Salju yang berhamburan turun ke bumi menandakan resmi datangnya musim dingin. Popohonan nampak berkilau dalam balutan salju putih. Udara dingin terasa menusuk hingga tulang, tetapi tak mengendorkan semangat Carla untuk kembali datang ke rumah sakit St Thomas.
“Harusnya di hari Sabtu pagi musim dingin seperti ini kau habiskan waktu dengan bermalas-malasan di kamarmu,” ucap Suster Jane pada Carla yang sedang membantunya untuk menata peralatan medis di ruang penyimpanan.
“Itu pasti akan menyenangkan, tetapi aku tidak akan bertahan di dalam kamar lebih dari setengah hari,” ucap Carla sambil tersenyum manis pada Suster Jane.
“Kau ke sini bukan hanya untuk membantuku menata alat-alat dan obat ini bukan?” Suster Jane menatap Carla dengan tatapan penuh selidik.
Carla memamerkan cengiran kudanya, “Suster pasti sudah sangat ahli dalam membaca isi otakku.”
Suster Jane berjalan ke sisi lain rak penyimpanan,
Carla berdiri di depan pintu menuju taman rumah sakit. Dari pintu itu dia bisa melihat taman rumah sakit yang telah dipenuhi oleh salju. Gadis itu rasanya ingin sekali bermain bola salju atau sekadar membuat boneka salju di luar sana, tetapi sayangnya dia tidak bisa melakukan itu di halaman rumah sakit. Para pasien di larang keluar bangunan rumah sakit di saat salju turun. Mereka hanya boleh berkeliaran di dalam gedung. Jika dia melakukannya seorang diri akan terlihat aneh dan menyedihkan.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun yang tiba-tiba berdiri di samping Carla sambil menarik-narik tangan gadis bermata abu-abu itu.Carla menoleh ke sumber suara, setelah melihat anak laki-laki itu, ia pun tersenyum manis. Kemudian, Carla membungkukkan badannya untuk menyamai tinggi badannya dengan bocah laki-laki itu, “Aku sedang melihat salju di luar sana,” ucap Carla sambil menunjuk ke arah tamna yang te
Sbastian menarik paksa Carla untuk ikut dengannya. Dokter berhati dingin itu membawa si gadis bermata abu-abu ke gudang penyimpanan, tak jauh dari tempat mereka berdebat karena Sbastian tak ingin perdebatan mereka berdua menjadi tontonan orang-orang yang ada di sekitar mereka.“Apa kau tak puas hanya dengan mengganggu hidupku? Sekarang kau juga melibatkan pasienku?” Sbastian melepaskan cengkraman tangannya di pergelangan tangan Carla, gadis penjual bunga itu merasakan ngilu di pergelangan tangannya karena cengkraman Sbastian yang terlalu erat.“Aku sama sekali tidak mengganggu pasienmu,” ucap Carla sambil memijat-mijat pergelangan tangannya.“Kau membawa pasienku pergi dari kamar rawatnya, apa itu artinya kau tidak mengganggunya?” Sbastian memukul tembok yang ada di sampingnya, Carla sempat berjingkat karena terkejut.“Bisa tidak kau itu jangan langsung marah-marah dan mengambil simpulan begitu saja, kau kan belum
Sbastian berjalan ke ruang rawat Michael dengan perasaan kesal. Dirinya tak terima mendapatkan nasihat dari Carla. Rasanya emosinya sangat ingin meledak. Saat tiba di kamar Michael, sudah ada suster yang sedang memeriksa bocah laki-laki itu. Sbastian meminta suster itu untuk pergi, meninggalkan dirinya dan Michael dalam kamar itu.Bocah sebelas tahun itu nampak takut pada sosok Sbastian. Matanya tak berani menatap wajah Sbastian. Ia terus menundukkan kepalanya, bersiap untuk menerima amarah yang akan diluapkan oleh sang dokter.“Kenapa kau terus menunduk? Apa wajahku terlihat menakutkan?” tegur Sbastian, Michael hanya diam, dia tetap menundukkan kepalanya.Sbastian duduk di kursi yang berada tepat di samping ranjang Michael.“Aku bukan musuhmu, kenapa kau terus menundukkan kepalamu? Apa wajahku menyeramkan?” ucap Sbastian dengan nada datar.Michael tetap tak bergeming. Bocah itu masih merasa takut pada dokter yang merawatnya
“Kau?” ucap Carla yang terkejut dengan kehadiran Sbastian yang begitu tiba-tiba.“Apa yang terjadi? Kenapa kalian nampak sedang berdebat?” tanya Sbastian sambil secara bergantian menatap suster muda itu dan Carla.“Maaf, saya permisi. Tidak ada yang perlu saya katakan lagi,” ucap si suster muda yang usianya mungkin baru dua puluh lima tahunan.Carla berdecak kesal, dia mengacak-acak rambut panjangnya. Sbastian memberikan tatapan aneh pada gadis bermata abu-abu itu, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau terlihat frustasi?”Carla menatap Sbastian dengan sinis, “Sejak kapan kau peduli dengan urusanku?”Sbastian menghembuskan nafas kesal, “Ya, kau memang benar, aku tidak peduli dengan urusanmu. Jadi, tidak perlu kau jawab pertanyaanku yang tidak penting itu,” ucap Sbastian dengan sinis.Kemudian, Sbastian pun berjalan meninggalkan Carla. Buru-buru gadis bermata abu-abu it
