Share

Bab 11

*Happy Reading*

"Di sini aja, bang. Nah, iya di sini." beritahuku pada sang ojol, yang kini sedang menepikan mobilnya di lobby perkantoran.

"Makasih ya, Bang." 

Setelah mobil sudah berhenti sempurna, aku pun segera keluar dari mobil, sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih karena sudah diantarkan dengan selamat.

"Sama-sama, Mbak. Jangan lupa kasih bintang lima ya, Mbak," balas si sopir, sebelum aku benar-benar turun dari kendaraannya.

"Siap, Bang. Jangankan bintang lima, bintang tujuh saya kasih buat abang, deh," kelakarku.

"Bisa aja nih si, Mbak. Itu mah puyer, Mbak." Si sopir itu menanggapi sambil terkekeh.

Aku ikut terkekeh saja sambil menutup pintu. Setelah itu langsung bergegas masuk, karena memang sudah di tunggu oleh Bang Al.

Tenang, aku udah bayar ongkos, kok. Tapi via apk, soalnya aku gak punya cash. Hehehe ...

Gaya ya, aku. Padahal mah karena emang lagi ada diskon kalau bayar pake apk. Makanya aku memanfaatkan itu. Maklum, aku memang selalu kalah sama godaan diskon.

Okeh, skip. Mari kita lanjut masuk. Karena seperti yang aku bilang, aku sedang di tunggu Bang Al. 

Iya, bener. Saat ini aku sedang ada di kantor Bang Al, abang kesayangan yang hari ini lupa bawa berkas penting.

Alhasil, Bang Al pun meminta tolong aku untuk mengantarkan ke sini, dengan imbalan yang tidak bisa aku tolak sama sekali.

Gak usah di sebut ya imbalannya apa. Nanti kalian mupeng. Hehehe ...

"Permisi, Mbak. Saya mau bertemu dengan Pak Alvaro, bisa?" tanyaku pada receptionis di lobby, yang sangat cantik sekali dengan make up yang tidak bisa dikatakan natural.

"Maaf, Ibu. Sebelumnya sudah ada janji atau belum?" tanya baliknya ramah, dengan senyum seperti iklan pasta gigi.

"Belum, sih," balasku ragu. Karena aku gak tahu kalau ketemu Kakak sendiri aja, harus bikin janji dulu.

"Kalau begitu maaf, Ibu. Anda belum bisa bertemu. Soalnya Pak Alvaro cukup sibuk dan harus membuat janji temu jika ingin menemuinya." Receptionis itu masih menjawab dengan ramah.

Lah, terus ini gimana? Aku kan ke sini atas permintaan Bang Al. Mana ku tahu harus bikin janji dulu. Mana hp ketinggalan lagi tadi pas nunggu mobil.

Aku harus piye, toh?

"Tapi saya ke sini atas perintahnya, Mbak. Kalau gak percaya, telpon aja Pak Al-nya. Dan bilang kalau Nur sudah datang." Aku pun mencoba memberitahukan situasiku.

Anehnya, receptionis itu malah menautkan alisnya, dan tiba-tiba memindaiku dari ujung kepala hingga kaki.

Kenapa, sih? Aku kan jawab jujur. Kenapa dia ngeliatin aku kayak gitu?"

"Maaf, Bu. Tapi prosedur Kantor ini memang begitu. Apalagi untuk Pak Al, kami tidak bisa mengijinkan sembarang orang menemuinya. Karena beliau adalah orang kepercayaan bos kami."

Lah, aku juga tahu kalau itu. Cuma masalahnya adalah .... aku tuh ke sini emang karena permintaan Bang Al. Gimana, dong?

"Iya, Mbak. Saya juga tahu siapa Pak Al itu. Tapi saya bener-bener ke sini atas permintaannya, kok. Kalau gak percaya, telpon Pak Al-nya aja."

"Duh, Ibu. Sekali lagi saya minta maaf. Tapi kami benar-benar gak bisa mengijinkan Ibu menemui beliau tanpa adanya janji. Apalagi untuk sales asuransi seperti anda. Tolong buat janji dulu sebelum ke sini, ya?"

Apa?! Sales asuransi? Lah, nih Mbak-Mbak menor kayaknya salah paham, deh.

