Sepuluh tahun lalu di halaman belakang kediaman Ellon, distrik utara kota Golden Valley.
Seorang anak perempuan sibuk menghias sebuah kursi taman, dengan tangan kecilnya ia memasang bunga-bunga mawar pada sela-sela kursi itu yang baru saja ia petik.Ia juga mengaitkan beberapa sulur di kursi itu untuk menambah kesan alamiahnya.
“Nona Riana, jika nona memetik mawar sebanyak ini bisa-bisa nyonya dan tuan marah ketika melihatnya.” keluh seorang wanita paruh baya yang menemani Riana.Ia ditugaskan oleh Freddy Ellon, kepala keluarga Ellon saat itu untuk menemani Riana bermain di taman belakang.
Riana tak merespon ocehan yang diterimanya, sementara wanita yang menemaninya itu hanya pasrah duduk di kursi lain saat ocehannya tidak digubris.
“Tidak usah khawatir, nona Riana sudah di izinkan mengambil bunga-bunga itu,” bisik seorang pria yang baru saja datang, menghampiri wanita itu.
Pria tersebut tersebut membawa lebih banyak lagi bunga mawar dalam keranjang,dan menyerahkan itu pada Riana.Dengan lebih banyak bunga mawar, ia juga membuat beberapa mahkota bunga.
Riana mengenakan salah satu mahkota bunga itu, tersenyum puas melihat hasil karyanya.Dari sudut pandang Wanita dan Pria itu, kursi taman yang tadinya putih polos itu, seakan telah di tumbuhi oleh tanaman liar yang datang darimana.Namun, melihat semangat anak itu mereka hanya bisa tersenyum.Dari sanalah pula, mereka mengetahui bentuk ketulusannya.
“Bibi Lin, paman Sem, ayo kita temui ibu di dalam,” ajak Riana pada dua orang yang menemaninya sedari tadi.
“Maaf, nona, saya masih harus menyiapkan tanaman bonsai yang nona pesan kemarin.” tolak pria itu.
“Bagaimana dengan Lin saja,” ia menyikut wanita yang berada di sampingnya.
“Mari nona, kita masuk ke dalam,” ajak Lin.
Mereka berdua masuk kembali ke dalam kediaman itu.Mereka melangkah menuju ruang depan, menanti kedantangan ibu Riana, Sarah Ellon.
Tak butuh waktu lama, ibu Riana akhirnya muncul.Dengan membawa tas besar yang ia sandang di bahunya.
“Lin tolong beritahu Gunther untuk menyiapkan mobil, saya akan berangkat sebentar lagi.” Perintah ibu Riana dengan suara parau.Mata wanita itu juga kelihatan sayu dan wajahnya sedikit pucat, tampaknya ia tidak bisa tidur semalaman.
“Ta-tapi nyonya … nona Riana ….“ bibi Lin menatap wajah kecewa Riana setelah mendengar ibunya yang akan pergi.
“Lin, apa perintah saya tadi kurang jelas?” Kata ibu Riana setengah membentak.
“Ba-baik nyonya akan segera saya sampaikan.” Lin memegang erat tangan kecil Riana sambil tersenyum kepadanya, bagi Riana itu adalah kode untuknya berjuang sendiri kali ini.Setelah Lin pergi meninggalkan mereka berdua, Riana berusaha untuk menghentikan ibunya.
“Bisakah ibu untuk sehari ini saja tidak pergi.Aku punya sesuatu untuk ibu di taman, jadi tolonglah untuk satu hari ini saja,” kata Riana sambil menarik-narik tangan ibunya, memohon dengan wajah memelas. Jika orang biasa melihat wajahnya itu, mungkin mereka akan memberikan apa saja yang dimintanya.Namun tidak dengan ibunya, ia justru memalingkan wajahnya, acuh terhadap permohonan Riana.
