Share

Jerat Cinta Sang Langit
Jerat Cinta Sang Langit
Penulis: Elangayu

Bab 1. Menyebalkan

Asap menguar samar. Dentuman musik memekakkan telinga tak membuat dua insan itu tergoda. Pucuk hidung keduanya bersentuhan. Tangan kiri lelaki itu memeluk pinggang wanita erat. Sedang tangan kanan menahan punggung si wanita. Adegan panas bibir membuat orang lain yang melihat berpaling.

Dalam sepersekian detik, semuanya berubah di luar kontrol. Leher jenjang si wanita yang hanya memakai kaos hitam ketat perut terbuka dan span mini telah basah oleh lumatan sang lelaki. Semakin ke bawah, remasan lelaki itu mampu membuat keduanya mendesah.

“Grmmm.” Langit menggeram. Matanya merah menyala bak api membakar. Tangannya mengepal dijatuhkan ke meja. Sudah sekitar 5 menit ia menonton adegan hot kedua insan berlainan jenis itu bergumul tak melihat sekitar. 

Berjarak tak lebih dari sepuluh meter dari tempat duduknya, kelihatan kalau keduanya  tak mengetahui Langit berada di sana. Sekarang, saatnya ambil perhitungan. Tubuhnya beranjak dari kursi. Kaki kanan siap melangkah, namun, tangannya ditahan seseorang. Adit, yang sedari tadi memperhatikan sahabatnya itu dengan khawatir. Posisinya kembali duduk, gusar.

“Mau ikutan gila?” semburnya tegas.

“Lo lihat sendiri, kan?” teriak Langit menembus hingar bingar musik yang terus menghentak tanpa jeda. Anggukan Adit membuat Langit mendengus kesal.

“Kau mau aku diam aja, ha?” lantang sekali Langit mengucapnya di depan wajah Adit. Sampai-sampai Adit memundurkan kepalanya sebal. Ia tahu karakter Langit, sekali saja emosinya mencuat, bisa membahayakan semua golongan. 

“Kalau kau ladeni egoismu, semua ambyar!” sahut Adit menekankan kata ambyar.

“Huh!” Langit mengacak rambut menahan murka.

“Kita pulang!” tegas Adit menarik lengan Langit. Menyeretnya keluar dari kerumunan orang yang sedang berjoget tak tentu arah sekedar menghilangkan penat di club.

“Kita lewati keduanya,” bisik Adit di telinga Langit. 

Meski diam, Langit mengekor langkah Adit. Wajahnya dipenuhi lahar merapi yang siap meletus. Menembus beberapa pasangan yang asik berpelukan bahkan berciuman mesra, Langit dan Adit fokus ke arah pasangan yang adegannya mampu membuat darah dan kemurkaan Langit mendidih. 

Kaos hitam wanita itu telah tertarik ke atas, remasan dan tangan si lelaki sudah memasuki dalamnya. Pemandangan memuakkan, menjijikkan, batin Langit menggerus hati terdalam. Tahu gini, tadi ia menolak diajak Adit ke club. 

Dan kini, Langit berdiri beberapa senti dari wanita itu. Wanita berkulit putih mulus dengan hidung menawan dambaan para pria. Awalnya si wanita berambut lurus sebahu dengan tubuh 165 cm itu cuek. Terus melumat tanpa ampun. Ciuman bibirnya sedang maksimal dengan desahan khas memabukkan. Namun, ia segera menghentikan aktivitasnya ketika matanya melotot bersitatap langsung dengan mata tajam Langit. Ia tarik kuluman bibirnya dari pasangan. Gegas membenahi kaos yang sudah ke atas tak karuan.

“La... Langit?” terdengar panik.

Lelaki yang mendadak merasa diabaikan menyadarinya.

“Kenapa, Say...,” suara lelaki itu terhenti. Lelaki berbodi jangkung dan tinggi hampir sama dengan Langit itu, mengikuti netra si wanita.

Senyuman sinis Langit begitu kentara penuh bara kemarahan tertahan. Si pria tampak tersenyum miring mengetahui keberadaan Langit. 

