*Happy Reading*
"Bang, Al?" gumamku kemudian, dengan rasa bersalah karena kelalaianku.
"Maaf, Bang. Nur--"
"Loh, Pak Ammar. Anda sudah datang?"
Eh? Loh, kok? Aku malah dicuekin gitu sama Bang Al, dan dia lebih memilih menyalami Ammar di sebelahku.
"Ya, baru saja. Tapi langsung melihat Nur di sini, jadi saya menyapanya," jawab Ammar lugas, seraya melirikku.
Tak ayal, ucapannya itu pun membuat alis Bang Al bertaut dalam, dan ikut melirik ke arahku dengan tatapan selidik.
"Bapak kenal adik saya?" Lalu, Bang Al pun menyuarakan keheranannya.
"Loh? Dia adik kamu?" Namun Ammar malah bertanya balik tak kalah bingungnya.
Alhasil, mereka pun sama-mana menatapku dengan tatapan minta penjelasan, membuat aku juga ikutan bingung sekarang. Karena ....
Apanya yang mau aku jelasin, coba? Lah, aku aja gak tahu kalau mereka saling kenal.
"Nur? Kok kamu gak pernah cerita sama Abang kalau kenal Pak Ammar?" tuntut Bang Al.
Aduh? Gimana ini jelasinnya? Pasti Bang Al salah paham, nih. Dikiranya aku mulai nakal, udah mulai berani deket sama cowok dibelakangnya.
Bukan apa-apa. Kalian harus tahu jika Bang Al ini sebenarnya lumayan posesif sama aku. Ya ... namanya juga cowok satu-satunya di Rumah. Jadi, dia tuh kayak punya tanggung jawab gitu neglindungi aku sama emak.
Wajar sih kalau dia jadi curiga gini sama aku.
"Anu ... Nur ... sebenarnya gak terlalu kenal kok, sama Pak Ammar. Cuma ... kami pernah ketemu saja."
Aku bingung harus jelasin kek mana tentang Ammar. Karena seperti yang pernah aku bilang. Aku tuh gak tahu apa-apa soal pria ini. Kecuali bule yang nunggak uang bensin, dan nyelametin aku dari om-om girang tempo hari.
Ah, ya. Sama yang beliin aku gamis mahal juga. Jangan lupakan itu!
Nah, selebihnya aku gak tahu apa-apa. Serius deh.
"Ketemu di mana?" tanya Bang Al penuh selidik.
"Di ojol, pas Pak Ammar hampir telat ngantor. Jadi, kita sharing ojol mobil gitu, Bang."
Aku gak bohong, kan? Itu awal pertemuan kami.
Bang Al akhirnya terlihat mengangguk mengerti dengan penjelasanku.
Fyuh ... Alhamdulilah.
Aku pun lalu melirik Ammar diam-diam, memohon lewat tatapan padanya, untuk tak memberitahu cerita lain pertemuan kami.
Kalau Bang Al tahu tempat pertemuan kami selanjutnya. Habis sudah aku!
"Jadi anda pernah satu mobil dengan adik saya?" Kali ini Ammar yang di introgasi Bang Al.
"Ya. Begitulah," jawab Ammar santai.
"Kenapa, bisa? Setahu saya anda punya mobil, kan?" tanya Bang Al penuh selidik.
Nah, aku juga sebenarnya mau tahu hal itu. Soalnya sampai sekarang, jujur saja aku belum tahu alasan dia nyerobot ojol mobilku waktu itu.
Ammar menghela napas berat sebelumnya. Lalu kembali membuka suara.
"Hari itu mobil saya mogok. Saya sudah telepon Rumah untuk mengirim mobil lain, ternyata sopir yang ada sedang mengantar Mom. Jadi, saya terpaksa menyetop sembarang mobil agar tidak telat meeting."
Oh begitu, toh! Baru tahu aku.
Sama halnya denganku, akhirnya Bang Al pun bergumam sambil mengangguk-anggukan kepalanya tanda ngantuk. Eh, paham maksudnya.
"Untung saat itu saya bertemu Nur. Dia baik mau mengantar saya, meski tidak mengenal saya. Saya berhutang banyak padanya."
Eh? Seketika aku merasa wajahku seperti menghangat, mendengar penuturan Ammar yang tidak kusangka-sangka.
Duh, jangan bilang aku baper.
"Jangan memujinya. Nanti adik saya terbang."
Sue!
