Share

Bab 6: Di Pertandingan Basket

“Kita duduk di sini saja Va.”

“Iya.”

Reva dan Lara akhirnya berhasil menemukan sepetak lahan kosong untuk mereka duduki di antara sekian lahan lain yang sudah penuh, meski tempat yang mereka duduki itu sebenarnya adalah tangga, namun tampaknya tak ada seorangpun yang memprotes di mana mereka mendapat tempat duduk, termasuk jika itu harus di atas dahan pohon besar sekalipun.

“Untunglah pemandangannya pas sekali,” Lara meraih botol air minum dari dalam ranselnya, dia membuka tutup botol tersebut sambil berkata, “lain kali kalau kau tidak tahu tempat, jangan berlagak memimpin jalan.”

“He he he, kupkir tidak akan ada yang berubah dari sekolah ini,” Reva cengengesan, merasa tak enak hati dan lucu yang dipadukan menjadi satu, “dulu saat Abang Kris bersekolah di sini, lapangan basket ada di depan...”

“Ya ya ya, kau sudah mengatakan itu berulang kali,” dengan kesal yang masih menggerogoti hati dan rasa lelah di kaki Lara tetap saja berbuat baik dengan menyerahkan botol minumnya pada Reva, “nih, sebaiknya kau perbanyak minum air mineral biar fokus!”

“Maaf ya,” Reva menerima botol yang diserahkan Lara dengan memasang raut wajah yang dipermasin, sementara Lara memutar bola matanya mendapati tingkah kawannya yang mengesalkan itu.

Tetiba di tengah rasa kesal itu seisi sekolah bersorak dengan riuhnya, Reva dan Lara baru menyadari apa yang terjadi begitu tampak para pemain basket berbondong-bongdong memasuki lapangan basket terbuka ini.

Kedua regu saling berhadapan, kemudian menyebar menuju posisi masing-masing dan bersiap, sementara ketua tim dari kedua regu masih di posisi depan dan seorang wasit sedang menentukan regu mana yang akan menguasai bola lebih dulu. Aura menegangkan kuat terpancar dari pandangan para ketua, serentak meningkatkan adrenalin semua orang di sana.

Rumor-rumor tentang pertangdingan yang akan berlangsung merebak dari sepetak lahan duduk ke sepetak lahan duduk lainnya, para penonton itu ramai membicarakan sebuah kabar jumlah kemenangan yang diperoleh  selalu seimbang antara kedua rival berat ini.

“Di mana Tobias?” Tanya Reva yang tidak begitu mementingkan rumor yang sedang memanas tersebut, matanya dengan jeli mencari sosok Tobias di antara lima orang lainnya di lapangan.

“Itu, di bagian kanan depan,” Lara menunjuk arah di mana Tobias sedang bersiap, dari posisinya sepertinya lelaki idaman itu mengambil peran sebagai penyerang.

“Kenapa bukan dia yang jadi ketuanya? Apa kemampuan bermain basketnya masih kurang?”

“Bukan begitu, untuk menjadi ketua selain mempunyai skill yang mumpuni, juga mampu mengkoordinasi semua regu, dia yang bertugas menjaga kekompakkan semua anggota dan melancarkan strategi yang sudah dibuat. Tobias yang tukang pamer itu mana bisa menjaga regunya, yang ada dia justru akan tebar pesona sana-sini.”

“Oh...” Reva angguk-angguk, dalam hati dia merasakan kejanggalan sebab selama ini Lara selalu mencoba menjodohkan ia dengan Tobias, tapi kenapa kini gadis ini terdengar kesal pada lelaki itu?

Suara peluit panjang menandakan dimulainnya pertandingan pertama bola basket antar kota, kedua tim mulai saling bergerak, terutama si tuan rumah yang terpilih sebagai penguasa bola. Tiga pemain dengan beraninya bergerak serentak ke hadapan musuh mereka, dua dari tiga pemain sebelumnya maju ke titik-titik tertentu.

