Share

Bab 2 Senyum Palsu

Dear diary.

"Selalu menurut belum tentu bahagia. Aku tahu ada luka di balik senyummu."

***

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam saat aku tengah menonton serial kesukaanku. Sebuah kisah fantasi manusia serigala yang sudah ribuan kali diputar.

Suara pintu dibuka mengalihkan atensiku dari layar televisi. Terlihat Kak Rania memasuki rumah sambil memijat tengkuknya, dan sesekali menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Dia terlihat sangat kelelahan.

"Tumben sampai larut, Kak?" tanyaku saat Kak Rania sudah berada dekat denganku.

"Ada korban kecelakaan tadi. Jadi, mau tidak mau Kakak harus menanganinya. Padahal tadi sudah bersiap untuk pulang," jelasnya sambil berlalu ke dapur.

Aku kembali melanjutkan acara nontonku, hingga suara Kak Rania kembali terdengar.

"Anjani, sudah malam, tidur sana!"

"Iya, Kak, sebentar lagi," sahutku tanpa mengalihkan atensiku dari layar televisi, karena sedang menayangkan adegan perkelahian antar serigala yang kusuka.

"Tapi jangan lewat tengah malam, ya, nggak baik buat kesehatan."

“Siap, Bu Dokter,” ucapku seraya terkekeh.

Malam semakin larut. Tiba-tiba hujan turun dan membuat suasana menjadi dingin.

"Dingin banget, sih, padahal lagi asik nonton," gerutuku sambil mematikan televisi.

Aku beranjak ke kamar untuk berlindung di bawah selimut. Meski rumah rapat, angin nakal tetap saja bisa menembusnya. Perlahan, mataku tertutup dan mulai menyambut alam mimpi.

***

Pagi harinya aku menjalani rutinitas seperti biasa. Hari ini aku ada janji dengan temanku untuk ke toko buku. Kami berencana untuk berburu novel terbaru.

Sila adalah nama temanku, gadis ceria pecinta kartun dan novel romansa. Gadis tersebut adalah tempat curhatku, dan juga rekan kerjaku.

Kami bekerja di salah satu penerbit, Sila seorang editor sedangkan aku adalah layouter.

Saat aku sedang menyisir rambut, tiba-tiba benda pipih yang tergeletak di ranjang berdering.

"Iya, halo, Sil, gimana?"

Maaf ya, nggak bisa ketemu hari ini. Aku ada kerjaan yang nggak bisa ditinggal.

"Hmm, okelah. Ke toko buku masih bisa lain kali kok," sahutku meski sedikit kecewa.

Sorry, ujarnya dengan nada bersalah yang kentara.

"Nggak papa. Ya udah lanjut kerja lagi sana!"

Oke, love you Jani-ku.

"Menyeramkan," sahutku lalu memutus sambungan sepihak.

Aku memutuskan keluar dari kamar menuju dapur. Kakiku melangkah ringan, dan bibirku sesekali bersenandung tidak jelas. Lalu aku menuruni anak tangga dengan jalan zig-zag. Jika kalian berpikir aku seperti anak kecil, kalian sama seperti bunda.

Mau bagaimana lagi, menuruni tangga dengan jalan zig-zag dan tidak menginjak batas tepi keramik itu sangat menyenangkan. Hal itu akan melatih keseimbangan otak kalian dan melatih kelincahan. Bayangkan saja jika kalian salah pijak pasti akan terjatuh. Sama sepertiku dulu saat kecil. Meski begitu tidak ada kata jera bagiku.

"Pagi, Bunda," sapaku saat sudah berada di pintu dapur.

"Pagi juga, Sayang."

"Kak Rania ke mana, Bunda? Biasanya bantuin masak," tanyaku sambil mengambil buah apel dari lemari pendingin.

"Kakakmu sudah berangkat dari pagi. Katanya sih ada keperluan mendesak."

"Ke rumah sakit?"

"Iya, lah, ke mana lagi? Kamu ini," ujar bunda sambil menoel hidungku.

Kasian sekali Kak Rania, pagi buta sudah berkutat dengan pasien. Berteman dengan jarum suntik dan alat lainnya. Membayangkan saja sudah membuat kepalaku pening.

"Ada yang bisa Anjani bantu, Bunda?"

"Kamu bawa ikan bakar itu ke meja makan, ya," pinta bunda sambil menunjuk piring oval berisi ikan gurame bakar dengan saus kecap dan tomat yang mempercantik tampilan.

Perutku berbunyi memberi tanda bahwa sudah tak sabar untuk melahap gurame bakar itu. Segera saja aku angkat piring itu menuju meja makan.

"Ayah, ayo sarapan!" teriakku.

"Ayahmu sudah berangkat bersama Rania tadi." Sahutan dari bunda mengalihkan atensiku dari tangga.

"Jadi … kita sarapan berdua? Ah, nggak asik!" keluhku.