“Hebat kamu Dara,” ucapnya pelan, tapi membunuh. Wanita itu, Dara, gelagapan. Benar-benar ia tak menyangka Langit ada di tempat sama.

“A... aku,” kacau suara Dara, bingung harus bagaimana.

“Oh, ini yang namanya Langit?” ujar lelaki yang bersama Dara tak kalah sinis. 

Langit mencondongkan wajahnya ke si lelaki. Keduanya bertatapan, tatapan sama-sama tajam. Kemudian Langit mencekal krah baju lelaki tersebut.

“F*** you!” katanya pelan tapi bagai bom bagi si lelaki. Kemudian dilepaskan cekalan itu dengan kasar, menyebabkan lelaki itu sedikit terdorong ke belakang. 

Kaget sejenak, lalu lelaki itu membetulkan kemejanya cepat. Bergumam asal tak jelas. Bara api di mata, tanganya siap membalas, tak terima. Reflek ditahan Dara.

“Cukup!” suara Dara nyaris berteriak.

Seperti tontonan tak berbayar. Jengah dilihat beberapa orang yang melotot penuh tanya melihat kejadian tak mengenakkan itu.

Netra Langit tajam menatap ke lelaki, kemudian Dara.

“Kau!” katanya sambil mendenguskan nafas kasar. Mulutnya sudah menganga, tangannya terkepal hebat, tapi tak ada lagi kata yang muncul.

Kembali menatap si lelaki, tangan Langit maju tanpa prolog. Dan skak mat!

“Arg!”

Sekali pukulan, bogem mentah itu mampu menjungkalkan si tubuh jangkung ke lantai licin. Semua orang memandang, penuh bisik tak jelas, panas.

Adit yang melihat gelagat buruk itu langsung menarik tangan Langit. Menyeretnya keluar dengan paksaan total. Geraman emosi Langit masih terdengar jelas, tetap mengikuti langkah Adit. Menahan lava yang siap menghanguskan hubungan yang tinggal beberapa saat lagi sampai pelaminan.

Malam cerah itu, bagi Langit menjadi sehitam jelaga. Ia mencoret nama Dara dari relung hatinya. Namun, semudah itukah?

@@@  

“Gara-gara Papa.” Langit menyugar kasar rambut kesal. 

“Dara!” sambungnya tertekan. Harusnya aku mencekik lelaki itu. Pikiran Langit kemana-mana. Matanya nyalang memandang jalan berkelok di depan mata. Kanan kiri berasa hutan. Satu kelokan lagi ia membawa CRV htam itu melanglang cepat dan cittt! 

“Njir!” Umpatannya meledak. Tampak Yamaha Alfa hitam nyelonong tanpa dosa. Membuatnya sigap menepikan mobil lebih ke kiri, menghentikannya. Motor meraung penuh muatan bunga krisan itu bergerak tak beraturan ke kiri kanan, oleng. Kemudian berhenti. Knalpot yang meraungpun terhenti mendadak.

Terlihat seseorang dengan masker dan helm tertutup rapat rambut agak ikal sebahu menoleh ke belakang, menatap mobil itu sekilas. Dibukanya kaca helm.

“Woi!” serunya marah. Lalu membetulkan letak tumpukan bunga krisan yang ditali dengan karung goni ke bagian tengah kembali. Setelah sebelumnya hampir jatuh oleh olengnya motor. 

Dari spion, dilihatnya cewek itu berbicara tak jelas. Langit mengacak rambut ikalnya sejenak, menarik save belt dan membuka pintu mobil. Kakinya melangkah keluar, menyeberang jalan. Dihujaminya cewek di atas motor yang berjarak beberapa meter di hadapannya itu.

“Kamu yang harusnya ati-ati dong, tahu belokan ngebut!” ketus suara Langit mencoba bersabar. 

