Tak sedikitpun ketenangan malam itu Reva rasakan seperti malam-malam biasa, dia berguling tanpa henti di atas ranjang dengan perasaan tidak tenang, gelisah, ketakutan masih menyelimuti hati dan pikirannya.
Kejadian sesaat lalu sungguh membuat Reva takluk, walau di satu sisi dia tidak mengerti bagaimana Tobias bisa berada di situ, namun tanpa peduli alasannya pula dia amat bersyukur Tobias tengah berada di situ, menyelamatkannya dari keadaan genting, tak terbayangkan apa yang akan terjadi jika tidak ada 'kebetulan' atau 'keajaiban' itu kala itu.
Akhirnya Reva hanya bisa melamun, terputar di memorinya bagaimana aksi Tobias saat menyelamatkannya. Tobias yang jago main basket itu dapat mengatasi tiga pria dewasa hanya dalam waktu tiga detik saja, gerakan dari serangannya cepat bahkan tak mampu ditangkap oleh mata.
Secuil ingatan itu ternyata mampu menenangkan gadis berambut merah bergelombang ini, sampai dia sendiri tidak menyadari bahwa dirinya sudah mengatupkan ke
Hanya orang ini yang pantas mendapat julukan demikian.Pria ini berjalan santai dalam sisi gelap hari itu, meski kini malam sedang menuju pagi namun tak pernah ada malam yang terlalu larut untuk dirinya terjaga. Di atas sebuah istana salah satu pemerintahan distrik pria berdiri tegap dan melihat ke bawahnya, memperhatikan situasi penjagaan di sana.Sesuai dugaannya, penjagaan malam ini tampak longgar, hanya ada satu dua penjaga di pintu masuk dengan kondisi sama-sama menguap lebar, tampak jelas kedua orang itu menahan kantuk yang luar biasa berat. Sementara di sisi lain terlihat jejeran robot berjumlah 6 buah dengan tinggi dua meter sedang diatur ke dalam kondisi stand by, senapan elektromagnetik siap di tangan robot-robot itu."Ini akan mudah," bersamaan dengan ucapan itu, si pria mengeluarkan sebuah katana dari balik jubahnya, dia hanya cukup menghentakkan tangannya ke samping untuk memunculkan senjata tajam itu dari dalam ketiadaan.Selanjutnya pria be
Pagi itu Reva sedikit terlambat datang ke sekolah, dan di pagi itu pula wajahnya tak menunjukkan kesenangan dan keriangan yang biasa terpancar dari wajah cantiknya, kali ini wajahnya murung serupa mendung di musim salju.Suasana hati Reva yang juga sedang buruk membuatnya tak acuh terhadap sekitar. Entah sudah berapa sapaan melintas di depannya tanpa satupun balasan, gadis ini terus menunduk seperti seekor banteng, tanpa peduli kepadatan koridor sekolah."Hai Reva..." Lara menyambut kedatangan Reva ke bangku mereka, namun sebab tak dibalas gadis itu hanya bisa diam di tempatnya sambil menatap kebingungan ke arah sang kawan. "Ada apa Reva? Kau habis mendapat masalah?"'Bahkan lebih buruk,' Reva membatin, dia tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana pada gadis yang merupakan kawan baiknya. Rasa ragu terus menggelayut di hati seumpama monyet di atas pohon, namun sialnya dia tidak memiliki teman lain untuk diajak berbincang. "Semalam aku hampir terkena masalah," sah
"Kami pulang," ujar Reva di pintu, dia melangkah ke salah satu kursi di ruang tamu itu dan melepas sepatu."Hallo sayang," sang Mamah datang dari dalam rumah dan menyambut kedatangan putri semata wayangnya tersebut, celemek sudah tampak kotor di tubuhnya, "kau datang bersama siapa?""Ya siapa lagi Mah," Reva melirik ke arah pintu di saat seseorang itu masuk dengan menenteng sepatu."Samprazan Mah," teman Reva tersebut mengecup punggung tangan Mamah dengan lembut."Rhampiaza Lara," Mamah membalas dengan ramah, bahkan dia sempat membelai belakang rambut gadis itu kala dicium punggung tangannya. "Ayo masuk, bahan kue sudah menunggu."Lara terkikik pelan dan segera mengekori langkah Mamah menuju dapur, sementara Reva berjalan seorang diri ke kamarnya yang berada di loteng. Dalam kepala ia disibukkan dengan ungkapan salam yang dipakai oleh keduanya."Samprazan, Rhampiaza. Bahasa dari planet mana itu?" Reva hanya bisa geleng-geleng jadinya.
