Share

Special Gift 3

Kringg … kringg … kringg.

Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi, para murid dan guru di SMA Star Peak mulai mempersiapkan diri untuk pulang. Begitu juga dengan murid dari ruangan 1 Kelas 3, tempat Rafael belajar. Saat itu Rafael sedang piket bersama dua orang temannya.

“Ya ampun, si Andi itu kabur lagi, tidakkah ia malu untuk kabur setiap kali dia piket? Terlebih lagi ia dapat meninggalkan ruangan ini dengan cepat sebelum kita menyadarinya. Entah belajar darimana anak sialan itu!” kata seorang murid perempuan menggerutu sambil menghapus formula matematika panjang di papan tulis.

“Ya, tapi setidaknya ada satu dua hal baik darinya, bukan?” seorang murid perempuan yang sedang merapikan meja guru membalas gerutu murid tadi.

“Benar juga, seperti mentraktir kita setiap dia bolos piket. Aku akan menagihnya besok.”

“Bukan begitu juga sih maksudku,” balas murid yang satunya.

“Frieda, bagaimana perkembangannya? “ tanya murid perempuan itu, usai menghapus papan tulis dan mendekati meja guru.

“Perkembangan apa, Tarisa?” Frieda balik bertanya.

“Ya ampun kamu ini, berapa kali kita harus mengulang hal ini,” Tarisa mengetuk dahi Frieda membuat Frieda merintih kesakitan.

“Aww, ada apa sih Tarisa,” keluh Frieda menahan sakit.

“Perasaan aku memukulmu pelan saja.Tapi, lupakan dulu itu. Aku bertanya bagaimana perkembanganmu dengan Rafael, apa telah terjadi sesuatu yang menarik?”

“E-eh? soal itu .…“  Frieda menundukkan wajahnya.

“Lagi-lagi jalan buntu ya. Padahal kalian sudah bersama sejak SMP, tidakkah itu waktu yang cukup. Setidaknya pastikannlah perasaannya padamu, kamu tidak harus terus menunggunya seperti ini,” ujar Tarisa.

“Tapi, sepertinya itu akan sulit,” Frieda membalas pelan.

“Jika masalahmu adalah sainganmu, Riana, kamu tak perlu ambil pusing. Ingatlah, novel romantis tidak selalu dimenangkan oleh sahabat masa kecil. Kamu masih punya kesempatan, terlebih lagi kalian sudah sangat dekat selama ini.“

Braak…

Rafael meletakkan tempat sampah besar di depan kelas setelah membuang isinya di tempat pembuangan di belakang sekolah. Kemudian memasuki ruang kelas, hendak bergabung dengan Frieda dan Tarisa.

“Yo, apa yang sedang kalian bahas?” sapa Rafael pada mereka berdua.

“A-a ….” Frieda tampak salah tingkah, wajahnya memerah khawatir Rafael mendengar pembicaraannya dengan Tarisa.

“Kamu kenapa Frieda? Apa kamu sakit?” tanya Rafael.

“Ti-tidak aku baik-baik saja kok, sungguh.” Frieda berusaha mengendalikan dirinya.

“Kami tadi membahas soal novel yang sebentar lagi akan rilis,” jawab Tarisa santai.

Rafael tersenyum. “Novel ya, aku jadi teringat waktu-waktu itu."

“Astaga! Aku baru ingat seri terbaru dari novel favoritku rilis hari ini, kalau begitu aku pulang duluan ya.” Tarisa langsung meraih tasnya lalu buru-buru meninggalkan ruang kelas.

“Semangat berjuang, kalian berdua,” teriak Tarisa dari luar kelas.

“Ya, aku akan berjuang hari ini,” Rafael membalas teriakan Tarisa.

“Be-berjuang untuk apa?” tanya Frieda penasaran.

“Oh, ya benar juga. Aku minta maaf ya tidak bisa menemanimu belajar di perpustakaan kota hari ini. Aku harus menyelesaikan urusanku dengan Riana," ucap Rafael.

“U-urusan?”

“Aku akan menembaknya hari ini, dan memastikan bagaimana perasaannya terhadapku,“ jawab Rafael dengan semangat berbanding terbalik dengan Frieda yang merasa sekujur tubuhnya lemas, wajahnya kini tampak pucat.