Pemain pertama tersudut sebab terdapat tiga orang yang menjaganya. Tanpa buang waktu pemain pertama melakukan passing pada kawan terdekatnya, dan pemain tersebut sedikit berkelit di antara musuh-musuh menuju ring lawan, namun sebelum pemain ini mencetak gol ia justru melakukan passing pada kawan seorang lagi yang sedari tadi tidak diperhatikan, dan kawan ini yang sudah berdiri di dekat ring lawan dengan mudahnya berhasil mencetak dua point.

Suara kekecewaan terdengar dari penonton tim basket sekolah Tobias, dan pelatih dari kedua tim tak kalah bersuara kencang untuk menyusun strategi di lapangan sesuai kondisi yang ada.

Kemudian Tobias berhasil merebut basket ketika kedua lawannya sedang passing, lelaki remaja ini segera menuju ring basket, dengan kelincahan tubuhnya dia menghindari musuh yang menghadang. Di luar lingkar pertama Tobias melompat untuk shooting dan...

Waktu seolah berhenti berputar, dengan perasaan berdebar semua orang menantikan hasil akhir dari tembakan Tobias, namun yang terjadi selanjutnya lelaki remaja ini justru jatuh ke lantai lapangan dengan keras karena seorang lawan menubrukkan tubuhnya untuk menghentikan Tobias melakukan shooting.

Sontak kejadian itu menimbulkan kemarahan dari pihak sekolah Tobias, bahkan salah satu teman seregu Tobias memberikan tinju kepada si pelaku dan menimbulkan kericuhan di lapangan, sementara Tobias sendiri hanya meringkuk sambil memegangi bahu dan mengerang kesakitan.

Mengabaikan kericuhan yang sedang terjadi, dua orang penandu masuk ke lapangan dan membawa Tobias pergi dari sana.

“Ayo Reva, kita harus pergi juga,” Lara segera bangkit mendapati dua penandu itu, dia menarik tangan Reva yang masih duduk dengan kebingungan.

“Pergi kemana?” Reva belum akan bangkit sebelum mendapat kepastian.

“Ke ruang UKS, ayo,” kini Lara menarik pakaa tangan kawannya, dan keduanya berjalan cepat menyusul penandu.

Sesampainya kedua gadis ini di tujuan, mereka melihat Tobias yang sedang berpindah dari tandu ke dipan, karena lelaki remaja ini hanya mengalami cedera di bahunya maka dia masih bisa berjalan sendiri. Lara dan Reva langsung menerobos masuk dan berdiri tak jauh dari dipan, tampak seorang perawat wanita cantik sedang membantu Tobias melepas baju.

“Bagaimana kondisinya, kak?” Lara bertanya meski dia sudah melihat sendiri kondisinya.

“Bahu kanannya bergeser, dan kemungkinan besar dia tidak bisa melanjutkan pertandingan,” perawat itu menjelaskan sambil menatap jeri bahu pasiennya, “aku bukannya lebih percaya pengobatan alternatif tapi bahumu ini memang harus diurut.”

“Mungkin untuk sementara waktu kita bisa mengompresnya dulu dengan es batu,” Lara berkesimpulan, kemudian dia menatap Reva yang berada di sampingnya, “coba kau carikan es batu di sekolah ini.”

“Baiklah,” Reva mengangguk dan langsung meninggalkan UKS.

“Kau sendiri, bisa bantu aku?” Tobias berkata begitu pada Lara dan membuat heran perawat cantik yang masih memeriksa bahunya.

Lara memutar bola matanya kemudian dia mejentikkan jari di depan wajah perawat dan berkata, “tugasmu sudah selesai, kau bisa duduk saja dan tak perlu meakukan apapun.”

Tanpa bantahan si perawat beranjak dari tempatnya dan duduk di kursi tunggu, sementara Lara mengaduk-aduk ranselnya, tampak sedang mencari sesuatu di sana.