“Ibu, jika ibu mau datang hari ini, aku janji tidak akan nakal lagi.Aku akan jadi anak yang baik, jadi tolonglah tetap tinggal untuk hari ini.” Riana kembali memohon, kali ini bahkan ia hampir menangis.Namun, ibunya tak gentar dengan bujuk rayunya dan terus memalingkan wajahnya.
Beberapa saat kemudian, Lin kembali dan mengabarkan bahwa kendaraan telah siap digunakan.Riana melepaskan pegangannya, pasrah pada kegagalannya.
Lin menemani ibu Riana menuju pintu keluar.Dengan membelakangi Riana dan tak terlihat olehnya, Lin mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
“Nyonya, silahkan ambil ini,” Lin menawarkan sapu tangan pada ibu Riana
“Terima kasih, Lin.” ibu Riana menerima sapu tangan itu, mengusap matanya yang sembab dan berair.
“Aku tahu, aku bukan ibu yang baik.Jadi, tolong jaga anak itu,” bisik ibu Riana pada Lin, sebelum akhirnya ia benar-benar menghilang dari muka pintu meninggalkan Riana di belakangnya.
Lin kemudian berusaha menenangkan Riana yang sangat terpukul akan kekalahannya, mengatakan bahwa ibunya sangat meyanyanginya.Ia memeluk erat tubuh mungil Riana, sementara Riana melanjutkan tangisnya di pundak wanita itu.
Lin mengetahui bahwa ibu Riana adalah sosok yang sangat meyanyangi anak-anaknya.Dia juga yang terus meyakinkan Riana betapa ibunya sangat meyanyanginya.
“Nona, mari kita kembali ke taman.Sepertinya dia sudah lama menunggu.”
“Dia?” tanya Riana, sementara Lin hanya membalasnya dengan senyuman.
Setibanya mereka kembali ke taman,Riana melihat di kedua sisi kursi tamannya telah berdiri dua bonsai yang di atur sedemikian rupa sangat indah.Di tambah lagi meja kaca yang menampung teh dan berbagai kue di depan kursi itu.Ia juga melihat seorang anak laki-laki duduk santai di sana menikmati tehnya sambil memandang ke arah taman mawar.Anak laki-laki itu kemudian menyadari mereka, mengarahkan pandangannya kepada Riana.
“Hei, Riana cepatlah kemari dan habiskan semua ini bersamaku,” seru anak laki-laki itu pada Riana.Dia adalaha putra tertua, Frans, kakak laki-laki Riana.Selisih umur mereka sekitar lima tahun.
Riana berjalan mendekat, lalu duduk di kursi taman itu, bersebelahan dengan anak laki-laki tersebut.Anak laki-laki itu mengelus kepala Riana, menatap lembut anak perempuan yang bersedih itu.
“Kamu tidak perlu bersedih begitu, Rin lebih membutuhkan ibu ketimbang kita,” kata Frans.
“Tapi kak Frans, hari ini kan hari ulang tahun ibu.Aku hanya ingin memberikan ibu sedikit kejutan.” Riana mengepalkan tangannya, menampung segala kekesalannya.Air mata kembali membasahi wajahnya, yang sudah di bersihkan oleh Lin tadi. ”Tidakkah Rin berbuat curang pada kita, dia mengambil semua waktu ibu.Dia telah merengut ibu dari ki—“
“RIANA!” Bentak Frans pada Riana, yang seketika itu juga membuat tangisnya makin menjadi-jadi.Melihat itu dengan cepat Frans memeluk Riana, sembari meminta maaf padanya.
“Maafkan aku Riana, aku tak bermaksud membentakmu.Tapi, ketahuilah ibu sangat meyanyagi kita dan selalu mengingat kita.Mungkin saat ini adalah masa-masa sulit baginya, mengingat putri bungsunya yang terbaring lemah di rumah sakit.” Frans melepaskan pelukannya,ia menatap Riana dengan penuh perhatian.