“Sepertinya kamu memang sakit Frieda, akan ku antarkan kamu ke UKS dulu. Riana masih mengikuti kelas tambahan untuk persiapan studinya ke luar negeri. Aku memang punya urusan penting, tapi aku tak bisa menelantarkan teman baikku.”

“Aku baik-baik saja kok, sungguh.“ kini Frieda memaksakan dirinya untuk tersenyum.

“Begitu ya“ Rafael menuju tempat duduknya yang berada  di ujung barisan depan, ia mengambil tas dan mengeluarkan payung dari laci meja. Frieda melihat payung putih dengan ulir berwarna emas itu, mengamatinya sejenak, termangu karena benda itu.

“Ada apa Frieda?” tanya Rafael pada Frieda yang sepertinya tertarik dengan payung yang di bawanya.

Frieda tersenyum. “Ah, tidak ada apa-apa. Sebaiknya aku segera kembali, nenek pasti senang karena aku pulang cepat hari ini.”

“Hati-hati di jalan ya,” seru Rafael.

Frieda mengambil tasnya yang ia letakkan di meja guru sewaktu piket tadi, melambaikan pelan tangannya pada Rafael, lalu pergi terburu-buru meninggalkannya sendirian di ruang kelas. Tidak lama kemudian Rafael juga meninggalkan ruang kelas itu, dan menunggu di gerbang depan sesuai dengan saran dari Claudia, anak perempuan misterius yang ia temui di hutan semalam.

***

Rafael memperhatikan jam tangan miliknya, saat ini waktu menunjukkan pukul tiga lewat tiga puluh menit. Sudah hampir satu jam Rafael menunggu di gerbang sekolah ditemani oleh langit mendung yang bersiap menghujani bumi.

Ketika Rafael khawatir hujan akan turun sebelum Riana datang, wajahnya kembali cerah begitu melihat sosok seorang murid perempuan dari kejauhan. Gadis berambut panjang itu melambaikan tangannya ke arah Rafael setelah melihatnya dari kejauhan. Ia mempercepat langkahnya ke gerbang sekolah, mengubah irama jalannya yang semula teramat anggun.

“Hai, Rafael. Tumben jam segini belum pulang,” sapa murid perempuan.

“A-aku baru saja pulang dari perpustakaan sekolah setelah mencari referensi,” Rafael  mencari-cari alasan, ia tidak ingin antusiasme terbaca oleh Riana.

“Begitu ya?” Riana melihat sekitarnya.  “Apa kamu tidak bersama Frieda?” tanya Riana.

“Ah, tadi dia tampak sakit, jadi dia pulang terlebih dahulu," jawab Rafael.

“Lalu, apa yang ingin kau lakukan sekarang?”

“A-aku ingin mengajakmu pulang bersama, sudah lama kita tak berjalan bersama, kan?”

“Loh, bukannya rumah kita berbeda arah ya?” Riana tampak bingung dengan tawaran Rafael.

Rafael membatu sesaat, sial, aku lupa itu karena terlalu bersemangat dengan rencana ini, gerutu Rafael dalam benaknya.

“Kalau kamu tidak keberatan, bisa kamu antarkan aku ke halte bus.” Riana tampak menengadahkan tangannya ke atas, merasakan cairan dingin telah hinggap di sana. Ia melirik ke arah payung putih yang digenggam oleh Rafael. Setelah menyadarinya dengan sigap Rafael membuka payungnya, dan menyediakan ruang untuk Riana.

Halte bus yang mereka tuju terletak tiga ratus meter dengan arah berlawanan dari jalur yang biasa di ambil Rafael untuk pulang. Namun, perjalanan tiga ratus meter tersebut menjadi sangat berarti dan bukanlah harga yang mahal untuknya. Rafael memperkirakan waktu untuk mencapi halte itu sekitar lima menit, yang berarti lima menit itulah batas waktunya.

Setelah menempuh seperlima perjalanan hujan menerjang dengan derasnya, jalan raya menjadi sedikit lenggang meninggalkan suara gemircik air yang menghujam tanah. Rafael mencoba untuk memulai pembicaraan, namun tiba-tiba ia merasa gugup.