Lagi enak-enak terbang sama pujian amar, Bang Al langsung bikin nyungsep seenaknya. Dasar Abang kamp--"
Eh, gak boleh ngumpat, Nur. Bagaimanapun dia Abangmu. Peri baik dalam hati langsung menegur.
Alhasil, aku pun hanya bisa cemberut saja mendengar ejekan Abangku itu.
"Jangan masukin hati." Bang Al menepuk puncak kepalaku pelan. "Abang cuma becanda, kok," lanjutnya lagi, namun hanya kutanggapi dengan dengkusan kesal saja.
Ceritanya aku merajuk, gaes. Ngerti, kan?
"Nanti Abang tambahin deh uang saku kamu. Gimana?"
Seketika senyumku pun langsung terbit, mendengar penawaran yang sangat menggiurkan itu.
Siapa juga yang bisa nolak uang saku lebih, yee kan.
"Okeh!" seruku riang, seraya mengacungkan satu jempol semokku.
Bang Al hanya terkekeh pelan melihat reaksiku barusan.
"Kalau begitu, sekarang boleh Abang minta file-nya?" Dia lalu mengangsurkan tangannya, seperti orang minta-minta.
Aku pun langsung mengubek-ubek takku, sebelum kemudian menyerahkan apa yang dia minta barusan dengan senang hati.
"Lain kali, kalau Abang bilang cepet, patuh ya, Nur? Jangan malah nyangkut keenakan ngobrol," gumamnya kembali menyindirku.
"Ih, bukan gitu ceritanya Abang. Tadi tuh Nur gak bawa Hp. Makanya gak bisa kasih tahu Abang kalau Nur udah datang."
"Ya, kan, bisa langsung naik aja ke atas."
"Gak tahu ruangannya."
"Ck, alasan aja kamu, Nur. Kamu kan punya mulut, bisa tanya orang. Tuh, receptionis juga ada. Kamu bisa nanya di sana, nanti Fitri pasti anter kamu ke tempat Abang," terang Bang Al, sambil menunjuk wanita menor yang ternyata bernama Fitri.
Tak ayal, ucapan Bang Al pun langsung membuatnya gelagapan di tempatnya. Karena mungkin dia sudah menyadari kesalahannya tadi.
"Kenapa?" Bang Al pun langsung merasa curiga. Saat melihat reaksi Fitri yang tidak biasa.
"Dia tadi mengusir, Nur!"
Eh? Jangan salah paham. Itu bukan aku ya, pemirsah! Meski aku memang cukup kesal tadi pada wanita itu, tapi aku gak suka ngadu, kok. Jadi, tadi itu bukan jawabanku.
Lalu, jawaban siapa?
Ck, siapa lagi kalau bukan Si Bule Anak Sultan. Dia kan emang suka banget nyamber kek petir.
"Uhm ... maaf, Pak. Sata benar-benar tidak tahu kalau mbaknya sedang di tunggu Bapak. Soalnya, saat saya tanya ada janji atau enggak. Mbaknya bilang--"
"Dia adik saya. Jadi tidak butuh janji apapun jika ingin bertemu dengan saya," pangkas Bang Al tegas. Membuat Fitri langsung tertunduk dalam.
"Bukan cuma itu, tadi dia juga menganggap Nur itu sal--hhmmmffftt ...."
Aku refleks menutup mulut Ammar dengan tangan, saat bule itu hendak mengompori lagi.
Duh, Nih bule ternyata lemes juga mulutnya.
Aku melayangkan pelototan kesal pada Ammar, tanda protes dengan sikap lancangnya itu. Namun, Ammar malah, tersenyum dalam bekapan tanganku. Sebelum tiba-tiba mencium dan menjilat telapak tanganku dengan iseng.
Aku pun langsung menjauhkan tanganku, dan semakin menatapnya dengan galak.
Dasar bule gila!!
"Kenapa?" tanya Bang Al kembali curiga.
"Eh? Eng-nggak papa, kok." Aku jadi kikuk sendiri mau menjelaskan bagaimana kelakuan bule gila ini.
"Itu berkas buat saya?" tanya Ammar tiba-tiba, sambil menunjuk map yang ada di tangan Bang Al.
"Iya, Pak."
Lalu, Ammar pun mengkode Bang Al menyerahkannya, sebelum membukanya sebentar dan langsung menandatanginya dengan cepat.
"Loh, tapi saya belum menjelaskan apa-apa soal proyek ini, Pak?" tanya Bang Al bingung dengan sikap Ammar.
"Tidak perlu. Saya percaya pada proyek kalian," ucapnya santai sambil menyerahkan map itu kembali pada Bang Al.
