Share

Bab 5 Kecelakaan

Dear Diary

“Aku benci rumah sakit, tetapi kenapa takdir seolah membawaku bersinggungan dengan tempat tersebut?”

***

Kaki ini melangkah menyusuri lorong-lorong di antara rak yang menjulang tinggi. Aku berada di tempat buku-buku yang tebalnya melebihi empat ratus halaman.

Tidak ada orang lain selain diriku. Tentu saja semua orang sangat malas melihat buku setebal ini. Namun, hal tersebut tidak berlaku untukku.

Sejak kecil, aku memang sudah sangat tertarik dengan misteri-misteri yang disimpan rapat oleh alam. Jadi, buku sejarah alam memang kesukaanku. Selain itu, kisah-kisah dunia fantasi juga memiliki tempat khusus di hatiku. 

Baru sebentar berkeliling, aku sudah tenggelam dalam bacaan sebuah buku tua bersampul cokelat. Bagian tepi buku ini sudah agak rusak, mungkin karena tidak terawatt mengingat rak sejarah sangat jarang dikunjungi.

Lembar demi lembar buku sudah aku baca, suasana sunyi membuatku merasa nyaman dan lebih mudah mencerna isi buku. Saat pikiran ini tengah larut dalam isi buku, seorang ibu paruh baya menghampiri.

“Anjani, perpustakaan sudah mau ditutup,” ujar sang penjaga perpustakaan.

Aku menoleh dan berucap, “Baik, Bu. Sebentar Anjani kembalikan buku ini terlebih dahulu.”

Setelahnya, aku bergegas keluar dari perpustakaan. Ternyata di luar sudah senja. Segera aku mengambil ponsel di saku tas dan menghidupkannya. Terlihat ada banyak panggilan tidak terjawab  dari bunda. Segera saja aku mengirim pesan bahwa sedang dalam perjalanan pulang.

Dengan tergesa-gesa, aku berlari ke parkiran. Dalam hati, aku merutuki kebodohanku yang selalu saja lupa waktu setiap membaca buku.

Langit terlihat menggelap dan rintik air mulai jatuh, “Hujan.”

Aku semakin mempercepat langkah, “Ist, kenapa parkiran jauh sekali!”

Aku mengembuskan napas lelah saat sampai di parkiran. Di parkiran mahasiswa, hanya tersisa motorku saja. Berbeda dengan parkiran dosen yang terlihat masih banyak mobil terparkir.

Cerobohnya diriku karena lupa membawa jas hujan. Jadi, terpaksa pulang dengan hujan-hujanan.

Langit semakin gelap, aku melihat jam di tangan sudah mendekati waktu maghrib. Aku tidak sadar jika di depan sana ada seekor anak kucing yang tengan menyebrang. Hingga di saat sudah dekat aku baru melihatnya.

Aku terkejut karena kucing itu justru terlihat berlari mendekati motorku. Dengan tergesa, aku berusaha untuk menghindari si kucing. Namun, naas ban motorku terpeleset.

Aku tidak bisa mengendalikan keseimbangan dan berakhir jatuh dengan posisi sangat buruk. Tangan kananku tertimpa motor dan terasa sangat sakit. Selain itu, kepalaku juga terasa pusing karena berbenturan dengan aspal. Beruntung aku menggunakan pelindung kepala.

Aku tidak bisa berdiri sendiri, beruntung ada beberapa bapak-bapak yang melintas. Aku melambaikan tangan yang terbebas berusaha memanggil mereka.

“Tolong, Pak. Tolong saya,” ucapku lemah sambil menahan sakit.

Beruntung ada salah satu dari bapak-bapak tersebut yang melihatku dan segera mengajak yang lain menghampiriku.

“Ya Ampun, Neng, kok bisa sampai begini,” ucap salah satu bapak yang memakai baju satpam.  “Tono, bantu bapak angkat motornya,” lanjutnya.

“Terima kasih, Pak. Boleh saya minta tolong antarkan ke rumah sakit, tulang tangan saya sepertinya retak.”

“Bisa, Mba. Sebentar saya pinjam mobil bos saya,” ujar seoarang lelaki paruh baya yang tadi dipanggil Tono.

