan anak-anak lain. Berbeda sekali dengan Tara yang pandai mencari celah di mana pun berada.

"Aku sedang tidak ingin meladenimu. Lebih baik kamu pergi," usir Tara, dia paling tidak suka diganggu saat sedang makan.

"Iya, pergi sana! Dasar nenek sihir! Lagi pula ini kan jam pelajaran kenapa kalian bisa main ke kantin? Diusir juga?" Maria paling vokal soal membela Tara.

Eva membungkukkan badannya, "Kami sudah selesai mengerjakan kuis. Maklumlah, kami adalah siswi cerdas, soal yang biasa kalian kerjakan seharian bagi kami hanya sepuluh menit."

Terus-terusan diejek membuat Tara geram. Dia mengepalkan tangannya. Belum sempat dia melayangkan tamparan tiba-tiba Maria menyiram Eva dengan kuah sotonya.

"Rasakan itu!" kata Maria merasa puas.

Eva menjerit kencang. Rambutnya penuh dengan nasi dan kuah. Teman-teman se-gengnya hanya melongo melihat ulah Maria. Mereka tidak akan berani membalas, karena Maria akan membalas lagi dengan serangan-serangan lebih brutal. Akhirnya mereka pergi.

Lantai jadi basah dan kotor karena nasi berserakan. Tara menyuruh Bu Sri membersihkannya. Setelah selesai lalu dia memberinya seratus ribu sebagai tanda terimakasih. Mereka berdua meninggalkan kantin sambil tertawa puas melihat Eva basah kuyub.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status