“Riana, Rin lebih membutuhkan ibu dan saat ini ia sedang berusaha untuk memberikan semua yang ia bisa.Namun, bukan berarti ibu melupakan kita.” Frans menasehati Riana sambil menghapus air mata dari wajah manis Riana dengan jemarinya.
“Baik kak Frans, aku mengerti,” balas Riana lirih.
“Baguslah kalau begitu … baiklah sekarang masuk ke acara utamanya.” Frans menarik nafas singkat
“Selamat ulang tahun Riana,” ucap Frans sambil tersenyum, dan menyerahkan bingkisan yang ia sembunyikan di balik kursi itu.
Riana meraih pemberian kakaknya itu, memeganngya erat. “Te-terima kasih kak”
“Cerialah, mungkin ibu sedang tidak bersama kita dan tidak dapat merayakan ulang tahunnya.Namun, disini kita punya sosok yang mirip dengannya dan berulang tahun di hari yang sama pula bukan?”
Frans mengedipkan sebelah matanya pada Riana.Saat itu juga Riana tertawa kecil, sedikit melupakan masalahnya.
“Ngomong-ngomong Riana, gambar yang kamu buat sebagai kartu ucapan untuk ibu, benar-benar parah sekali,” Frans mencoba mengubah suasana
“gambar?” Riana berpikir sejenak “ Kakak, melihatnya ya?”
“Tentu saja, aku juga sudah meletakkannya pada tempat yang semestinya,” ujar Frans.
“Meletakkan pada tempat yang semestinya?” Riana berpikir sejenak, “Kakak membuangnya ya? Tega sekali!” Riana segera berlari menuju kamarnya, berharap gambar yang telah ia persiapkan itu baik-baik saja.
“Tu-tuan muda, apa tuan benar-benar membungannya,” tanya Lin pada Frans.
“Apa perangaiku seburuk itu ?” Frans berdiri, menggaruk belakang kepalanya. “Seperti yang aku bilang, aku meletakkannya pada tempat yang semestinya,” ucap Frans sambil berkacak pinggang.
“Oh, begitu ya, syukurlah,” balas Lin yang telah mengerti dengan maksud ucapan Frans.
Sementara itu di waktu yang sama, di dalam mobil pribadi keluarga Ellon yang hendak menuju rumah sakit, ibu Riana tampak tersenyum memandangi selembar kertas yang ia temukan terselip dalam tas besarnya.
Selamat ulang tahun ibu, semoga panjang umur dan sehat selalu, begitulah yang tertulis di sana dengan pilihan warna dan rupa gambar yang berantakan.Namun, baginya itu adalah harta karun yang berharga dan harus ia rawat dengan baik.
Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, Riana duduk di taman halaman belakang bersama bibi Lin yang menemaninya. “Kak Frans itu, setelah kemarin ia dapat membuat perasaanku membaik, kini ia kembali seperti biasanya.Mengurung diri di kamarnya dan hanya menampakkan dirinya ketika makanan siap,” ujar Riana ketus. “Ya, begitulah tuan muda Frans.Dia berambisi untuk menjadi penerus yang layak dari keluarga ini sehingga ia belajar setiap hari.“ “Untuk apa ia belajar terus?” tanya Riana. “Katanya ia ingin mengikuti seleksi sekolah menengah atas dan perguruan tinggi di luar negeri.Ia ingin bisa lulus bukan hanya dengan modal nama keluarga, uang, ataupun kekuasaan.Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya layak secara individu dengan kemampuan yang memadai.” Lin menjelaskan dengan sabar pada Riana. “Daripada itu nona mengapa tidak mencoba bermain dengan teman-teman di luar? Akan bibi temani.” “Tidak mau, mereka semua sama saja.Mereka hanya baik di depanku,be
