Share

Bab 7: Tobias

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, waktu di mana sebagian orang sudah bersantai di rumah dan bersiap untuk istirahat, namun lelaki remaja ini justru sedang bersiap di depan cermin, melihat penampilannya sendiri di depan cermin tersebut.

Kali ini tubuhnya yang proporsional dibalut dengan sebuah Hoodie hitam dan celana jeans berwarna senada, selanjutnya ia meraih sepatu sekolah dan keluar dari kamarnya, begitu lelaki remaja ini menuruni tangga ia dapati Bundanya sedang melamun di depan wastafel dengan keran air yang masih menyala.

Dia selalu membenci hal ini, dia selalu benci tiap kali melihat sang Bunda khawatir berlebihan terhadapnya, tapi mau tak mau dia tetap harus menjalani kehidupannya yang menurut sang Bunda berbahaya. Si lelaki remaja mendekat pada Bunda dan mematikan keran air itu, di saat yang bersamaan ia mengejutkan wanita berusia 35 tahun tersebut secara tidak sengaja.

Wanita berambut cokelat yang sering dipanggil Bunda segera menoleh dan langsung menemukan tatapan mata anaknya, rupa sang buah hati yang seperti duplikat suaminya membuat hati nyeri oleh rasa rindu, kadang kali membuatnya lupa diri.

“Ma’at...”

“Jangan khawatir soal aku Bunda, aku tidak suka melihat wajah sedihmu,” lelaki remaja ini langsung mengutarakan isi hatinya, “lagipula misi kali ini tidak begitu sulit, aku tidak perlu melawan monster seperti di misi-misi sebelumnya.”

Bunda menghela nafas dan lekat menatap mata anaknya. “Tak peduli kau akan berperang atau hanya mengerjakan pekerjaan rumah, hati seorang ibu akan selalu mengkhawatirkan anaknya. Apa aku salah?”

“Tidak, tapi aku tidak punya pilihan lain selain mengemban misi ini, dengan begitu mereka akan mengembalikan Ayah pada kita.”

“Sudah 106 misi, dan ini misimu yang ke 107, tapi mereka tidak pernah  mengembalikan Ayahmu! Mungkin sebaiknya kita pindah ke dimensi lain, dengan nama baru dan kita mulai kehidupan baru. Aku sudah memikirkan...”

“Bunda!”

Kesunyian mengambil alih suasana, membuat kecemasan keduanya sirna dan berganti ke rasa heran, ibu dan anak itu tertegun tanpa melepas tatapan mata.

“Kita tidak perlu melakukan ini lagi, aku sudah lelah,” si anak tampak memohon, “aku sangat suka di sini, kita memang tidak menjadi apa-apa tapi itulah yang kumau, itulah yang kita butuhkan.”

“Baiklah,” Bunda tanpa sengaja meneteskan air matanya, dia tidak pernah mau terlihat lemah di hadapan anaknya, namun kali ini pertahanannya runtuh. “Kau benar, aku hanya terlalu khawatir.”

“Kau tahu aku menyayangimu juga ‘kan, Bunda?” Si lelaki remaja tersenyum kemudian menarik tubuh Bunda ke dalam pelukannya, dan Bunda membalas pelukan itu.

Rasa nyeri akibat rindu pada sang suami yang bersemanyam di hati Bunda kini berganti menjadi rasa kasih yang luar biasa besar pada buah hatinya, dia melepas pelukannya dan menatap lelaki remaja itu dengan pandangan tercerahkan.

“Berhati-hatilah, Ma’at.”

“Iya, pasti...” Si lelaki remaja membalas dengan nada menggantung di akhir, dia sudah lama pansaran akan satu hal namun tak pernah ada niatan untuk bertanya, sebelum saat ini. “Aku tidak pernah paham mengapa Bunda memberiku nama Ma’at, padahal aku hanyalah seorang pengendali kegelapan.”

“Apa kau tahu, semakin jelaga suatu bayangan, maka semakin terang cahaya yang menciptakannya?”

Jawaban Bunda yang bagai teka-teki itu membuatnya tertegun, dia coba mencocokan hal tersebut dengan kemampuannya, tapi sebelum si lelaki remaja mendapat jawaban sebuah getar dari alat komunikasi di belakang daun telinganya menyadarkan lamunan itu.

“Ah iya, Aku lupa aku harus keluar malam ini,” lelaki remaja itu mencium kening Bunda sebelum beranjak, kemudian dia mengenakan sepatu di pintu depan dan masuk ke dalam kegelapan. Tak sampai dua detik tubuhnya sudah berada di samping Lara, di sebuah gang sempit yang berada dekat dengan toko bahan kue.

“Lama sekali kau, Tobias,” Lara mendelik kesal, dia sudah merasa lelah setelah seharian mengawasi gadis incaran mereka.

“Maafkan aku, aku harus menenangkan Bundaku dulu,” balas Tobias yang sudah siap di tempatnya.

Kali ini Lara tidak lagi meluapkan emosinya, dia memaklumi alasan Tobias sebab ibunya pun selalu menyuruhnya berhenti dari misi ini. “Ya sudah, berhubung kau sudah ada di sini, aku mau pu...”

Belum usai ucapan Lara, Tobias tetiba menarik tubuh gadis itu ke pelukannya dan dia menggunakan kamuflase untuk memudar dari sana. Lara yang awalnya hendak memprotes mengurungkan niatan itu ketika melihat Reva baru saja usai dari kegiatannya membeli bahan kue.