Ada sedikit rasa kesal dalam hatiku. Hal seperti ini sudah sering sekali terjadi setelah Kak Rania menjadi dokter.

Dulu, Bunda juga seorang bidan. Namun, setelah Kak Rania selesai kuliah, beliau memilih berhenti. Kini bunda sibuk dengan kegiatan menanam bunga anggrek di pekarangan belakang rumah.

Karena Kak Rania dan juga ayah sudah tidak di rumah, terpaksa aku sarapan berdua dengan bunda.

"Anjani, masuk kuliahmu 'kan masih lama, selama tiga bulan ada kegiatan apa?"

"Biasa sih Bun, layout. Tapi mungkin nanti Anjani tambah, lumayan buat mengisi waktu libur," sahutku sambil tersenyum.

“Kamu nggak pengin cari kerja lain?”

“Nggak tau nanti, Bunda. Masih cari-cari info juga,” jawabku seraya memasukkan potongan gurame bakar ke mulut.

***

Hari demi hari berlalu tiga bulan tidak terlalu terasa karena aku sangat disibukkan oleh pekerjaan.

Tidak terasa, lusa aku sudah mulai kuliah. Segala keperluan sudah kusiapkan supaya tidak mendadak.

Suara ketukan pintu mengalihkan atensiku dari laptop.

"Masuk aja, nggak Anjani kunci kok," sahutku.

Pintu terbuka dan menampakkan sosok Kak Rania. Dia menutup kembali pintunya lalu menghampiriku yang berada di atas ranjang.

"Lagi ngapain, Dek?"

"Biasa, Kak, lagi layout novel. Ada apa, Kak?"

"Sebenarnya Kakak ke sini mau curhat sama kamu, tapi kayaknya kamu lagi sibuk," ujar Kak Rania dengan nada lesu.

Kuletakkan laptop yang ada di pangkuanku ke meja.

"Sini, sini. Kakak mau curhat apa, hm? Anjani selalu siap menjadi pendengar yang baik."

Kak Rania mendekat dan duduk di hadapanku. Tangannya terulur memegang tanganku. Hal itu adalah kebiasaannya saat bercerita.

"Kamu ingat nggak sama cowok yang Kakak suka waktu kuliah?"

"Yang satu fakultas sama Kakak, bukan, sih?" tanyaku sambil mengingat-ingat cerita Kak Rania, dulu.

"Iya, bener. Dia!" ucapnya dengan antusias dan binary di mata.

"Lalu? Apa hubungannya sama dia?"

"Kemarin ada dokter pindahan, kamu tau dia siapa?"

"Ya nggak lah, ‘kan Kakak belum cerita," sahutku.

"Aih. Dia itu cowok yang Kakak suka. Rasanya seneng banget bisa satu tempat kerja," ujarnya tanpa sadar meremas tanganku.

"Iya, Anjani tau Kakak bahagia, tapi jangan remas tanganku juga dong," gerutuku membuat remasan Kak Rania terlepas. "Sakit tau," makiku.

Kak Rania hanya terkekeh mendengar makianku.

"Oh, iya, Kak. Dia tau nggak kalau Kakak suka sama dia?"

Senyum di wajah Kak Rania perlahan luntur. Dia menunduk dan menggeleng pelan.

"Kalau gitu, Kakak tunjukin dong, jangan diem aja."

"Caranya?"

"Ya ampun, Kak, masa nggak tau," ucapku tidak percaya. "Kakak kasih perhatian, buatin makan kek, atau apa gitu," lanjutku.

"Ah, ya, bener banget. Makasih Dek, kamu emang terbaik," ujarnya sebelum berlalu begitu saja dari kamarku.

"Kakak menyebalkan, ide itu nggak gratis ya!" teriakku.

Suara tawa Kak Rania dan Bunda terdengar membuatku kesal. Selalu saja begitu. Mereka memang menyebalkan. Aku turun dari ranjang untuk menutup pintu agar suara mereka tidak terdengar.

Kubaringkan tubuh di ranjang. Perlahan mata ini mulai terpejam dan kesadaranku hilang, tenggelam memasuki alam mimpi.

Entah berapa jam aku tertidur. Yang kutahu jam makan malam telah terlewati.

"Ternyata aku lupa matikan laptop," gumamku.

Aku segera mematikan dan menyimpan laptop kemudian mengunci pintu kamar dan kembali tidur.

***

Kicau burung tetangga mengusik tidurku. Mau tidak mau kubuka mata karena sinar mentari mulai masuk melalui ventilasi udara.

"Dek, bangun!" suara teriakan dan gedoran pintu membuatku kesal.

"Iya ... sebentar," sahutku sambil turun dari ranjang untuk membuka pintu.

"Ada apa sih, Kak, masih pagi juga," gumamku sambil menguap.

"Mandi sana, Kakak mau ajak kamu pergi,"

"Ke mana?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status