Tobias hanya bisa menunggu Lara sambil menahan nyeri sampai akhirnya gadis itu mengeluarkan sebuah benda dari ranselnya, sesuatu yang tidak terduga.

“Astaga, aku memintamu untuk menyembuhkanku, bukannya menandaniku dengan bando itu,” Tobias berkata dengan cukup keras, dia geleng-geleng kepala melihat bando hitam di tangan rekan kerjanya itu.

Mendapati perkataan Tobias yang asal bicara, Lara menatap tajam lelaki menyebalkan itu, “kau pikir aku bodoh? Kemarikan tanganmu,” Lara berkata begitu sambil menarik tangan kanan Tobias, dan sontak saja rasa sakit yang luar biasa menjalar di seluruh tangan Tobias.

“Aku bisa terbunuh olehmu Lara!”

“Berisik!” Lara segera memasangkan benda yang Tobias kira bando itu ke bahu yang bergeser, secepat detik kemudian dia merentangkan sisi-sisinya. Selanjutnya sebuah cahya lembut terpancar dari ‘bando’ tersebut.

“Apa ini?” Tanya Tobias yang baru menyadari kalau benda yang dia sebut bando itu berguna untuk hal lain.

“Ini alat ciptaanku, fungsinya mengembalikan jaringan yang rusak dengan memberikan sinar serupa matahari, kandungan vitamin D sangat diperlukan tulang untuk membentuk kembali jaringan baru, tapi alat ini juga bisa untuk mengobati goresan kecil,” Lara bersedekap saat menjelaskan hal itu. “Bagaimana, ‘bando’-ku itu sangat berguna ‘kan?”

“Ya, jika kau tidak dengan seenaknya menarik tangan pasienmu, semua orang akan senang,” Tobias sedikit merasa tenang, namun kemudian rasa sakit yang luar biasa justru datang kemudian saat alat penyembuh itu benar-benar bekerja, suara derak tulang terdengar dari bahunya yang bergeser itu.

Melihat Tobias yang tersiksa, Lara justru tertawa puas seperti seorang psikopat, namun dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa karena memang seperti itu cara kerja dari alat yang diciptakannya.

“Kupikir misi ini akan mudah,” Tobias berkata dengan pandangan mengawang ke langit-langit ruang UKS, “tapi ternyata aku masih saja harus merasakan sakit seperti ini.”

“Jangan manja!” Lara memukul bahu Tobias itu tanpa dosa, sementara Tobias sendiri hanya bisa mengerang tanpa bisa melawan “hanya segini saja kau sudah mengeluh, apa kata Sang Pemimpin nanti kalau aku melaporkanmu?”

“Hei, jangan asal bertindak! Kau mau mendapat masalah dari melaporkan hal tidak penting?”

“Ya ya ya, aku sudah tidak menyukai misi ini sejak tahu kau adalah rekanku, jadi kau cukup turuti saja apa kataku dan bertindak sesuai perintah itu.”

“Siapa yang menentukan pemimpin di tim ini? Kita hanya berdua.”

Lara tidak terima Tobias berkata begitu, mereka berdua saling menatap tajam seolah mereka adalah musuh dan bukannya rekan.

“Apa ini karena kau berpikir punya ide yang lebih baik untuk mendekati Reva?” Lara menyipitkan matanya namun tak melepas pandangannya dari mata Tobias.

“Akan aku beritahu nanti, kau pastikan saja incaranku itu tidak didekati oleh pria lain.” Tobias sedikit melunak di kata-katanya, namun tidak di pandangan matanya.

Namun yang tidak mereka berdua ketahui adalah Reva yang sudah kembali dari kantin dengan sekantung es batu di tangannya, gadis berambut merah itu bersembunyi di balik tirai sambil menguping pembicaraan Lara dan Tobias yang sangat tidak masuk akal baginya, kini rasa heran dan ragu menyelimuti hatinya, dia kebingungan antara sengaja tampil ke depan kawan-kawannya dengan wajah polos atau menghilang saja dari sekolah itu.

“Mengincarku? Untuk apa?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status