*Happy Reading*
Aku mengerjap takjub. Melihat pria tua bangka itu langsung lari tunggang langgang hanya dengan ucapan singkat pria bule di sampingku ini.
Pria bule? Ah, iya, pria yang tadi menolong itu memang bule yang waktu itu nebeng ojeg mobil padaku.
Nah, iya. Bule yang itu!
Aduh siapa ya namanya. Lupa aku tuh. Ammar atau Ammir, ya? Ah, pokoknya bule yang itu aja. Yang waktu itu nebeng dan cuma bayar aku pake kartu nama.
Asli, aku tuh masih lumayan kesel kalau inget itu. Soalnya ....
Bisa-bisanya aku terperdaya sama kegantengannya yang memang tidak usah di ragukan lagi. Tapi ....
Emang gantengnya gak ketulungan sih nih cowok sebiji. Heran aku. Emaknya dulu ngidam apaan, ya? Sampe punya anak seganteng dia?
Okeh, cukup sampai di sana flasback-nya. Mari kita kembali ke masa sekarang. Di mana aku tidak menyangka akan bertemu lagi dengan bule ini, dengan situasi yang terbalik seperti ini.
Iya, kebalik! Kalau dulu aku yang nyelametin dia dari hukuman telat di kantornya. Sekarang dia yang nyelametin aku dari pria bangkotan buaya darat itu.
Serius, deh. Nih cowok makin mengkhawatirkan. Udah waktu itu dia buru-buru kek di kejar maling. Sekarang cuma dengan ucapan singkatnya saja. Bisa membuat orang ngacir tunggang langgang.
Bukan hanya itu. Tuh bangkotan bahkan langsung menunduk minta ampun pada bule ini. Sambil minta maaf dan berjanji gak akan berani lagi deketin aku.
Kan? Gimana aku gak suudzon coba sama nih cowok? Jangan-jangan dia ini mafia sebenarnya.
Ih ... serem!
Lalu, demi memastikan semuanya. Aku pun melirik pria bule ini, dan menatapnya lekat-lekat.
Sayangnya, setelahnya aku malah jadi salfok lagi sama wajah kerennya itu.
Ah, mata sialan!
"Kenapa melihat saya seperti itu? Kamu lupa sama saya?" tanyanya kemudian, dengan alis terangkat satu.
"Mana mungkin! Anda kan belum bayar uang bensin sama saya!" sahutku cepat. Bahkan lebih cepat dari yang aku sadari.
Anehnya, pria itu malah tergelak renyah mendengar jawabanku.
Lah, kok?
"Seriusly? Kamu ... di antara semua hal yang ada pada pertemuan kita, kamu lebih mengingat itu dari pada wajah tampan saya?"
Dih! Sombong banget, sih? Mentang beneran ganteng. Harus banget ya di umumin kek gitu?
"Lho, tapi itu kenyataannya, kan? Anda memang belum bayar uang bensin waktu itu!" Balasku tak mau kalah.
"Ya, memang. Tapi--"
"Ammar, sayang!!"
Belum selesai pria bule itu melanjutkan kalimatnya. Seorang wanita bergincu merah merona tiba-tiba muncul, dan langsung bergelayut manja pada lengan kekarnya.
Eh, eh, makhluk apa ini?
Setelah itu, wanita menor yang juga memakai dress super pendek dan belahan dada rendah itu pun dengan kurang ajarnya mengusap-usap dada bidang Ammar. Membuat aku refleks melotot horor.
Kupret! Tuh tangan minta di patahin kayaknya. Seenaknya aja megang-megang Ammar. Tangan laknat!
Bukan hanya itu, wanita itu juga seperti Sengaja menggesek-gesek dadanya pada Ammar dan mendesah di bawah rahang tegas Ammar.
Aduh-aduh, nih cabe kiloan ngapa kelakuannya kek gitu banget, ya?
Aku sebagai wanita jadi malu sendiri lihatnya.
Namun anehnya, Ammar yang harusnya menikmati kelakuan si wanita menor. Malah memutar mata jengah dan mendengkus kesal, menanggapinya. Setelah itu melepaskan rangkulan manja si wanita bergincu menor dan sedikit menggesernya jauh dari tubuhnya.
"Pergi!" Desisnya dingin.
"Loh, tapi--"
"Per-gi!" ulang Ammar dengan suara dalam yang menyeramkan. Membuat wanita itu langsung cemberut dan menghentakan kaki kesal sebelum pergi.
