Sbastian kembali meneguk wiski miliknya, kali ini ia meneguknya secara langsung dari botol wiski itu. Entah mengapa hatinya menjadi risau sejak kepergian Carla beberapa saat yang lalu. Ia merasa kesal, namun bingung kesal pada siapa dan kenapa. Ketika dia sedang berusaha menyalurkan rasa kesalnya itu dengan meminum wiski, bel mansionnya kembali berbunyi.
Sbastian yang masih sadar sepenuhnya karena dia memang kuat meminum minuman beralkohol dengan amarah yang masih tersimpan berjalan ke arah pintu utama mansionnya setelah meletakkan botol wiski yang ada di tangannya di atas meja bar mini. Saat pintu mansion dibuka, dirinya terkejut melihat salah satu penjaga pintu gerbang mansionnya sedang mengangkat tubuh Carla yang sedang tak sadarkan diri.
“Apa yang terjadi?” tanya Sbastian dengan wajah khawatir, wajah penuh amarahnya kini telah menghilang.
“Nona ini pingsan di depan pintu gerbang sembari menunggu taksi pesanannya,” ucap si penjaga gera
Waktu menunjukkan pukul delapan pagi ketika Carla membuka matanya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, menyesuaikan matanya dengan cahaya lampu ruangan. Ia mengenali ruangan itu. Ruangan yang sama yang dihuninya asaat pingsan setelah berlari pagi mengejar Sbastian.Carle mencoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi padanya di malam sebelumnya. Hal terakhir yang diingat olehnya adalah sedang berdiri di depan gerbang mansion Sbastian, menunggu taksi pesanannya, lalu pusing tiba-tiba menyerangnya dan tubuhnya terasa lemas. Setelah itu dia tidak mengingat apa-apa.Carla bangkit dari posisi berbarinya, duduk bersandar pada sandaran kasur. Kepalanya masih terasa berdenyut. Kompres yang ada di keningnya terjatuh. Baju yang dipakainya telah berganti.Ketika Carla bersiap untuk turun dari kasur yang ditempatinya, seseorang membuka pintu kamar itu.“Tetaplah di kasurmu!” ucap Sbastian dengan tegas sambil membawa nampan berisi teh manis hangat dan sup ayam b
Setelah Sbastian pergi dari kamar tamu itu dengan kesal, Carla memilih unutk kembali tidur karena kepalanya masih berdenyut pusing. Ia berharap dengan tidur, pusing di kepalanya bisa berangsur menhilang.Carla kembali terbangun sekitar pukul satu siang. Cacing-cacing di perutnya mulai berbunyi, meminta makan. Sebenarnya, gadis bermata abu-abu itu sama sekali tidak berselera untuk makan, tetapi perutnya sepertinya tidak sepaham.Carla akhirnya turun dari tempat tidur tempatnya berbaring. Kepalanya amsih sedikit berdenyut, tetapi tidak separah sebelumnya. Ia berjalan dengan lemas menuju dapur mansion Sbastian.Di sana, dilihatnya seorang asistern rumah tangga sedang memasak. Carla pun mendekati asisten rumah tangga itu dan menyapanya.“Nona, sudah bangun?” ucap si asisten rumah tangga yang berusia sekitar tiga puluh tahunan. Carla menganggukkan kepala kecil.“Apa Nona ingin makan?” tanya asisten rumah tangga itu dengan lembut.
Waktu menunjukkan pukul lima sore. Carla menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam kamar ruang tamu mansion Sbastian. Sesekali ia mengecek ponselnya untuk membalas pesan dari karyawan dan pelanggannya. Ia juga telah mengabari keluarganya bahwa kondisinya baik-baik saja dan beralasan pada keluarganya sedang membantu persiapan pernikahan sahabatnya karena itu dia tidak pulang ke rumah malam sebelumnya.Ketika gadis bermata abu-abu itu sedang asyik melihat video di layar ponselnya, seseorang membuka pintu kamar yang ditempatinya. Secara spontan gadis penjual bunga itu menatap pintu. Dilihatnya sosok Sbastian yang baru pulang dari rumah sakit dengan memakai setelah rapi.“Apa kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk?” tegur Carla.“Ini mansionku, kamar yang kau huni ini juga milikku, jadi untuk apa aku perlu mengetuk pintu?” ucap Sbastian dengan kesal.Carla menghela nafas kesal, “Tanpa kau ingatkan, aku pun t