Sang incaran melewat dan masuk ke gang tempat keduanya berada, Tobias baru melepaskan pelukannya setelah Reva berlalu cukup jauh dari mereka.

“Lain kali kau tinggal berkata padaku, bukannya sembarangan memelukku!” Lara berkata begitu dengan nada sengit, tatapan tajam ia tusukkan pada lelaki remaja di hadapannya itu, namun ia tertegun kala menemukan bagaimana cara Tobias memandangnya.

‘Apa aku harus mengatakannya sekarang?’ Tobias sendiri terpaku pada pikirannya, sudah lama dia ingin mengatakan satu kebenaran yang dia pendam seorang selama ini. ‘Apa ini waktu yang tepat?’

Kini keduanya hanya saling bungkam, sama-sama merasa bingung dengan perasaan masing-masing. Tobias baru hendak membuka mulutnya dan menyatakan apa yang ada di pikirannya ketika tetiba terdengar suara teriakan wanita tak jauh dari tempat mereka berdiri. Keduanya bergegas ke sumber suara dan mendapati gadis incaran mereka sedang dalam bahaya.

“Astaga! Tobias hendak menolong Reva namun dicegat oleh Lara, dia memelototi gadis yang mencegahnya itu dengan tatapan tidak percaya. “Apa-apaan kau ini?”

“Biarkan dia menggunakan kemampuannya.”

“Apa? Bagaimana kau bisa tahu...”

“Jangan membantah, dia tidak akan membiarkan dirinya dilecehkan.”

Tobias masih tidak mempercayai perkataan Lara, namun dia sendiri penasaran apa yang membuat gadis ini mengincar Reva yang merupakan kawan baiknya sendiri.

Di sisi Reva sendiri dia bergulat habis-habisan dengan tiga pria yang hendak berbuat jahat padanya, namun bagaimanapun kekuatan perempuan tetap tidak mengimbangi pria, gadis itu tersudut dengan perlawanan sia-sia.

Tawa jahat dari tiga pria jahat itu semakin melemahkan nyalinya untuk bertahan, Reva gemetar dan hanya bisa pasrah ketika para pria sudah menjebaknya.

Tetiba saja dalam keadaan yang serba tidak menguntungkan bagi Reva, salah satu pria jahat ambruk ke tanah tanpa ada yang menyentuhnya, membawa serta keheningan diantara semua orang di situ. Yang terjadi selanjutnya sekelebat bayangan menghajar dua orang sisanya dalam sekali serang, anehnya gerakannya sungguh tak terbaca, seolah sekelebat itu hanyalah angin lalu.

Kini Reva hanya bisa tercengang, dia tidak begitu memahami apa yang terjadi, sampai sang pahlawan mendekat padanya dan memberinya uluran tangan.

“Kau tak apa-apa, Reva?”

“Kau...” Reva sendiri masih kebingungan dengan sosok di depannya tersebut, keadaan sekitarnya yang terlalu temaram membuat pandangannya sedikit tidak jelas, namun dia mengenal suara dari sosok tersebut. “Apa kau Tobias?”

“Cepat, kita harus pergi dari sini,” Tobias langsung menarik Reva keluar dari gang tersebut dan membawanya ke tempat terang.

Di sepanjang perjalanan Tobias mengantar Reva pulang, keduanya disibukkan dengan pikiran masing-masing. Reva masih ragu untuk bercakap dengan Tobias sejak pertandingan basket sehari lalu, walau dia berpura-pura tidak tahu dan memasang wajah polos kala itu, tetap saja hatinya merasa janggal. Di sisi lain Tobias tak henti menggerutu dalam hatinya, dia kesal pada rekannya yang tidak memperdulikan kondisi dari buruan mereka, gadis itu benar-benar seorang psikopat.

“Yap, sudah sampai,” Tobias berhasil mengantar Reva ke rumahnya dengan selamat, mereka agak terdiam di depan pagar dan saling lirik sesekali.

“Apa kau mau minum dulu?” Tawar Reva sekedar basa-basi, padahal sebenarnya dia ingin segera enyah dari hadapan lelaki itu.

“Tidak, aku ada urusan mendesak jadi aku harus segera pergi,” Tobias menolak secara halus, di satu sisi dia menyadari kecanggungan dalam diri Reva padanya.

“Terima kasih sudah menyelamatkanku,” Reva tersenyum tulus dan mulai berjalan ke rumahnya, dia sempatkan melambai tangan pada Tobias di pintu sebelum ia menutup pintu itu.

Tobias bernafas lega, di saat itu juga Lara turun dari atas pohon dengan menjatuhkan diri, rekannya tersebut dapat mendarat dengan dua kakinya seolah dia memiliki kelincahan seperti seekor kucing.

“Aku tidak peduli, tidak ada ketua dalam tim ini, paham!?” Langsung saja Tobias mencecar Lara sebab masih dikuasai emosi, bahkan dia tidak mau menatap rekannya tersebut.

“Aku hanya ingin memastikan saja,” Lara sendiri membalas dengan sikap tak acuh seolah dia tidak membuat kesalahan.

“Kita sudahi saja hari ini,” Tobias tak mau mendengar apapun lagi dan beranjak meninggalkan Lara di tempatnya.

Lara sedikit menggerutu dan juga beranjak dari sana dengan mengambil jalan yang berlawanan dari Tobias.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status