"Tapi--"
"Lagi pula ini sudah masuk jam makan siang, dan saya sudah lapar sekali. Jadi ... saya ingin pinjam Nur untuk menemani saya lunch siang ini?"
Eh? Kok, aku?
"Ngapain ngajakin saya?" tanyaku dengan bingung.
"Saya ingin traktir kamu, Nur. Ya ... anggap saja sebagai ucapan terima kasih untuk tumpangannya waktu itu," jawab Ammar lugas.
"Eh, gak usah. Kan udah impas sama kejadian malam itu di club."
"Club?"
Mampus! Keceplosan gue!
*Happy Reading*Cunguk squadNyonya dika: nyuk, besok ngumpul, nyok! Kangen nongki cantik gue.Calon model: tumbenan bisa ngayap, bumil. Pak duda udah jinak?Nyonya Dika: jinak? Lo kata laki gue eong ragunan? Sembarangan aja lo kalau ngomong!Calon model: lah, buktinya selama ini?Nyonya Dika: ck, itu karena dia perhatian sama gue dan debay. Makanya agak batasin kegiatan gue. Tapi, dia gak pernah ngelarang kok kalau cuma nongki biasa. Asal jangan sampe subuh aja. Calon mo
*Happy Reading*"Siang, Nur. Glad to see u again."Glek!Mampus! Ngapa nih cowok ada di mari? Mau ngapain dia?Gak perlu di jelasin ya siapa dia. Kalian tentu sudah bisa menebaknya, kan?"Lho, kok Mr kenal sama anak bontot emak?"Tuh, kan! Emak Kanjeng auto kepo. Duh, siap-siap dikuliti ini, mah."Nur?" desak Mak Kanjeng lagi, karena tak segera mendapat jawaban dariku."Eng ... itu ... uhm ... Nur kebetulan pernah ketemu Pak--""Saya pemilik gedung yang ingin Nur Beli untuk tempat usahanya."Eh?Aku pun langsung mengerjap bingung, saat Ammar dengan lugasnya menjawab tanya Emak kanjeng.Ya, dia adalah Ammar. Si bule kang nunggak bensin. Nah, mau ngapain coba dia ke sini?"Begitu, Nur?" Beo Mak Kanjeng. Tak langsung percaya sama keterangan Bule keturunan jel
*Happy Reading*Bwahahahahaha ....Tentu saja, Ammar pun langsung ngakak so hard mendengar jawaban Emak barusan. Sambil menutup mulut dengan kepalan tangannya.Begitu juga kalian. Iya kan? Ngaku aja!Sementara aku? Langsung mendengkus kesal dan manyun lima meter--eh lima senti maksudnya. Soalnya ini bibir, gaes. Bukan kamu yang ketahuan selingkuh."Emak, ih!" cebikku kemudian. Demi mempertegas kekesalanku."Apa? Emak kan cuma ngomong pakta," jawab Emak sok polos, dan bukan pake 'F'.Jadi tuh tulisan emang bukan typo, ya?Tetapi ya gak gitu juga, kan?Aku ini anaknya, loh! Meski kadang aku ngerasa kek anak pungut di sini. Tapi dari golongan darah aja aku tuh sama dengan Emak. Garis wajah dan kelakuan juga satu server. Berarti aku fix anak kandung Emak, kan?Namun, kok perlakuan Emak begini amat, ya? Gak cuk
*Happy Reading*"Nur?""Hm ....""Ck, elah Nur. Lo bisa berenti makan, gak? Gue mau ngomony serius ini sama lo!"Tiba-tiba si Nurhayati ngegas, saat menoleh ke arahku yang menjawab panggilannya hanya dengan gumaman."Apa dah, Nur. Lo kalau mau ngomong mah ya ngomong aja. Yang isi kan mulut gue, bukan kuping. Jadi gue masih bisa denger omongan lo." Aku pun menyahut dengan santai, sambil kembali memasukin tahu isi ranjau kedalam mulut.Entah kenapa, si Nurhayati malah menggelengkan kepala sambil mendesah panjang melihatnya.Ada masalah apa, sih? Aku kan cuma makan. Kenapa tanggapannya begitu banget, ya? Salahnya di mana, coba?"Iya, gue juga tahu kalau itu, mah. Tapi, Nur. Lo sadar gak, sih? Sejak lo datang sampai sekarang. Mulut lo tuh gak berenti ngunyah. Ngegares mulu kerjaan lo. Gak capek apa?"Tunggu! Emang ada yang ora