Satu-satunya yang membuatnya tenang adalah langkah kaki Riana yang lambat, memberikannya waktu tambahan dari estimasi yang telah diperkirakan sebelumnya. Rafael mencoba memulai pembicaraan, tetapi perasaan gugup yang menghantuinya sejak memulai perjalanan tadi seakan mengunci mulutnya, memaksanya untuk diam.

“Ri-riana, ada yang … ingin kutanyakan padamu?”

“Ya?” Riana menoleh ke wajah Rafael, memberikan serangan  yang cukup kuat untuk membuatnya keringat dingin.

“Aku … aku su-sudah lama ….”

“Hmm?” Riana menunggu pertanyaan dari Rafael.

“Su-sudah lama … aku ingin bertanya mengapa halte bus sekolah kita letaknya cukup jauh!” Rafael kehilangan keberanian dan mengalihkan pembicaraan

*Pfff*

Riana tertawa kecil mendengar pertanyaan Rafael. “Ya ampun Rafael aku kira kau ingin bertanya apa.” Riana tersenyum, ia meletakan tangan kanannya yang mengepal di dada dan menarik nafas singkat.

“Jadi, sebenarnya bukan hanya sekolah kita saja yang memiliki halte bus yang cukup jauh, sekolah lainnya mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi juga seperti itu. Perkantoran dan pusat berbelanjaan juga sama. Namun, bangunan vital kota ini seperti rumah sakit dan apotek memiliki halte bus yang sangat dekat dengan bangunannnya. Khusus untuk pelabuhan mereka memiliki bus khusus yang mengantarkan penumpang kesana.“ Riana berhenti sejenak untuk mengambil nafas, entah mengapa ia menjadi sedikit kesulitan bernafas sejak Rafael mengajaknya jalan bersama.

”Alasan jauhnya halte bus itu sendiri ditujukan agar siswa, mahasiswa, dan pegawai perkantoran yang menggunakan bus berjalan kaki bolak balik tiga ratus meter setiap harinya untuk menjaga kebugaran mereka. Peguruan tinggi dan beberapa gedung kantor bahkan menempatkan lapangan parkir yang cukup jauh dari bangunan utama agar mereka yang menggunakan kendaraan pribadi juga berjalan kaki,” Riana menjelaskan dengan rinci jawaban dari pertanyaan Rafael itu.

“Jadi begitu ya ternyata,” Rafael tertawa kecil sambil menggaruk belakang kepalanya.

Mereka hampir sampai ke halte bus yang dituju, bangunan kecil dengan cat dominan merah serta kursi panjangnya itu telah menanti di depan mereka. Meskipun demikian sejak percakapan soal halte bus tadi, mereka berdua tidak bicara apapun lagi.

Payah aku benar-benar payah.Ayolah Rafael, kemana semua kepercayaan dirimu itu.

Rafael bergelut dalam batinnya, sampai ia teringat soal perkataan Claudia bahwa kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Dia kembali mengumpulkan keberaniannya dan terus berpikir dalam benaknya, tanpa disadari mereka telah sampai di halte yang dituju.

Riana tersenyum. “Terima kasih Rafael, sudah mengantarkanku sampai di sini.”

“Ah, tidak masalah aku senang bisa melakukannya,” ujar Rafael memaksakan dirinya tersenyum membalas Riana ditengah kekacauan pikirannya.

Riana berbalik hendak menaiki tangga pendek di halte itu. Namun, belum genap anak tangga itu dipijak, Rafael dengan segera menangkap tangan kiri Riana.

Tangan kirinya menggenggam erat payung mengumpulkan keberaniannya, di kala tangan kanannya menggenggam erat tangan Riana. “Riana ... aku ... aku suka padamu!” kata Rafael setengah berteriak. Rafael menundukkan kepalanya tak kuasa memandang punggung Riana. Seketika itu juga Riana membalikkan tubuhnya, dengan cepat ia mendekap tubuh Rafael, memeluknya erat.

“Dasar Rafael, lama sekali bilangnya!” Riana berteriak di pundak Rafael mengalahkan Suara hujan di jalanan yang lenggang. Rafael merasakan basah pada pundaknya, padahal ia yakin bahwa payung itu bahkan cukup untuk melindungi mereka berdua.