Ih, situ kira situ lucu, Mbak?
Ammar mendengksu kesal lagi. Sebelum kembali menoleh dan menfokuskan diri padaku. Membuat aku refleks menelan saliva kelat karenanya..
Lah, ngapa aku jadi kikuk gini ya di liatin nih, cowok?
Soalnya, dia tuh abu-abu banget kek matanya. Kejam dan normal di waktu yang singkat.
Dia ... bukan psyco, kan?
"Tadi kita sampai mana?"
"Hah?! Apa?" Aku pun auto gelagapan karena tidak siap dengan pertanyaannya.
Lagi pula, maksud dia apa, sih? Kenapa bertanya seperti itu? Emang tadi kami udah kemana? Gak kemana-mana, kan? Masih ngejogrog di sini.
"Ck, tadi pembicaraan kita sampai mana, nona Muslimah?" ulangnya. Memperjelas maksudnya.
Oh ... itu toh maksudnya.
Tetapi ... kenapa dia harus manggil aku nona Muslimah, sih?
"Nur."
"Hah?"
"Panggil saya Nur. Jangan nona Muslimah. Bisa, kan?" Aku pun akhirnya mencoba meralat panggilannya padaku.
Ammar langsung tersenyum manis mendengarnya. Kemudian manggut-manggut mengerti. Membuat jantungku kebat-kebit melihatnya.
Jantung norak!
Liat senyum bule aja gak bisa anteng. Selow ngapa sih, tung. Jangan bikin malu!
"Okeh, Nur. Benar? So, kita tadi sampai mana pembahasannya?" tanya Ammar sekali lagi.
"Sampai--"
Hoek!
Belum sempat aku menjawab. Nurhayati tiba-tiba bangun, kemudian muntah begitu saja di gamis yang baru saja di beliin Emak Kanjeng kemaren. Membuat aku menjerit histeris karena ulahnya itu.
Nurhayati kampret!!
Gamis gue belum lunas ini!!!
"Tylor!" seru Ammar kemudian entah pada siapa. Terlihat khawatir mendengar teriakan histeris aku.
Namun, tak lama setelahnya, seorang pria tinggi besar menghampiri, mengangguk, dan menjauhkan si Nurhayati dariku.
"Eh, eh, si Nur mau dibawa kemana?" protesku dengan panik.
Jelaslah aku panik. Nah yang di panggil Ammar itu mukanya serem banget kek pembunuh bayaran. Aku jadinya takut si Nur di apa-apain nanti.
"Hey? Mau ke mana?" Ammar langung menahan lenganku, saat aku baru saja ingin mengejar pria garang tadi.
"Mau nyelametin si Nur lah. Mau ngapain lagi? Begitu-begitu juga dia masih temen saya," jelasku gusar, sambil mencoba melepaskan cekalan Ammar di lenganku.
"Nur? Siapa?" tanya Ammar tak mengerti.
Ah, aku lupa kalau kami kembar nama.
"Maksudnya, itu. Temen saya. Namanya Nur juga. Cuma dia lengkapnya Nurhayati. Nah saya Nurbaety. Makanya kami biasanya di sebut dua Nur. Aduh ... kenapa juga saya harus jelasin ini sama situ? Lepasin, Ih. Kasian itu si Nur di bawa gigolo. Kalau di apa-apain gimana?" Racauku tak jelas, sambil melihat arah Nur di bawa dan Ammar secara bergantian.
Aku gak mau kehilangan Jejak si Nur. Tapi ini, ngelepasin cekalan tangan Ammar juga susah banget. Kuat banget sih cekalannya, meski anehnya gak terasa sakit sama sekali.
"Oh ... begitu," gumam Ammar santai. "Ya sudah, kalau begitu biarkan saja."
Eh?
"Ih, gak bisa gitu. Meski sering nyebelin, si Nur masih temen saya, ya?" kesalku kemudian.
"Tapi dia juga gak akan kemana-mana, kok. Hanya akan dibawa ke kamar mandi saja agar bisa muntah dengan nyaman."
Hah?!
"Kamar mandi?"
"Iya, bukannya memang di sana tempat muntah yang benar. Bukan di baju kamu."
Benar juga, sih. Tapi ....
"Kamu tenang saja. Tylor tidak akan macam-macam tanpa perintah saya," imbuh Ammar lagi. Seperti tahu apa yang aku pikirkan.
"Tylor?" beoku kemudian.
"Iya, pria tadi. Namanya Tylor. Dia orang kepercayaan saya."