*Happy Reading*"Elah, Nur. Aneh bet dah lo! Dipuji bule bukannya baper, malah keselek. Payah, lo!"Aku langsung mendelik garang, saat si Nurhayati berdecak menyebalkan sambil menepuk-nepuk punggungku. Saat aku masih sibuk batuk akibat keselek cabe tadi.Dasar sahabat kampret memang dia, mah! Aku lagi kesiksa gini, bukannya di tolong, malah dinyinyirin. Kurang asem bener!"Diem, lo! Ini juga karena elo, begok!" hardikku kesal, sambil menoyor jidat si Nur yang kinclong benget kek abis cuci muka sama minyak.Au dah minyak sawit atau minyak jelantah. Pokoknya gelowingnya pake BGT."Kok jadi gue? Gue kan cuma bantu, liatin perasaan tuh bule sama lo. Dan ternyata, dia memang bener ada hati sama lo seperti dugaan sebelumnya. Perkara keselek mah gue gak ikut-ikut, ya? Itu sih elonya aja yang payah. Di puji dikit langsung bengek! Receh lo!" balas Si Nur tak kalah ngegas. Mem
*Happy Reading*"May nim is Kanjeng Ratu. Ayem moder from si Nur--eh, Nur aja, gak pake si. Aduh, nih mulut kenapa gak bisa di atur, sih? Suka keceplosan nyebut Si Nur. Nanti kalau mereka gak ngerti, gimana? Bisa malu-maluin aja nanti."Alisku makin bertaut dalam, saat mendengar dumelan Mak Kanjeng, sambil memberi makan si Jupri.Emak gue ngapain, dah? Lagi ngomelin si Jupri? Kok, pake bawa-bawa namaku segala? Emang aku bikin salah apalagi, coba?"Sekali lagi, deh!" Emak Kanjeng terlihat seperti orang berpikir, sambil komat-kamit gak jelas.Ih, kok Emakku itu makin aneh, ya? Dia gak lagi kesurupan sebangsa si Jupri, kan?"Okeh, gue siap. Dengerin gue bae-bae ya, Jup. Nanti kalau gue ada salah kasih tahu, okeh!" ucap Mak Kanjeng lagi, sambil berkacak pinggang di depan si Jupri.Kok, makin ngerih, ya?Iya sih, Mak Kanjeng itu sering ngajak s
*Happy Reading*Aku tidak percaya sama sekali dengan ucapan Mak Kanjeng saat itu. Soalnya ....Tahu sendirikan? Emakku itu emang ngebet banget punya mantu. Jadinya, aku pikir dia cuma halu pas ngomong kayak gitu.Lagipula, sampai beberapa hari setelahnya. Memang tidak ada tuh si Ammar nongol lagi di Rumahku. Jangankan nongol sama orang tuanya. Sendirian pun, tidak ada.Pokoknya, terakhir bertemu ya ... pas dia anterin balik dari tempat yang sudah jadi milikku sekarang. Setelahnya, pria itu belum menunjukan batang hidungnya lagi. Pun batang-batang yang lain.Jadi, sudahlah. Gak usah percaya. Meski sebenarnya aku sempat ngarep, sih. Tapi cuma dikit, kok, gak banyak-banyak. Paling seujung kuku, lah. Soalnya ya ... gimana? Ammar juga sering bikin aku baper, sih. Jadi, Jangan salahkan kalau aku sempet ngarep. Kan, aku juga masih wedok tulen.Gampang baper udah jadi sifat wanita
*Happy Reading*Sebenarnya aku tidak mau memperdulikan Ammar dan pacar paruh bayanya itu. Terserah aja pokoknya.Aku cukup tahu diri untuk tak pernah berharap lebih, pada pria yang memang dari segi mana pun terlihat Uwow itu.Baik tampang ataupun dompet. Ammar memang goals banget dijadiin incaran. Meski sampai sekarang aku gak tahu tuh cowok sebenarnya kerja apa? Tapi dari mulai rasa hormat yang ditaruh Bang Al dan receptionist kantor padanya, kios yang sudah kubeli, mobil, pakaian, dan semua hal yang menempel pada Ammar. Semuanya menunjukan kalau dia anak sultan.Ah, jangan lupakan ucapan kembaranku juga, yang sempat menyuruhku waspada terhadap Ammar."Sorry, Nur. Gue bukannya mau sirik, atau dengki liat lo dideketin tuh bule tajir. Tapi, gue ngomong gini, karena kita emang sahabat," ucap Si Nurhayati tempo hari sebelum kami berpis