Sbastian menarik paksa Carla untuk ikut dengannya. Dokter berhati dingin itu membawa si gadis bermata abu-abu ke gudang penyimpanan, tak jauh dari tempat mereka berdebat karena Sbastian tak ingin perdebatan mereka berdua menjadi tontonan orang-orang yang ada di sekitar mereka.
“Apa kau tak puas hanya dengan mengganggu hidupku? Sekarang kau juga melibatkan pasienku?” Sbastian melepaskan cengkraman tangannya di pergelangan tangan Carla, gadis penjual bunga itu merasakan ngilu di pergelangan tangannya karena cengkraman Sbastian yang terlalu erat.
“Aku sama sekali tidak mengganggu pasienmu,” ucap Carla sambil memijat-mijat pergelangan tangannya.
“Kau membawa pasienku pergi dari kamar rawatnya, apa itu artinya kau tidak mengganggunya?” Sbastian memukul tembok yang ada di sampingnya, Carla sempat berjingkat karena terkejut.
“Bisa tidak kau itu jangan langsung marah-marah dan mengambil simpulan begitu saja, kau kan belum
Sbastian berjalan ke ruang rawat Michael dengan perasaan kesal. Dirinya tak terima mendapatkan nasihat dari Carla. Rasanya emosinya sangat ingin meledak. Saat tiba di kamar Michael, sudah ada suster yang sedang memeriksa bocah laki-laki itu. Sbastian meminta suster itu untuk pergi, meninggalkan dirinya dan Michael dalam kamar itu.Bocah sebelas tahun itu nampak takut pada sosok Sbastian. Matanya tak berani menatap wajah Sbastian. Ia terus menundukkan kepalanya, bersiap untuk menerima amarah yang akan diluapkan oleh sang dokter.“Kenapa kau terus menunduk? Apa wajahku terlihat menakutkan?” tegur Sbastian, Michael hanya diam, dia tetap menundukkan kepalanya.Sbastian duduk di kursi yang berada tepat di samping ranjang Michael.“Aku bukan musuhmu, kenapa kau terus menundukkan kepalamu? Apa wajahku menyeramkan?” ucap Sbastian dengan nada datar.Michael tetap tak bergeming. Bocah itu masih merasa takut pada dokter yang merawatnya
“Kau?” ucap Carla yang terkejut dengan kehadiran Sbastian yang begitu tiba-tiba.“Apa yang terjadi? Kenapa kalian nampak sedang berdebat?” tanya Sbastian sambil secara bergantian menatap suster muda itu dan Carla.“Maaf, saya permisi. Tidak ada yang perlu saya katakan lagi,” ucap si suster muda yang usianya mungkin baru dua puluh lima tahunan.Carla berdecak kesal, dia mengacak-acak rambut panjangnya. Sbastian memberikan tatapan aneh pada gadis bermata abu-abu itu, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau terlihat frustasi?”Carla menatap Sbastian dengan sinis, “Sejak kapan kau peduli dengan urusanku?”Sbastian menghembuskan nafas kesal, “Ya, kau memang benar, aku tidak peduli dengan urusanmu. Jadi, tidak perlu kau jawab pertanyaanku yang tidak penting itu,” ucap Sbastian dengan sinis.Kemudian, Sbastian pun berjalan meninggalkan Carla. Buru-buru gadis bermata abu-abu it
Carla meletakkan pot keramik berwarna cokelat polos yang telah ditanami dengan bunga Amaryllis berwarna merah di atas meja panjang di depan sofa yang ada di pojok ruangan kantor Sbastian. Gadis bermata abu-abu itu membersihkan rumput-rumput liar yang ada di sekitar tanaman Amaryllisnya.Saat itulah, ia mendengar ada yang membuka pintu ruangan Sbastian. Ia menolehkan pandangannya pada pintu itu, dilihatnya sosok Sbastian dengan rambut yang awut-awutan dan wajah kusut. Carla tahu bahwa sore itu si dokter muda baru selesai mengoperasi pasiennya.“Apa operasinya berjalan lancar?” tanya Carla yang masih berada di tempatnya duduk.Sbastian menolehkan pandangannya pada sumber suara. Dilihatnya sosok Carla yang sedang menatapnya di kejauhan. Sbastian menghembuskan nafas kasar, namun dia tak menjawab pertanyaan gadis bermata abu-abu itu.Dokter angkuh itu berjalan menghampiri Carla. Lalu, menghembuskan dirinya dan menyandarkan puggungnya di sofa yang a
Sbastian berjalan dengan wajah penuh amarah menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Tujuan dokter yang sedang memakai kemeja biru langit yang dipadukan dengan celana kain hitam itu adalah bangsal kelas VIP. Kedua tangannya mengepal erat di samping badan, menandakan dirinya yang sedang berusaha untuk menahan amarah yang siap meledek.Setibanya di bangsal VIP, ia dengan buru-buru masuk ke salah satu ruangan yang berada di bagian paling ujung. Ia buka pintu kamar VIP itu dengan kasar. Ditemuinya seorang suster berusia sekitar empat puluh lima tahun sedang mengobrol dengan seorang kakek tua yang berbaring di atas ranjang perawatan.“Suster Jane keluar dari sini!” bentak Sbastian dengan wajah merah karena marah.Suster Jane dan Kakek tua itu mengalihkan tatapan mereka ke sumber suara. Mendengar teriakan yang cukup menggelegar itu, Suster Jane menelan salivanya, wajahnya terlihat tegang, berbeda dengan si kakek tua yang wajahnya tetap terlihat tenang.