Hampir satu setengah tahun telah berlalu (delapan setengah tahun lalu), banyak hal yang telah terjadi pada Riana dan keluarganya.Setelah pertemuannya dengan Rafael di waktu itu, mereka selalu bermain bersama di taman belakang.Dalam waktu yang masih tergolong singkat itu, mereka telah menjadi teman yang sangat dekat. Namun, hari ini, alih-alih bermain di taman belakang, di lapangan hijau itu dengan pakaian serba hitam Riana berdiri di dekat sebuah nisan besar.Di sana seorang wanita terus menangis memeluk nisan itu, tak kenal lelah sudah hampir tiga jam ia di sana dan Riana menemaninya. Hari itu, adalah hari pemakaman adiknya, Rin Ellon, setelah lama berjuang melawan penyakitnya ia meninggal di usia 6 tahun.Ibunya seakan tak merelakan putri bungsunya itu, setelah sekian lama ia menemani dalam perjuangannya.Riana hanya berdiri di sana menemani ibunya, tak kuasa berkata apapun melihat kesedihan yang begitu besar terpancar dari sorot matanya. “Nona Riana, Ny
Kaget mendengar panggilan ayahnya, Riana berjalan perlahan mendekat. Ia berdiri diam di hadapan ayahnya, terdiam tak tahu harus bicara apa. “Duduklah!” pinta ayahnya pada Riana. “Ba-baik, Ayah.” Riana menurut dan duduk di kursi dihadapan ayahnya.Mereka dipisahkan oleh sebuah meja kecil yang terbuat dari kaca dengan cangkir-cangkir sisa dari tamu tadi. Tuan Freddy menghela nafas, bingung bagaimana cara menjelaskan situasi saat ini pada putrinya. Kemungkinan Riana sudah mendengar sebagian besar percakapannya dengan tuan Finch. “Jadi sebanyak apa yang sudah Riana dengar?” tanya tuan Freddy pada putrinya dengan nada lembut agar Riana tidak merasa terintimidasi. “Maafkan Riana ayah, aku tidak sengaja mendengar percakapan ayah.Tadinya aku hanya ingin memeriksa sumber suara keras yang kudengar saat di kamar tadi.Aku khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada ayah,” kata Riana. “Ya tidak masalah,berarti tadi kamu mendengar soal perjodoha
Hampir tiga tahun di negeri asing tidak terlalu membuat Riana kesepian.Keluarga Finch menyambut hangat kehadirannya begitu pula dengan anak laki-laki yang dijodohkan dengannya.Namun, ia tetap merindukan keluarganya dan Rafael sebab selama ini ia belum pernah pulang ke Kota Golden Valley. Bukannya keluarga Finch tidak mengizinkannya pulang, namun setiap kali liburan tiba selalu ada saja yang menghalanginya.Mulai dari badai yang menganggu pelayaran hingga acara mendadak dari keluarga Finch membuat Riana tidak bisa meninggalkan negeri itu.Oleh karena itu pula entah sudah berapa kali Riana mengirimkan surat permohonan maaf kepada keluarganya dan Rafael. Saat ini Riana duduk di kelas tiga di sekolah menengah pertama di negeri itu, sementara anak laki-laki dari keluarga Finch yang dijodohkan dengannya sedang menempuh semester kedua dari program sarjana yang diikutinya. Victor Finch, itulah nama lengkap dari anak itu.Seorang pewaris tunggal dari keluarga Finch
Kembali ke masa kini di Perpustakaan Kota Distrik Utara. “Jadi begitulah yang terjadi selama beberapa tahun belakangan ini, beberapa bagian mungkin agak sedikit terdengar memalukan ya,” kata Riana tersenyum tipis pada Claudia. Claudia mengangkat tangannya, seperti murid sekolah dasar yang antusias bertanya pada gurunya.“Kak, boleh aku menanyakan beberapa hal?” “Ya, tentu saja.” “Di mana terakhir kali kakak melihat kupu-kupu emas yang tadi kakak ceritakan?” tanya Claudia dengan sedikit bersemangat, mengingat kemungkinan kupu-kupu itu adalah salah satu buruannya. “Kupu-kupu itu? Aku pertama kali melihatnya di taman rumahku dan itu jugalah terakhir kali aku melihatnya,” jawab Riana. Claudia tampak kecewa. “Begitu ya, jadi kak Rafael mengejar kupu-kupu itu dan ia tidak bisa menemukannya.” “Bagaimana menceritakannya ya … Aku tidak ingin membuatmu kecewa, tapi sepertinya kupu-kupu itu adalah fenomena supranatural yang tidak bisa dili
