Avery membuka pintu depan rumah itu. Ia melihat selotip dan papan tulisan ‘disita’ di sekitar pintunya. Sierra di belakang membawa senter besar untuk menerangkan penglihatan mereka. Mereka masuk dengan perlahan.
Mereka berdua tidak menyangka Vanilla berada di rumah ini. Mereka langsung dihadapkan dengan ruang tamu yang kosong. Mereka berdua menelusuri ruang-ruang sekitar untuk mencari Vanilla.
Mereka tidak melihat Vanilla di ruangan mana pun. Mereka berdua mengerti bahwa mereka harus mencari dimana Vanilla sedang bersembunyi.
Avery dan Sierra langsung tertuju pada sebuah kamar di lantai atas. Pasti itu adalah kamar Vanilla. Mereka membuka pintu yang tidak terkunci itu. Mereka melihat banyak boneka yang sudah berdebu. Interior kamar girly juga menunjukkan bahwa ini benar Vanilla.
Di sana ada sesuatu yang janggal. Terdapat sebuah kursi yang terletak di atas sebuah meja. Diatasnya terdapat lubang kotak yang bisa digapai untuk masuk.
Avery dan Sie
Vanilla Kim. Seorang siswa dari sekolah semi-elit bernama SMA Hamyulyang di Korea Selatan. Secara perawakan, ia memiliki tinggi badan cukup pendek dengan badan sedikit berisi. Dengan rambut sebahu yang ditambah poni depan, membuat para sahabatnya setuju bahwa ia memiliki perawakan seperti anak-anak yang manis. Ia merupakan anak tunggal dari keluarga yang cukup mapan karena ayah ibunya berbisnis di bidang furniture. Dibesarkan dengan orang tua yang super overprotektif, membuat Vanilla tumbuh menjadi gadis pintar, namun cukup takut untuk melakukan hal yang baru dalam hidupnya. *** Vanilla pergi ke sekolah seperti biasa. Setiap harinya, ia berangkat dan pulang menggunakan bus karena rumah dan sekolah memiliki jarak yang jauh. Orang tuanya yang overprotektif itu lagi-lagi menjadi alasan mengapa ia tidak bisa menggunakan kendaraan pribadi. Setelah ia naik ke
Senin dini hari, Vanilla terus mengintip kamar depannya melalui jendela bertirai. Ia mengecek berulang kali untuk memastikan apakah Ravi sudah pulang atau belum. Ia menjadi sangat merindukannya. Hubungan spesial yang ia jalani selama dua bulan setengah ini, memang berhasil mengenalkan arti sebuah cinta dari seorang lelaki selain ayahnya. Melalui ponselnya, ia pun memberi pesan kepada Ravi dengan menanyakan kapan ia akan pulang. Tak lama, Ravi pun membalas bahwa ia memang akan pulang hari ini. Ia berkata bahwa ia akan segera berangkat ke sekolah hari ini meski telat. Ravi pun berpesan padanya untuk langsung berangkat tanpa memperdulikannya. Sebenarnya, Vanilla heran mengapa Ravi tidak pulang pada hari Minggu agar ia tidak telat pada hari Senin. Namun, hal tersebut bukanlah urusannya untuk mengetahui masalah apa yang Ravi urus di Busan. ***
Waktu telah menunjukkan pukul 10.30 malam. Perasaan Ravi mendadak tidak enak saat melihat jam. Rasanya ada hal penting yang ia lupakan. Ravi segera mengecek ponselnya. Tidak ada satupun pesan chat baru. Ia pun tertegun melihat aplikasi chat yang berada di ponselnya tersebut. Nama yang disematkannya di paling atas bertengger 'Vanilla Kim'. Ia jadi memikirkan cara Vanilla pulang dari kafe. Ia menerka-nerka apakah Vanilla sudah berada di rumahnya atau belum. Ia memberanikan diri untuk mengirimkan pesan meski ia kini hanya sebatas teman. *** Jam kini menunjukkan waktu 12 malam. Hingga saat ini, Vanilla belum membalas pesannya. Aplikasi tersebut juga hanya menampilkan centang satu. Hal tersebut berarti pesan itu belum sampai ke sang pemilik. Ravi pun bingung apakah Vanilla mematikan ponselnya atau memblokir dirinya. Namun, yang semakin tida
Pameran tersebut diselenggarakan oleh panitia acara biasa. Untuk memastikan pemikirannya, Vanilla mencoba untuk menghampiri salah satu penggemar. "Apa ini fan meeting pertama kali penulis Han?" tanyanya. Penggemar tersebut pun menjawab, "Benar. Awalnya Aithne Han tidak pernah menunjukkan sedikitpun tentang informasi pribadinya. Namun, kali ini ia memulai untuk coba lebih terbuka demi penggemarnya." Mendengar hal tersebut, Vanilla takut akan ada hal buruk yang akan menimpa penulis tersebut. Namun, tak adakah orang selain dirinya yang mendengar rencana jahat di ruangan tadi? Vanilla benar-benar tidak ingin hal yang baru saja ia pikirkan itu terjadi. Dari kejauhan, Vanilla melihat kembali ruangan tempat para pria serba hitam tersebut. Nampaknya mereka semua sudah pergi. "Anda mencari seseorang, Nona?" Vanilla pun membalikan badan dan menengadah ke arah pertanyaan.