Malam telah tiba. Matahari sepenuhnya telah tenggelam. Salju masih setia turun menyelimuti kota London. Esok hari ketika salju telah berhenti turun, pastilah jalanan dan atap-atap rumah telah dipenuhi dengan gundukan salju putih. Menyenangkan untuk membuat boneka salju dengan gundukan itu atau setidaknya jika malas membuat boneka salju, gundukan itu bisa dijadikan senjata untuk bermain perang salju.Pukul tujuh malam Sbastian masuk ke kamar Carla dengan membawa shchi yang ia masak dengan tangannya sendiri. Shchi merupakan makanan khas Rusia yang terbuat dari kubis, jamur, daging sapi, dengan campuran rempah-rempah dan tambahan lada hitam dan daun salam. Penyajiannya disandingkan dengan roti gandum untuk menambah kalori dan karbohidrat. Menurut Sbastian, shchi sangat baik untuk orang yang sakit karena segar dan banyak mengandung vitamin.Saat Sbastian masuk ke kamar Carla, dilihatnya gadis bermata abu-abu itu sedang tidur miring
Carla terbangun dari tidur lelapnya sekitar pukul tujuh pagi. Tubuhnya terasa lebih segar, rasa pusing di kepalanya sudah menghilang. Ia pun merenggangkan tubuhnya sebelum turun dari kasur empuk yang ditempatinya selama dua hari terakhir.Gadis bermata abu-abu itu keluar dari kamar tamu mansion Sbastian, dari depan pintu kamar itu diciumnya aroma sedap masakan dari dapur. Senyum sumringah tersungging di wajah cantiknya. Dengan langkah cepat ia pergi ke arah dapur mansion mewah itu.Ketika tiba di dapur, dilihatnya Sbastian sedang sibuk memotong-motong sayuran, teflon di depannya sedang mengepulkan asap.“Apa yang kau masak?” tanya Carla sambil berjalan mendekat ke Sbastian.Pria bermata hijau itu mengangkat kepalanya yang tertunduk karena sedang memotong-motong buncis, “Kau sudah bangun?”Carla menganggukkan kepalanya sambil menatap teflon berisi daging yang telah mengeluarkan asap, “Apa yang kau masak?”&
Setelah menghabiskan sarapan dan membersihkan diri, mereka pun pergi meninggalkan mansion mewah Sbastian. Pagi itu Carla meminta agar Sbastian mengantarkannya ke toko bunganya. Awalnya, dokter bermata hijau itu menolak dan mmeinta Carla untuk naik taksi atau bus karena gadis bermata abu-abu itu telah sehat kembali. Namun, Carla berusaha dengan keras untuk membujuk Sbastian mengantarkannya. Gadis penjual bunga itu mengancam, jika Sbastian tidak bersedia mengantarnya maka dia tidak akan mau pergi dari mansion mewah itu.Sbastian merasa kesal dengan ancaman itu, namun pada akhirnya dia pun bersedia mengantar Carla ke toko bunganya dengan terpaksa. Sbastian heran karena gadis bermata abu-abu itu baru saja sembuh tetapi sudah pergi bekerja. Sbastian menasihatinya agar istirahat di rumah hingga benar-benar pulih. Tapi seperti biasanya, Carla tidak mendengarkan nasihat itu. Lagi pula pagi itu dia sudah ada janji temu.Carla mengatakan pada sang dokter dingin bahwa pukul sepul
Setelah mengantarkan Carla kembali ke toko bunga, Evelyn buru-buru pergi karena penyedia jasa katering yang ia sewa sudah menunggunya. Carla menatap kepergian sang sahabat dengan tatapan sendu. Ia tahu bahwa di balik kebahagiaan yang Evelyn tunjukkan masih tersimpan kesedihan.Carla berusaha untuk mencari cara agar biasa membuat Sbastian luluh dan akhirnya bersedia untuk datang ke acara pernikahan sang kakak. Carla terus memikirkannya sambil berjalan masuk ke dalam toko bunganya. Saat ia berada di dalam toko bunga, ia langsung masuk ke ruangannya. Ia ingin menenangkan pikirannya sembari mencari cara untuk menyadarkan Sbastian.Selama hampir setengah jam mencari cara agar hati Sbastian yang keras dan dingin itu lunak dan menghangat, akhirnya Carla mengambil keputusan. Ia akan mengambil setelan pendamping yang Evelyn pesan pada Joy. Ia akan memberikannya pada Sbastian sebagai usaha akhir untuk mengubah keputusan dokter bermata hijau itu.Buru-buru Carla keluar dar
Mendengar jawaban Carla itu membuat Sbastian marah. Rahangnya terlihat mengeras, kedua tangannya mengepal kuat. Amarahnya siap meledak. Ia berdiri dari kursi yang didudukinya sambil menggebrak meja kerjanya. Matanya menatap Carla dengan tatapan siap menerkam.“Ambil itu kembali! Aku tidak membutuhkannya,” bentak Sbastian. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Carla tetap berusaha untuk mendamaikan dirinya dan Evelyn.Carla berusaha tetap tenang, ia sadar bahwa amarah Sbastian tidak bisa dihadapi dengan amarahnya. Jika dia ikut tersulut emosi maka keadaan akan semakin buruk dan semua akan berjalan seperti biasanya. Berakhir dengan perdebatan dan adu mulut di antara mereka, tanpa jalan keluar, tanpa solusi.“Itu pakaian yang Evelyn pesankan untukmu. Pakaian pendamping pengantin,” ucap Carla sambil menaha amarahnya.“Aku sudah bilang bukan akau tidak akan datang ke pernikahan itu. Bukankah dia sendiri sudah membebaskanku dari kesep