Oh, begitu ....
"Sementara itu, dari pada kamu mengkhawatirkan temanmu. Lebih baik kamu mengkhawatirkan dirimu sendiri."
Maksudnya?
"Udah, sekarang ikut aku!"
Ammar lalu menarik tanganku begitu saja menjauh dari tempat itu. Membuat aku terseret mengikuti tarikkan tangannya.
Eh, eh, aku mau di bawa kemana?
“Nice. Oke, saya ambil yang ini.” Pemilik butik itu langsung tersenyum lebar sambil menerima sodoran kartu hitam yang Ammar serahkan, sebelum kemudian bergegas pergi menyelesaikan pembayaran satu set gamis yang sedang aku kenakan ini. Bener-bener ya si Ammar ini. Aku rasa, dia ini salah satu anak sultan yang kebanyakan duit, sampai melihat baju kotor bukannya dibersihkan, tapi malah di buang dan beli lagi. Boros banget, sumpah! “Pak, saya rasa ini terlalu berlebihan. Gamis saya itu cuma kotor kena muntahan. Dicuci dikit juga bisa. Jadi nggak harus beli baru kayak gini. Serius, deh. Saya nggak enak nerimanya.” Aku pun berusaha menyuarakan uneg-unegku pada Ammar. Sayangnya, pri
“Bagos ... anak perawan jam segini baru pulang. Ngelayab aja teros! Udah bosen lo tinggal satu atap sama Emak? Makanya nikah sana!” Aku langsung mendengkus sebal. Saat baru saja sampai pintu, sudah disambut dengan omelan khas dari Emak Kanjeng. Kenapa, sih? Apa pun masalah yang aku timbulkan, ujung-ujungnya pasti jatoh ke perintah buat nikah? Kayak nggak ada hal lain aja di kepala Emak selain nikah, nikah dan nikah. Sengebet itu pengen punya mantu? Kalau emang udah ngebet banget, kenapa juga harus aku yang dikejar? Kenapa bukan Bang Al, yang memang usianya sudah cocok buat nikah? Kenapa harus aku? Kenapa? Kenapa dan kenapa? Duh, lama-lama aku mau nulis novel ah. Judulnya ‘Why me?!’. Siapa tahu bisa booming ngalahin novel Amih lilis yang lainnnya. Sorry, Thor! Bukan niat mau nikung. Cuma ... semua orang itu punya hak untuk bermimpi, kan? Lalu, author pun berkata. Nggak usah ngayal kejauhan dulu, Nur. Noh, hadapin Emak lo dulu yang udah siap nyentil gin
Me :Ngaku apa sih, Nur? Gue gak tahu apa-apa.Lo kan tahu gue jomblo dari brojol, sampe detik ini. Jadi, jan fitnah lo! Udahlah, gue mau molor. Ngantuk banget. Nanti aja kita debatnya abis gue gak ngantuk lagi. Okeh! Setelahnya, aku pun melempar ponselku sembarang arah. Sebelum kemudian ambruk ke tempat tidur dan langsung pulas seketika. Asli, aku tuh ngantuk banget. Biasanya aku nggak bakal bisa mikir kalau udah ngantuk parah begini. Makanya, daripada aku ngomong ngelantur pas debat sama si Nur. Mending aku skip aja. Akhirnya, aku pun melupakan semua masalah hari ini dan bersiap menyambut mimpi yang kali ini menampilkan Sharukh Khan sedang nari di tengah taman sambil ujan-ujanan. Kebayang gimana seksinya Aa Alul di sana, kan? Cucok banget pokoknya! Jangan pada iri, ya .... ***“Emak ....” Tidak ada jawaban. “Emak ....” Masih tidak ada jawaban. “Ck, Emak gue ke mana, dah. Masih sore udah ngilang aja. Duh, repot emang
*Happy Reading*"Di sini aja, bang. Nah, iya di sini." beritahuku pada sang ojol, yang kini sedang menepikan mobilnya di lobby perkantoran."Makasih ya, Bang."Setelah mobil sudah berhenti sempurna, aku pun segera keluar dari mobil, sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih karena sudah diantarkan dengan selamat."Sama-sama, Mbak. Jangan lupa kasih bintang lima ya, Mbak," balas si sopir, sebelum aku benar-benar turun dari kendaraannya."Siap, Bang. Jangankan bintang lima, bintang tujuh saya kasih buat abang, deh," kelakarku."Bisa aja nih si, Mbak. Itu mah puyer, Mbak." Si sopir itu menanggapi sambil terkekeh.Aku ikut terkekeh saja sambil menutup pintu. Setelah itu langsung bergegas masuk, karena memang sudah di tunggu oleh Bang Al.Tenang, aku udah bayar ongkos, kok. Tapi via apk, soalnya aku gak punya cash. Hehehe ...Gaya ya, aku. Padahal mah karena emang lagi ada diskon kalau bayar pake apk. Makanya aku meman
