Share

Bab 4 Orang Asing

Dear diary.

"Dia adalah orang asing yang hadir menjadi jarak di antara aku dan dirimu."

***

Malam telah berlalu terganti pagi nan sejuk. Aku masih bergelung di bawah selimut, meski sinar baskara telah menerobos ventilasi.

Rasa dingin membuatku enggan beranjak. Malas merajai tubuhku. Beruntung masih ada waktu satu jam sebelum kuliah.

Ingin rasanya kupejamkan mata kembali, jika saja suara syahdu bunda tak mengusikku.

"Anjani! Bangun ... kamu ini anak gadis, tapi bangunnya kok siang banget, sih!" Bunda berteriak sambil menggedor pintu kamarku.

Aku hanya diam saja dan menaikkan selimut sampai menutup kepala.

"Anjani! Keluarlah, Bunda mau minta tolong."

"Iya, Bunda! Sebentar!"

Dengan ogah-ogahan kupaksa tubuh untuk bangkit. Langkah kakiku mengarah ke pintu.

"Ada apa sih, Bunda?" tanyaku saat pintu telah terbuka.

"Ini, ponsel kakakmu ketinggalan di meja makan. Bunda mau minta tolong kamu, buat mengantarnya ke rumah sakit."

"Nggak, ah. Bunda 'kan tau kalau Anjani paling malas ke rumah sakit," ujarku sambil bersandar di daun pintu.

"Tolonglah, lagipula 'kan searah sama kampus."

"Iya deh iya. Udah 'kan? Anjani mau tidur lagi kalau gitu."

"Enak aja mau tidur lagi. Mandi sekarang, terus berangkat. Udah, buruan sana!"

"Ih, Bunda," protesku.

"Buruan!"

"Iya, iya," ujarku sambil melangkah ke kamar mandi.

***

"Jangan cemberut terus dong," ledek bunda.

"Abisnya Bunda ngeselin. Bunda 'kan bisa anterin sendiri, kenapa harus Anjani?"

"Bunda nggak bisa, nanti mau ada tamu. Udah sana berangkat!"

Dengan menaiki motor biru muda kesukaanku, aku berangkat ke rumah sakit Sejahtera, tempat kakak bekerja.

Motorku melaju dengan kecepatan sedikit tinggi. Kurang lebih lima belas menit, aku telah sampai di parkiran sebuah gedung besar bernuansa biru putih.

Kakiku melangkah memasuki gedung. Bau obat-obatan dan anti septik langsung menusuk indra penciumanku yang bahkan sudah ditutup masker.

Ugh, rasanya aku ingin muntah. Masa iya harus tahan napas?

Aku mendekati meja resepsionis untuk menanyakan di mana Kak Rania.

"Permisi," ujarku.

"Iya, ada yang bisa dibantu, Kak?" tanya seorang wanita cantik yang berdiri di belakang meja resepsionis.

"Saya mau tanya, Dokter Rania sekarang ada di mana, ya?"

"Apa sudah ada janji?"

"Saya adiknya."

"Oh maaf, Kak. Mari saya antar ke ruangannya," ucap wanita tersebut lalu meminta temannya untuk menggantikan posisinya sementara.

Aku hanya menurut saat diajak semakin masuk. Sebenarnya aku sudah sangat tidak tahan dengan bau rumah sakit ini. Heran aku dengan Kak Rania, bisa-bisanya dia sangat betah di sini.

"Ini ruangannya, kalau begitu saya permisi," ucap petugas resepsionis tadi, saat kami sampai di depan pintu ruangan Kak Rania.

Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada petugas yang telah membantuku. Lalu ku ketuk pintu itu dan tidak ada jawaban.

"Sepertinya Kak Rania tidak di dalam. Aku langsung masuk saja lah," gumamku.

Ternyata benar, ruangan itu kosong. Aku membuka masker karena di ruangan Kak Rania agak sedikit mendingan. Bau obat tidak terlaku menyengat di sini. Justru bau parfum kakak yang mendominasi.

Aku duduk di kursi yang memang di sediakan. Kubuka ponsel dan membaca beberapa aturan kampus yang tadi sudah dibagikan.

Aku fokus pada ponsel, hingga suara pintu dibuka mengalihkan atensiku.

Kulihat seorang pria berjas dokter berdiri mematung di pintu, dengan wajah sedikit memerah seperti menahan malu.