“Ri-riana jangan menangis dong, aku hanya ingin tahu bagaimana jawabanmu.” Rafael mencemaskan Riana yang tiba-tiba saja menangis sejak di pelukannya tadi.

“Tentu saja sudah jelas! Aku juga menyukaimu, bahkan sejak lama.” Riana melepaskan pelukannya, dan mengusap matanya yang berair. Rafael mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan menyerahkannya pada Riana.

“Riana, aku tahu kamu akan melanjutkan pendidikanmu ke luar negeri. Jadi,—­­­“

“Sudah kubatalkan kok.”

“Hah?”

“Ya, aku telah menyelesaikan masalah di keluargaku. Jadi aku tidak perlu pergi jauh meninggalkan kota ini.”

“Syukurlah, kalau begitu.” Rafael merasa lega mendengarkan kabar baik itu.

Tak lama kemudian bus berwarna merah datang, berjalan pelan merapat pada halte bus. Terlihat beberapa orang keluar dari bus itu yang di arahkan oleh seorang kondektur dengan suara lantang.

“Sepertinya aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa Rafael.”

“Ya, sampai bertemu lagi besok.”

Riana melambaikan tangannya pelan di muka pintu bus kepada Rafael, lalu masuk ke dalam bus. Tak lama kemudian bus itu melaju perlahan meninggalkan halte. Rafael menutup payungnya, lalu duduk di kursi panjang halte. Berusaha menenangkan dirinya, ritme nafas dan denyut janungnya begitu cepat. Meskipun terlihat lelah, ia merasa senang dan rencana yang di jalankannya hari ini berjalan lancar.

“Sepertinya kakak sangat senang ya?” suara yang tak asing menggelitik telinga Rafael, ia menoleh ke samping di ujung kursi panjang halte itu. Terlihat seorang anak perempuan dengan pakain serba putih.Ia mengenakan pita hitam di dadanya dan tas punggung berwarna merah muda menempel di punggungnya.

“Se-sejak kapan kamu di sana Claudia,” ucap Rafael.

“Aku turun bersama beberapa penumpang dari bus tadi. Sepertinya mata kakak telah disilaukan oleh kemilau kebahagiaan ya,” kata Claudia.

“Ya, habisnya aku senang sekali.Kamu tahu, saking senangnya sampai-sampai kakiku sulit digerakkan.Jadi, aku beristirahat dulu sebentar di sini.” Rafael memegangi kakinya yang lemas dan memijat ringan kakinya itu.

“Kalau begitu aku turut senang.“ Claudia merogoh tas punggunggnya, lalu duduk mendekati Rafael. Kemudian ia menyerahkan botol minum dari tas-nya kepada Rafael.

“Terima kasih banyak, kebetulan aku haus sekali.” Rafael meraih botol itu, lalu membuka tutupnya. Kemudian tercium aroma teh seperti yang ia minum pada waktu pertama kali bertemu dengan Claudia.

“Teh buatanmu enak seperti biasanya,” balasnya setelah menyesap teh dari mulut botol itu.

“Padahal kakak baru dua kali meminumnya,” ujar Claudia.

Mereka berdua duduk di halte itu, saling diam meninggalkan kesunyian di tengah-tengah hujan gerimis, sisa dari hujan lebat  tadi untuk waktu yang cukup lama. Rafael masih sibuk menikmati tehnya, sementara itu Claudia mengeluarkan jam saku perak miliknya, memperhatikan pergerakan jarum jam dan menyelami setiap suara detaknya.

“Menurut Kakak, apa yang paling kakak takuti dari orang yang kakak sayanginya?” Claudia memulai percakapan sambil tetap melihat jam saku peraknya.

“Untuk apa kamu bertanya begitu?” Rafael balik bertanya.

“Sudahlah, jawab saja,” desak Claudia.

“Hanya satu, ketika kami tak bisa bertemu lagi,” jawab Rafael singkat.

Kemudian samar-samar mereka mendengar suara dentuman, Rafael sempat berpikir ada petir yang menyambar pohon besar.

Tak lama kemudian terdengar banyak bunyi sirine yang memekakkan telinga. Entah mengapa perasaan Rafael menjadi tidak enak.

“Sudah tiba, kah?” gumam  Claudia pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status