"Maaf, Mbak. Tapi saya bukan Sales Asuransi. Saya ini--"

"Siapapun Anda, pokoknya kalau mau bertemu dengan Pak Al, anda wajib membuat janji temu dulu." Pangkasnya seenaknya, mulai kehilangan sikap ramah yang sejak tadi dia tunjukan. 

Duh, Begini nih kalau lupa bawa hp. Jadi ribet sendiri, kan? Nyesel aku gak pernah mau di ajak Bang Al main ke sini selama ini. Jadinya kan, pada gak tahu kalau aku ini adiknya orang hebat seperti Bang Al.

"Tapi saya ini ad--"

"Nur?" 

Ucapanku langsung terhenti, saat sebuah suara tiba-tiba terdengar tak jauh dariku.

Kepalaku pun sontak menoleh ke sumber suara, dan ....

"Loh, kamu?" Gumamku refleks, saat melihat anak sultan bermata abu-abu, yang beberapa malam lalu membelikanku gamis mahal.

Iya, benar. Gamis ternyata mahal banget. Setelah aku seaching di mbah g****e, jiwa misquenku pun langsung meronta melihat harga gamis yang sebenarnya.

Nah, udah bisa nebak siapa dia kan? 

Yups. Itu Ammar!

"Selamat siang, Pak." Kepalaku pun kembali menoleh ke arah Receptionis, saat sapa ramah itu terdengar.

Loh, kok? Nih Receptionis kenal sama Ammar. Apa dia juga kerja di sini?

Eh, tapi ... kayaknya waktu itu aku bukan mengantarkannya ke kantor ini, deh. Itu loh, waktu dia tiba-tiba nyerobot numpang ojolku. 

Ck, ada di bab awal kalau kalian lupa. Nah, seingatku dulu aku tidak mengantarkannya ke sini. Tapi tempat lain.

Lalu, kenapa dia sekarang ada di sini? Mana Receptionis kantor ini mengenalnya lagi. Kan, aku jadi bingung.

"Hay, kamu masih ingat saya, kan?" tanya Ammar lagi, mengabaikan sapaan ramah si Receptionis yang tersenyum lebar ke arahnya dengan pipi mulai merona.

Yah, nih Receptionis kayaknya demen nih sama Ammar.

"Ingat, Kok. Tapi kamu kok ada di sini?" Akhirnya aku pun ikut mengabaikan sang Receptionis itu.

"Kenapa? Saya tidak boleh ke sini?" tanya balik Ammar.

"E-eh, bukan begitu. Cuma ... seingat saya. Kayaknya waktu itu, saya tidak mengantarkan anda ke sini, kan? Nah, jadi wajar kan saya tanya gitu barusan. Soalnya saya bingung aja liat anda di mana-mana? Anda ... sebenarnya kerja di mana, sih?"

Aku tahu ini gak sopan. Cuma asli, deh. Ammar ini lama-lama kek setan. Ada di mana-mana. Di kantor yang berbeda, bahkan di club pun dia juga nongol, kan? Jadi wajar kan kalau aku penasaran sama kerjaannya yang sebenarnya.

Soalnya dia makin misterius untukku.

Udah gitu, kenapa juga aku jadi sering ketemu dia. Please jangan bilang, karena mungkin kami jodoh. Soalnya itu gak mungkin, gaes!

Aku cukup sadar diri pada perbedaan kami. Ibarat kata, aku sama dia tuh kaya langit dan bumi.

Tentu saja dia langitnya, soalnya dia bersinar cerah seperti langit di musim panas. Sementara aku? ndeso!

"Kan saya udah kasih kartu nama waktu itu. Kamu gak simpan?" 

Kartu nama lagi. Duh, jangankan simpen, naroknya di mana aja aku lupa. Beneran deh.

"Jangan bilang kalau kamu menghilangkannya."

Eh, Kok dia tahu.

"Buk--"

"Nur?!" 

Belum sempat aku menjawab tanya Ammar. Sebuah suara lain terdengar memannggilku, dan ....

"Kamu nih ngapain, sih? Abang kan udah bilang, cepetan. Abang butuh berkas itu."

Ya, ampun. Aku lupa tujuanku ke sini.

Ck, gara-gara Ammar, nih!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
jangan bilang ammar bosnya bang Alvaro nih
goodnovel comment avatar
IztaLorie
Ammar bikin ga fokus nih. Mampus kamu, Nur. Dimarahin Bang Al, kan? Sukurin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status