Sbastian benar-benar diliputi amarah. Ia sangat kesal dengan keputusan sang kakek. Kekesalannya itu ia salurkan dengan memecahkan barang-barang di ruang kerjanya. Ia juga membuat meja kerjanya berantakan dan memukul-mukul dinding ruangannya dengan tangan untuk melampiaskan segala amarah yang terpendam. Hal itu membuat buku-buku jari tangan kanannya terluka dan berdarah.Namun, rasa sakit di buku-buku jarinya itu sama sekali tak terasa karena rasa sakit di hatinya lebih mendominasi. Ia tak peduli dengan luka-luka yang diderita buku-buku jarinya. Ia tetap melanjutkan aksi pelampiasan itu.Saat dokter bermata hijau itu sedang sibuk melampiaskan amarah dalam dirinya, seseorang membuka ruangannya tanpa mengetuk pintu. Sbastian tak peduli. Ia mengabaikan siapa pun yang masuk ke ruangannya.“Oh Tuhan Sbastian, apa yang kau lakukan?” seru sosok yang baru saja masuk ruangan dokter angkuh itu.Sbastian tak bergeming, ia tetap memukul-mukulkan buku-buku
“Keluar dari sini!” bentak Sbastian.Carla mengerucutkan bibirnya, kemudian dia duduk di samping Sbastian. Dokter bermata hijau itu menatap kesal pada si gadis penjual bunga.“Aku memintamu untuk keluar dari ruanganku, bukan menyuruhmu duduk di sampingku!” ucap Sbastian dengan mata menatap tajam.“Kau tahu bukan aku ini tidak mudah untuk menuruti perintah orang lain,” ujar Carla diringin senyum mengejek.“Dan aku ini seorang yang pemaksa,” Sbastian berdiri dari sofa yang didudukinya.Carla menarik paksa tangan Sbastian hingga membuat pria bermata hijau itu kembali terduduk karen atarikan mendadak yang dilakukan oleh Carla, “Apa yang kau lakukan?” teriak Sbastian dengan penuh amarah.“Aku membuatmu duduk kembali,” ucap Carla dengan wajah polos.“Aku mohon padamu, keluar dari ruanganku sekarang! Jangan membuat kepalaku semakin sakit!” ucap Sbastian denga
Dua porsi sup jamur telah berada di tangan Carla. Gadis itu kembali lagi ke ruangan Sbastian dengan wajah riang. Saat tiba di depan ruangan dokter angkuh itu, tanpa mengetuk pintu, Carla langsung membuka pintu ruangannya.Ruangan Sbastian begitu gelap padahal tadi saat ditinggalkan Carla ruangan itu masih diterangi dengan lampu-lampu yang menyala. Carla yakin pasti Sbastian lah yang telah mematikan lampu di ruangannya.Carla pikir mungkin Sbastian sudah pergi dari ruangan itu dan menenangkan diri dengan pulang ke rumah. Meski ia tahu bahwa Sbastian mungkin tidak ada lagi di sana, Carla tetap mencari tombol untuk menyalakan lampu ruangan itu karena ia ingin melihat apakah ruangan Sbastian sudah dirapikan atau belum.Ketika tombol lampu ditemukan, tombol itu pun ditekan, lampu seketika menyala. Saat itu pula, seseorang berteriak terkejut, “Apa-apaan ini? Siapa itu?”Carla terjingkat, terkejut dengan teriakan seseorang yang ternyata ada di dalam
Setelah keduanya selesai makan malam dengan menghabiskan sup jamur hangat. Carla mengatakan pada Sbastian akan membantu dokter bermata hijau itu untuk mendapatkan mansion musim panas yang diinginkannya. Tentu saja Sabstian tak mempercayai ucapan Carla.“Apa alasanmu ingin membantuku?” tanya Sbastian dengan tatapan penuh selidik.“Tidak ada alasan khusus,” ucap Carla dengan cuek.Sbastian tersenyum sinis, “Aku tidak membutuhkan bantuanmu.”“Kau yakin?” Carla meremehkan.Sbastian menatap tajam gadis bermata abu-abu itu, “Aku sangat yakin.”Carla berdecak kesal, “Aku rasa kau membutuhkan bantuanku. Kau tidak mungkin bisa memiliki mansion itu tanpa bantuanku.”Sbastian memberikan tatapan menyelidik, “Apa yang sebenarnya kau rencanakan gadis gila?”Carla memutar bola matanya denagn kesal, “Aku tidak merencanakan apa-apa, aku hanya tidak tega me