Vanilla menangis mendengar pernyataan pria itu. Tak terbayangkan, jika tubuh yang selalu ia jaga malah dikotori oleh pria tersebut di sini. Pria itu pun mendekatkan wajahnya sambil berbisik, "Aku akan mempermudah urusan kau dengan kasus itu. Intinya, jangan beritahu siapapun siapa pelaku dari pembunuhan itu, atau aku bisa dengan mudah memperkosamu disini." Pria itu pun langsung melepaskan tangannya untuk memberi kesempatan Vanilla untuk berbicara. Dengan mata yang telah bercucuran air mata, ia mencoba bertanya kepada pria itu. "Tapi... bukankah awalnya kalian akan menyekapnya...? Bukan menembaknya dengan senapan...." tutur Vanilla. Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Ia jelas tidak bisa kabur. Vanilla sudah terjerat dengan tragedi pembunuhan ini. "Hahaha, kau masih belum mengerti?! Kaulah penyebabnya!! Penulis itu meninggal lebih awal karena kau... Pembunuhan
"Namanya Cerise Park, guys!!" teriak Sierra kepada kedua sahabatnya sambil memasuki kelas dengan heboh. "Cerise?" ucap Vanilla mengulangi nama itu. "Anak kelas sebelah, ya?" sela salah satu teman sekelasnya yang menguping pembicaraan mereka. "Seirra, kamu pasti cembokir kan, dia deket banget sama Altair di kelas sebelah," sahut teman sekelas lain sambil mengejek. Satu kelas pun ikut riuh dan menyoraki Sierra yang merupakan mantan dari siswa tampan bernama Altair itu. "Wah, sayang sekali sang mantan mudah move-on!!" sorak Sovann, yang merupakan anggota ekskul basket Ravi dan Altair. Ia dengan usil ikut menyoraki Sierra yang semakin memeriahkan sorakan kelas. Sierra yang mendengar hal tersebut melemparkan tatapan mematikan kepada seluruh teman sekelasnya yang mengusili. Ia pun langsung duduk di bangkunya menghiraukan. Melihat keriuhan kelas, Ravi justru malah panas din
Bel istirahat sekolah akhirnya berbunyi. Vanilla dan teman-temannya berjalan menuju kantin. Dalam perjalanannya, mereka berpapasan dengan Altair yang langsung menyapanya. “Hai, nyonya Kim. Waduh, kakimu kenapa tuh?” ucap Altair sambil menanyakan kondisi kaki Vanilla. “Hai juga, Altair,” balas Vanilla yang hanya membalas pertanyaan tersebut dengan senyuman. Dari belakang tubuh Altair, siswi baru tersebut muncul. Murid baru itu merasa familiar dengan cincin merah muda yang terdapat pada jemari gadis di depannya. “Tunggu sebentar,” ucapnya. Ia meraih tangan Vanilla untuk memastikan bahwa cincin itu merupakan cincin miliknya. “Ini ‘kan cincin pemberian Ravi untukku kemarin?” tanya Cerise pada gadis yang baru ia jumpai itu. Ia cukup kaget mengapa cincin itu persis dengan cincin yang ia beli. Hal itu terbukti dari ukiran huruf ‘R’ yang ada pada cincin itu. “Kamu bilang apa
Bel pulang sudah berbunyi. Vanilla dan teman-temannya saling berpamitan di gerbang sekolah karena arah pulang mereka yang semuanya saling berlawanan. Vanilla sebenarnya berencana untuk mampir ke suatu tempat. Suasana hatinya kacau, jika ia diam sendirian di kamar kosnya. “Vanilla,” panggil seseorang dari belakang. Saat berbalik, ternyata Ravilah yang muncul di hadapannya. Ia menyempatkan untuk bertemu Vanilla sebelum ia ke parkiran motor selagi Cerise belum datang. “Vanilla, cincin itu-” “Maaf!” tutur Vanilla dan ia langsung membungkuk. “Cincin ini akan aku kembalikan ke Cerise. Maaf karena aku telah mencurinya!” jelas Vanilla. Ia jelas malu dan tengah menahan tangisan. Tak ia sangka bahwa ternyata ini yang terjadi, jika memungut cincin Cerise. Ravi dan kawan-kawannya bahkan sekarang mengetahuinya. Lebih parahnya lagi, kesalahpahaman Ravi membuatnya