*Happy Reading*"Bang, Al?" gumamku kemudian, dengan rasa bersalah karena kelalaianku."Maaf, Bang. Nur--""Loh, Pak Ammar. Anda sudah datang?"Eh? Loh, kok? Aku malah dicuekin gitu sama Bang Al, dan dia lebih memilih menyalami Ammar di sebelahku."Ya, baru saja. Tapi langsung melihat Nur di sini, jadi saya menyapanya," jawab Ammar lugas, seraya melirikku.Tak ayal, ucapannya itu pun membuat alis Bang Al bertaut dalam, dan ikut melirik ke arahku dengan tatapan selidik."Bapak kenal adik saya?" Lalu, Bang Al pun menyuarakan keheranannya."Loh? Dia adik kamu?" Namun Ammar malah bertanya balik tak kalah bingungnya.Alhasil, mereka pun sama-mana menatapku dengan tatapan minta penjelasan, membuat aku juga ikutan bingung sekarang. Karena ....Apanya yang mau aku jelasin, coba? Lah, aku aja gak tahu kalau mereka saling kenal."Nur? Kok kamu gak pernah cerita sama Abang kalau kenal Pak Ammar?" tuntut Bang Al.
*Happy Reading*Cunguk squadNyonya dika: nyuk, besok ngumpul, nyok! Kangen nongki cantik gue.Calon model: tumbenan bisa ngayap, bumil. Pak duda udah jinak?Nyonya Dika: jinak? Lo kata laki gue eong ragunan? Sembarangan aja lo kalau ngomong!Calon model: lah, buktinya selama ini?Nyonya Dika: ck, itu karena dia perhatian sama gue dan debay. Makanya agak batasin kegiatan gue. Tapi, dia gak pernah ngelarang kok kalau cuma nongki biasa. Asal jangan sampe subuh aja. Calon mo
*Happy Reading*"Siang, Nur. Glad to see u again."Glek!Mampus! Ngapa nih cowok ada di mari? Mau ngapain dia?Gak perlu di jelasin ya siapa dia. Kalian tentu sudah bisa menebaknya, kan?"Lho, kok Mr kenal sama anak bontot emak?"Tuh, kan! Emak Kanjeng auto kepo. Duh, siap-siap dikuliti ini, mah."Nur?" desak Mak Kanjeng lagi, karena tak segera mendapat jawaban dariku."Eng ... itu ... uhm ... Nur kebetulan pernah ketemu Pak--""Saya pemilik gedung yang ingin Nur Beli untuk tempat usahanya."Eh?Aku pun langsung mengerjap bingung, saat Ammar dengan lugasnya menjawab tanya Emak kanjeng.Ya, dia adalah Ammar. Si bule kang nunggak bensin. Nah, mau ngapain coba dia ke sini?"Begitu, Nur?" Beo Mak Kanjeng. Tak langsung percaya sama keterangan Bule keturunan jel
*Happy Reading*Bwahahahahaha ....Tentu saja, Ammar pun langsung ngakak so hard mendengar jawaban Emak barusan. Sambil menutup mulut dengan kepalan tangannya.Begitu juga kalian. Iya kan? Ngaku aja!Sementara aku? Langsung mendengkus kesal dan manyun lima meter--eh lima senti maksudnya. Soalnya ini bibir, gaes. Bukan kamu yang ketahuan selingkuh."Emak, ih!" cebikku kemudian. Demi mempertegas kekesalanku."Apa? Emak kan cuma ngomong pakta," jawab Emak sok polos, dan bukan pake 'F'.Jadi tuh tulisan emang bukan typo, ya?Tetapi ya gak gitu juga, kan?Aku ini anaknya, loh! Meski kadang aku ngerasa kek anak pungut di sini. Tapi dari golongan darah aja aku tuh sama dengan Emak. Garis wajah dan kelakuan juga satu server. Berarti aku fix anak kandung Emak, kan?Namun, kok perlakuan Emak begini amat, ya? Gak cuk