Carla meletakkan pot keramik berwarna cokelat polos yang telah ditanami dengan bunga Amaryllis berwarna merah di atas meja panjang di depan sofa yang ada di pojok ruangan kantor Sbastian. Gadis bermata abu-abu itu membersihkan rumput-rumput liar yang ada di sekitar tanaman Amaryllisnya.Saat itulah, ia mendengar ada yang membuka pintu ruangan Sbastian. Ia menolehkan pandangannya pada pintu itu, dilihatnya sosok Sbastian dengan rambut yang awut-awutan dan wajah kusut. Carla tahu bahwa sore itu si dokter muda baru selesai mengoperasi pasiennya.“Apa operasinya berjalan lancar?” tanya Carla yang masih berada di tempatnya duduk.Sbastian menolehkan pandangannya pada sumber suara. Dilihatnya sosok Carla yang sedang menatapnya di kejauhan. Sbastian menghembuskan nafas kasar, namun dia tak menjawab pertanyaan gadis bermata abu-abu itu.Dokter angkuh itu berjalan menghampiri Carla. Lalu, menghembuskan dirinya dan menyandarkan puggungnya di sofa yang a
Sbastian berjalan dengan wajah penuh amarah menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Tujuan dokter yang sedang memakai kemeja biru langit yang dipadukan dengan celana kain hitam itu adalah bangsal kelas VIP. Kedua tangannya mengepal erat di samping badan, menandakan dirinya yang sedang berusaha untuk menahan amarah yang siap meledek.Setibanya di bangsal VIP, ia dengan buru-buru masuk ke salah satu ruangan yang berada di bagian paling ujung. Ia buka pintu kamar VIP itu dengan kasar. Ditemuinya seorang suster berusia sekitar empat puluh lima tahun sedang mengobrol dengan seorang kakek tua yang berbaring di atas ranjang perawatan.“Suster Jane keluar dari sini!” bentak Sbastian dengan wajah merah karena marah.Suster Jane dan Kakek tua itu mengalihkan tatapan mereka ke sumber suara. Mendengar teriakan yang cukup menggelegar itu, Suster Jane menelan salivanya, wajahnya terlihat tegang, berbeda dengan si kakek tua yang wajahnya tetap terlihat tenang.
Sbastian benar-benar diliputi amarah. Ia sangat kesal dengan keputusan sang kakek. Kekesalannya itu ia salurkan dengan memecahkan barang-barang di ruang kerjanya. Ia juga membuat meja kerjanya berantakan dan memukul-mukul dinding ruangannya dengan tangan untuk melampiaskan segala amarah yang terpendam. Hal itu membuat buku-buku jari tangan kanannya terluka dan berdarah.Namun, rasa sakit di buku-buku jarinya itu sama sekali tak terasa karena rasa sakit di hatinya lebih mendominasi. Ia tak peduli dengan luka-luka yang diderita buku-buku jarinya. Ia tetap melanjutkan aksi pelampiasan itu.Saat dokter bermata hijau itu sedang sibuk melampiaskan amarah dalam dirinya, seseorang membuka ruangannya tanpa mengetuk pintu. Sbastian tak peduli. Ia mengabaikan siapa pun yang masuk ke ruangannya.“Oh Tuhan Sbastian, apa yang kau lakukan?” seru sosok yang baru saja masuk ruangan dokter angkuh itu.Sbastian tak bergeming, ia tetap memukul-mukulkan buku-buku
“Keluar dari sini!” bentak Sbastian.Carla mengerucutkan bibirnya, kemudian dia duduk di samping Sbastian. Dokter bermata hijau itu menatap kesal pada si gadis penjual bunga.“Aku memintamu untuk keluar dari ruanganku, bukan menyuruhmu duduk di sampingku!” ucap Sbastian dengan mata menatap tajam.“Kau tahu bukan aku ini tidak mudah untuk menuruti perintah orang lain,” ujar Carla diringin senyum mengejek.“Dan aku ini seorang yang pemaksa,” Sbastian berdiri dari sofa yang didudukinya.Carla menarik paksa tangan Sbastian hingga membuat pria bermata hijau itu kembali terduduk karen atarikan mendadak yang dilakukan oleh Carla, “Apa yang kau lakukan?” teriak Sbastian dengan penuh amarah.“Aku membuatmu duduk kembali,” ucap Carla dengan wajah polos.“Aku mohon padamu, keluar dari ruanganku sekarang! Jangan membuat kepalaku semakin sakit!” ucap Sbastian denga