Dia menggaruk kepala bagian belakang yang kuyakin tidak gatal. Rambut pendeknya yang dibelah dua dia sisir menggunakan tangan sebelum kaki jenjangnya melangkah mendekat.

"Maaf, aku kira tidak ada orang. Setauku Dokter Rania sedang ke kantin tadi. Kamu siapa, ya?"

"Aku Anjani, adiknya. Lain kali meski tidak ada orang ketuk pintu dulu sebelum masuk," ucapku dengan nada cuek sambil berdiri dan berlalu keluar.

Saat lewat di depannya, parfum cokelat menusuk indra penciumanku. Meski kuyakin dia menggunakannya terlaku banyak, tetapi entah kenapa bau itu sangat menenangkan.

Aku bergegas menuju ke kantin, sambil kembali mengenakan masker. Ternyata benar, Kak Rania sedang berada di kantin sambil ditemani semangkuk bakso dan segelas es teh.

"Nih ponselnya. Bikin repot tau nggak," gerutuku sambil meletakkan ponsel Kak Rania di depannya.

"Dek, Dek. Kamu ini kok nggak pernah berubah. Masih saja benci sama rumah sakit. Padahal rumah sakit nggak ada buat salah apa-apa sama kamu loh."

"Nggak tau, deh."

"Permisi, ini ponselmu ketinggalan tadi di ruangan Rania," ucap seorang pria yang berada di sampingku sambil menyodorkan benda pipih yang kukenali.

"Makasih, ya," sahutku sambil menerima ponselku.

"Oh, iya, kenalkan ini Adikku, Anjani." Perkataan Kak Rania membuatku mendengus tidak suka.

"Udah memperkenalkan diri tadi kak, udah ya, Anjani mau ke kampus. Udah hampir telat ini."

Aku bergegas bangkit dan mencium pipi Kak Rania sebelum meninggalkan kantin rumah sakit itu. Ekor mataku sempat melihat ekspresi kecewa di wajah pria itu.

Entahlah. Mungkin aku salah. Namun nyatanya, aku memang tidak ingin berkenalan dengannya, meski aku sedikit penasaran dengan namanya. Akan tetapi aku yakin, nanti malam atau lusa, Kak Rania pasti akan mengomel tentang dia.

Aku sudah menaiki sepeda motor dan bersiap untuk ke kampus. Motor biru kesayanganku melaju dengan cepat. Suasana hatiku sedikit buruk pagi ini.

Rumah sakit masih saja membawa pengaruh buruk kepadaku. Ingatan-ingat saat aku dirawat selalu terngiang.

Apalagi dokter tadi. Teman Kak Rania itu sangat tidak sopan. Jika saja tadi bukan rumah sakit, pasti aku sudah memarahinya.

Sudah tau di ruangan Kak Rania hanya ada aku, tapi dia tetap masuk. Tadi juga waktu di kantin. Matanya itu sudah berapa kali tertangkap basah sedang curi-curi pandang.

Tidak terasa, aku sudah sampai di parkiran kampus. Hari ini adalah hari pertama masuk. Semoga saja aku bisa menghadapi kakak tingkat yang haus akan hormat.

Kucabut kunci motorku dan meletakkannya di saku tas. Kakiku melangkah pelan sambil menikmati pemandangan kampus. Kedua tanganku memegang tali tas yang aku gendong.

Jangan bilang aku seperti anak kecil. Karena hal seperti ini sudah menjadi kebiasaanku sejak dulu.

Sepertinya, hari pertamaku di kampus akan biasa-biasa saja. Tidak akan ada adegan seperti di novel, ya. Karena aku jalan pakai mata dan kaki.

***

Benar saja, semuanya berjalan biasa saja. Hingga waktu pulang tiba, aku memilih untuk mengunjungi perpustakaan terlebih dahulu.

Sebenarnya, perpustakaan adalah tempat yang paling kuincar saat aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah. Aku sangat ingin menjelajahi isi perpustakaan dan mencari buku-buku tua yang tersembunyi.

Sepertinya otakku sudah terlalu terkontaminasi dengan dunia fantasi. Sampai-sampai aku pernah membayangkan bahwa aku menemukan sebuah buku sihir di perpustakaan kampus.

Aku memasuki sebuah ruangan megah nan indah. Rak-rak buku menjulang tinggi. Suasana di dalam begitu sunyi meski banyak mahasiswi yang sedang membaca.

Seperti dugaanku, perpustakaan akan menjadi tempat favoritku yang kedua. Yang pertama? Tentu saja kantin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status