Di Kota Golden Valley untuk membantu memajukan pendidikan, sekitar lima puluh tahun lalu didirikanlah yayasan pendidikan Star Peak langsung di bawah nauangan Pemerintah Kota Golden Valley. Sebagian besar dana pembangunan tersebut berasal dari sumbangan keluarga Ellon. Star peak sendiri terdiri dari lembaga pendidikan mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi. Selain universitas yang hanya didirikan di pusat kota dan distrik utara, lembaga lainnya tersebar di seluruh distrik secara merata. Sekolah Dasar dan Menengah didirikan dalam lokasi yang berbeda.Sekolah dasar didirikan sendirian, jauh dari Sekolah Menengah yang biasanya didirikan berdekatan.Bahkan di distrik utara kedua gedung sekolah itu, SMP dan SMA, didirikan bersebrangan. Universitas yang didirikan di pusat kota juga merupakan pusat penelitian dan pengembangan teknologi di Kota Golden Valley, selain sebagai tempat untuk meraih gelar pasca sarjana dan doktoral. Sementara itu
Sepuluh tahun lalu di Distrik Utara, pada suatu tempat yang dipenuhi dengan kios-kios di pinggir jalan, seorang anak laki-laki berjalan terengah-engah setelah berlarian ke sana kemari. Bajunya yang kotor dan luka pada kakinya tidak menyurutkan semangatnya untuk menggapai keinginannya. Ia sedang mengejar kupu-kupu emas yang bahkan tidak bisa dilihatnya. Ia hanya mengikuti instingnya, berlari ke sana ke mari berharap keajaiban membiarkan ia dapat melihatnya. Ia bersikeras untuk menangkapnya demi keinginannya sendiri dan untuk berteman dengan seseorang. Kupu-kupu emas adalah suatu fenomena yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang, dan anak laki-laki itu benar-benar ingin melihatnya meskipun hanya sekali seumur hidupnya. Karena terlalu lelah anak laki-laki itu berjalan sempoyongan di trotoar. Ia tidak menyadari langkahnya terlalu dekat dengan jalan raya. “Awas ….” teriak seorang anak perempuan yang ditujukan pada anak laki-laki itu. *Ngenggg*
“Jadi, Frieda boleh aku bertanya satu hal?” tanya Tarisa. “Apa itu?” jawab Frieda penasaran. “Bisa kamu tolong hitung jumlah orang dalam ruangan ini?” Kemudian Frieda meihat sekelilingnya, memindai setiap orang yang terlihat oleh matanya. Mulai dari mereka yang duduk tenang di kursinya, mereka yang berkerumun dengan teman lama mereka sampai sekelompok besar murid yang mengelilingi Rafael. “Dua puluh lima, dan sepertinya seluruh siswa sudah hadir di ruangan ini,” jawab Frieda. “Benar sekali.” Tarisa tersenyum tipis mendengar jawaban Frieda. Namun, Frieda sepertinya merasakan sedikit ketidak puasan dari Tarisa. Ia pun mencoba memikirkan alasan mengapa Tarisa bertanya hal seperti itu kepadanya dan menemukan satu kesimpulan. “Tarisa, apa sebelum kemari kamu mendengar sesuatu tentangku dari orang-orang?” “Ya … sedikit sih, setidaknya namamu dan beberapa … hal mungkin.” “Jika kamu mengharapkan aku yang dulu, itu sudah tidak a