Aku terduduk lemas di tepi jalan. Beruntung aku tidak melihat darah. Entah dengan bagian siku yang tertutup jaket. Selain itu, tangan dan kaki kananku sangat sakit.

Tidak menunggu lama, mobil hitam terparkir di hadapanku. Aku dibantu untuk masuk ke mobil. Anehnya bukan Pak Tono yang mengendarai mobil tersebut.

“Anjani ‘kan, ya? Adiknya Rania?”

“Loh, Pak Dokter kenal?” tanya bapak yang membantuku tadi.

“Iya, Pak. Dia adik teman saya. Terima kasih sudah menolong Pak. Saya akan membawanya ke rumah sakit segera.”

Sepanjang perjalanan aku hanya diam sambil menahan sakit. Sesekali air mata keluar begitu saja membasahi pipi.

Tidak lama kemudian, kami sampai di tempat yang paling aku benci dan malas aku datangi. Jika saja aku tidak merasa tulang tanganku retak, tidak akan aku datang ke mari.

Mobil hitam yang aku naiki berhenti tepat di depan pintu UGD. Pria tersebut bergegas keluar dari mobil dan masuk untuk memanggil rekannya sambil membawa brankar.

Kini aku sudah terbaring di brankar yang didorong. Aku diam saja sambil memperhatikan wajah pria yang mengantarku. Wajah tegasnya terlihat panik.

Aku langsung ditangani dua dokter termasuk pria tadi. Wajahku semakin pucat saat melihat salah satu suster memegang jarum suntik. Aku menggelengkan kepala ketika sang suster semakin mendekat. Air mata sudah membanjiri wajah, aku merasa sangat takut. Hingga perlahan aku mulai kehilangan kesadaran.

“Anjani!”

“Tidak apa, Dok. Sepertinya gadis ini ada phobia jarum suntik.”

Hanya suara itu yang aku tangkap sebelum semuanya gelap dan sunyi.

***

Keesokan harinya, aku terbangun sudah berada di ruang rawat. Natraku melihat bunda masih memejamkan mata di sofa. Sisa-sisa air mata terlihat jelas di pipinya.

Aku masih memperhatikan bunda hingga suara ketukan dan pintu terbuka membuatku menoleh.

“Selamat pagi, Nona. Bagaimana kabarnya?” ujar sang suster sambil tersenyum.

“Sudah lebih baik,” jawabku dengan suara serak.

Ekor mataku malihat saat sang suster meletakkan makan di nakas. Bisa aku pastikan isinya sangat tidak enak, rasanya hambar.

“Nona, kata suster Dina, Anda phobia jarum suntik. Jadi sebaiknya, sekarang menghadap ke arah lain atau bisa juga memejamkan mata. Karena saya akan menyuntikkan obat melalui infus,” jelas sang suster dengan sangat hati-hati.

Mendengar penjelasan tersebut, aku bergegas menoleh ke arah bunda dan memanggilnya.

“Bunda! Bunda bangun!” teriakku sambil menangis.

Bunda terkejut dan bergegas menghampiriku dengan wajah khawatir.

“Kenapa, Sayang?”

“Itu,” ujarku sambil menunjuk suster tadi.

Bunda semakin mendekat ke arahku dan menyembunyikan kepalaku dalam dekapannya. Tangan bunda tidak henti menusap kepalaku. Air mata sudah membasahi pipi, aku benar-benar takut.

“Sudah. Tidak sakit bukan?” ucap suster tadi membuatku menoleh.

Aku melihat ke arah wanita berseragam di sampingku dengan tatapan bingung. “Kok bisa?” gumamku tanpa sadar.

“Tentu bisa, Nona, karena saya menyuntikkan obat ke infus bukan ke kulit Anda.”

Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan dari sang suster. Terlihat dia sedang merapikan alat-alat dan bersiap keluar.

“Suster, kapan saya boleh pulang?”

“Tunggu keadaan Nona benar-benar pulih, ya,” ucapnya seraya tersenyum manis.

“Bunda, Anjani tidak suka di sini. Mau pulang,” rengekku yang memang sudah tidak betah di sini.