"Ingat ya, besok sudah ada di sini sebelum jam empat sore," Mamah mengingatkan Lara, keduanya sedang berpisah di pintu."Iya Mah," Lara membalas dan baru bangkit setelah mengenakan sepatu, seragam putih abu-abunya sedikit lecek oleh tepung dan cipratan kocokan telur, "asal aku tidak dijahili seperti tadi, aku pasti akan datang sedari pagi."Mamah terkikik pelan, dan setelah Lara keluar dari gerbang ia menutup pintu dan menguncinya. Mamah berjalan menuju dapur berniat untuk membantu Reva, namun tampaknya itu tidak perlu.Reva sudah membereskan semua alat masak dengan rapi, juga kue-kue tadi sudah ia bungkus dan disimpan dalam refrigerator. Kini kerja dari gadis itu terbilang lebih cepat dari biasanya. Yah, dia bekerja keras sebab rasa cemburunya pada Lara, gadis yang bisa melakukan segalanya. Sedangkan dirinya?Mamah tersenyum miris menyadari rasa itu menguar kuat dari dalam tubuh anaknya, kekesalan d
Semilir angin dingin dari AC seolah turut andil membekukan waktu di hari yang mulai merangkak tua. Reva terduduk di bangkunya, menghela nafas panjang dan menatap bosan ke pemandangan di luar jendela yang menggodanya untuk memberontak, keluar dari sana dan bebas. Namun tetap dia urungkan sekuat apapun keinginan tersebut.Di sisi lain kelas juga serupa, beberapa siswa sudah mendengkur di bangku bagian belakang, dan yang lain diam-diam memainkan gawai di kolong meja mereka. Terkecuali gadis yang duduk sebangku dengan Reva, dia masih setia memasang telinga untuk mendengar ocehan guru di depan kelas, sesekali kepalanya ikut angguk-angguk mengikuti akhir perkataan sang guru.Mendapati kawannya yang begitu fokus pada pelajaran membosankan ini, Reva hanya bisa kembali menghela nafas panjang, di lembaran buku tulis bagian belakang gadis itu asal mencoretkan isi tinta pulpennya ke sana, menggambar sebentuk rupa dari wajah entah siapa. Kegiatan tersebut membuatnya hanyut dan melu
Reva membaringkan tubuhnya ke atas ranjang tanpa mengganti dulu baju seragam dengan baju rumah, gadis ini bernafas lega tiap kali berhasil terbebas dari Tobias dan ketampanannya.Suasana rumah yang selalu sepi berhasil membawa ketenangan untuk Reva, dia tetap bergeming di sana membiarkan rasa tenang itu semakin merasuk ke dalam tubuhnya hingga membuat kantuk menguasai, namun sebelum rasa itu membuatnya terlena, sebuah dering panggilan masuk berbunyi dan merusak harmoni indah yang bernama kesunyian.Dengan malas Reva meraih gawai dan menerima panggilan tersebut tanpa melihat panggilan dari siapa itu, sebab dia sudah tahu dari siapa.“Hallo sayang?” Suara di ujung sana terdengar lebih dulu.“Ya Mah,” Reva membalas dengan nada lambat, matanya pun masih menutup.“Sudah pulang?”“Ya Mah.”“Mamah sudah simpan ayam di kulkas, nanti goreng sendiri saja ya, tidak perlu menunggu Mamah.&rdquo
Reva berjalan melewati pagar dan mengetuk pintu rumah, beberapa saat kemudian terdengar suara dari dalam dibarengi dengan pintu yang terbuka.“Eh non Reva,” seorang wanita berusia 30-an menyambut dengan ramah, bajunya yang kumuh tak mampu menghilangkan kecantikan di wajahnya, “mari masuk.”“Bu, aku ‘kan sudah bilang untuk tidak memanggilku dengan sebutan Non,” Reva memprotes, namun dia tetap tak lupa untuk mencium tangan wanita di depannya.“Iya, Ibu lupa, kebiasaan.” Ibu tertawa kecil, “mau minum apa?’“Tidak perlu Bu, nanti akan kuambil sendiri. Di mana Lara?”“Lara sedang ada di kamarnya, masuk saja.”“Terima kasih Bu.”Tanpa basa-basi lagi Reva berjalan menuju kamar orang yang dituju. Rumah ini selain tampak sederhana dari luar, juga minimalis di dalamnya, tak ada banyak ruang dan kelokan seperti rumah milik Reva, gadis ini pun ta
Hari Kamis itu terasa semakin horror dengan diadakannya ujian matematika dadakan oleh guru, cerahnya pagi itu seolah sirna sebab suasana muram yang dipancarkan anak-anak kelas XII IPA B, terutama Reva yang sangat membenci matematika dan memasak, dia akan terserang alergi akut jika bertemu dengan keduanya.Di sisi meja lainnya ada Lara yang sangat menikmati ujian itu, dia dapat menjawab satu per satu soalan tanpa perlu menghitungnya lebih dulu di atas kertas, hingga kelima puluh soal mampu ia selesaikan dalam waktu lima belas menit saja, namun dia belum boleh beranjak dari kursinya sebab dia tak mau orang-orang menaruh curiga padanya, jadi dia tetap berdiam di situ sampai satu jam kedepan.Bagi Lara, soal ujian yang baru saja dikerjakan sudah serupa kawan sedari kecil, Lara akrab dengan matematika, fisika dan kimia sejak menginjak umur lima tahun, karena dia hanya seorang manusia biasa dia terus berusaha agar bisa menyimbangi anak-anak lain di lingkungannya dengan caran