Bunda tidak menjawab rengekkanku, tetapi justru mendekat ke nakas untuk mengambil nampan. Aku menatap horor makanan yang kini dipegang bunda.

“Makan dulu, ya.”

Aku menggeleng kuat saat bunda memaksaku untuk makan. Kami terus bersitatap, hingga sebuah ketukan pintu mengalihkan perhatianku dan bunda.

Pintu dibuka dan terlihat dua insan berbeda jenis yang mengenakan jas dokter serupa. Keduanya masuk dan mendekat ke arahku. Netra ini terus saja memperhatikan gerak-gerik salah satunya. Seorang pria yang sudah tidak asing. Pria yang berhasil membuatku merasa kacau antara benci dan ingin.

“Bagaimana keadaanmu, Anjani?” tanya sebuah suara yang aku paham, terselip sedikit khawatir di sana.

“Sudah lebih baik,” jawabku berusaha tak acuh untuk menutupi kata hati.

“Tapi kok lesu gitu. Semangat dong, Dek, biar cepet sembuh.”

“Anjani itu bosen di sini, Kak,” keluhku pada Kak Rania.

Saat tangan Kak Rania terangkat hendak mengelus rambutku, tiba-tiba ponselnya berbunyi.

“Maaf, ya. Kakak nggak bisa lama di sini, ada panggilan tugas soalnya. Cepat sembuh, Dek,” ujar kak Rania seraya mengecup keningku.

“Bapak ngapain masih di sini?” tanyaku heran.

Pasalnya teman Kak Rania masih berdiri di tempat semula sambil terus menatapku.

“Saya adalah dokter tulang yang diminta khusus untuk merawat kamu, sampai tanganmu sembuh.”

“Tidak masuk akal!” cibirku.

Tentu saja itu aneh bukan? Sejak kapan seorang dokter mau merawat pasiennya secara khusus? Kecuali, dokter tersebut ada perjanjian dengan keluarga pasien.

Aku melihat ke arah bunda menuntut jawaban. Namun, bunda menghindari tatapanku seolah aku tidak berhak tahu.

“Nak Ardi, Bunda tinggal dulu, ya. Titip Anjani sebentar, dan tolong bujuk supaya mau makan.”

Aku menganga melihat interaksi di antara keduanya yang bisa dibilang terlalu akrab. Bunda dan Pak Ardi seoalah sudah merencanakan hal ini.

Bunda benar-benar keluar kamar dan tak acuh dengan tatapan memelasku. Ingin rasanya aku mengumpat tapi takut jadi anak durhaka.

Ayah, bagaimana ini? Bunda kok tega sih, jerit batinku saat bunda benar-benar hilang di balik pintu.

“Ngapain sih, Pak? Pergi saja sana!” ketusku, tetapi justru dibalas dengan senyuman manis.

Pak Ardi melepas jas dokternya dan meletakkannya di sudut ranjang rumah sakit yang aku tempati. Pria tersebut menggulung kemeja panjangnya sampai siku. Lalu duduk di dekatku sambil memegang nampan makan.

“Sudah puas menatap saya? Sekarang makan, ya,” ujarnya santai bahkan diselingi kekehan.

Sial! Menyebalkan sekali orang ini. Bunda! Anjani malu sekali!

Tangannya yang memegang sendok terulur mendekat ke mulutku. Aku masih menutup rapat berusaha menolak.

“Anjani, ayo makan!”

“Tida—”

Dengan sengaja dia memasukkan makanan ke mulutku di saat aku menjawab ucapannya. Ingin sekali aku berkata kasar, tetapi nyaliku ciut ketika Pak Ardi menatapku sangat tajam.

Meski malas, akhirnya aku menghabiskan makanan dengan disuapi oleh Pak Ardi. Jangan kalian pikir aku senang. Ini benar-benar terpaksa karena tangan kananku digip dan belum boleh banyak gerak. Sedangkan yang kiri dipasang jarum infus, dan itu membuatku takut bergerak.

Selain tanganku, kaki kananku juga belum boleh digunakan untuk berjalan. Benar-benar lengkap penderitaanku. Ya Tuhan, aku ingin pulang. Di sini sangat tidak nyaman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status