“Huh!” dengus cewek itu marah. Distaternya motor, raungannya sungguh membuat kuping Langit gatal bukan main. Ya ampun, knalpot tahun kapan? Desisnya tak habis pikir. Alfa yang sudah kembali normal dengan raungannya begitu memekakkan telinga, bergerak cepat meninggalkannya. Tanpa dosa pula! Tinggal asap knalpot menghitam melantaskan bau menyengat terbakar. Langit mengibaskan polusi udara itu dengan kedua tangannya.

“Dasar cewek!” rutuknya pelan. Apa memang begitu kalau cewek mengendarai kendaraan? Selalu menangan di jalan? Huh! Langit hanya menggelengkan kepala. Ia siap kalau pengendara itu mau marah atau minta ganti rugi dan entah apalah. Untunglah tak seperti yang dibayangkan.

Diaturnya nafas perlanan, akan menuju mobil. Tapi ups, sebuah benda membuat netranya terkesiap. Ia mendekat, meraih benda itu. Dompet! Dompet berwarna cokelat dengan bordiran gunung di bagina muka. Dibukanya dompet dua lipatan itu. Melihat sekilas tak minat. Ada KTP, SIM A, SIM C di sela sana, sebuah nama tertera. Nama yang aneh, batin Langit tersenyum sendiri. 

Mungkin dompet cewek tadi? Tapi sepertinya cewek itu tidak turun dari motor, hanya oleng saja tak megeluarkan sesuatu. Ah entahlah, Langit menimang sesaat sambil menatap dompet coklat tersebut beberap akali. Lalu memutuskan untuk membawanya. Biarlah dipikir nanti.

Langit kembali ke mobil. Meletakkan dompet temuan itu di jok samping secara asal. Membuka jendela mobil. Tak butuh AC di desa berhawa super sejuk dan dingin seperti ini. Ia angkat kedua tangan ke atas, meregangkan untuk beberapa saat. Dilihatnya wajahnya di spion tengah. Layak banyak cewek mengejar. Rahang kuat plus bonus mata setajam mata elang. Ditambah hidung pas raut muka tegasnya. Dengan tinggi 178 cm dan bodi keren bak pemain sinetron.

Ia mendesah lagi. Sekarang papanya melemparkannya ke hutan belantara. Ah, desa terpecil lebih tepatnya. Meskipun bukan daerah pedalaman. Lagi-lagi nafasnya tersengal kesal. Langit Arjuna, 26 tahun, CEO yang disuruh papanya mengurus kebun krisan dan alpukat di desa. Kadang Langit berpikir, ada gitu CEO yang blusukan ke kampung nan terpencil lalu musti tinggal di sana?

@@@

 Sesuatu yang tak bisa ditolak. Semua titah papa memang Langit harus menurut. Papanya sudah tahu seluk beluk bisnis. Segala macam bisnis yang dijalani. Properti, merambah ke perkebunan. Meskipun baru skala kecil, ia tahu papa adalah seorang analisis yang baik. Semua analisanya 99% tepat dan pas. Itulah yang membuatnya sukses menjadi pebisnis. Ketika banyak orang belum memikirkannya, sang papa sudah 10 bahkan sejuta langkah maju ke depan dibanding yang lain.

 Langit lebih fokus menjalankan mobil, pelan. Ia tak mau kejadian tadi terulang kembali. Sepanjang jalan, kebun krisan menatapnya sempurna. Sebagian siap panen, sebagian baru ditanam. Sawah-sawah, alpukad, desa nan asri dan sejuk. Pandangan Langit menyeruak  sepanjang perjalanan. Satu hal, tetap fokus kemudi.

Setelah beberapa saat lamanya,  tepat di tengah kebun krisan, ada jalan tak begitu lebar. Langit membelokkan ke sana. Menghentikannya.  Ada pintu gerbang setinggi 1,5 meter membuatnya menunggu. Gerbang itu hanya terbuka untuk motor, mobil tidak bisa masuk. Tak ada panjaga semacam sappam juga di sana. Kata Papa, di desa, tak perlu penjagaan super ketat. Kedamaian dan karemahan masih tetap terjaga dengan baik.

Terlihat seorang pria paruh baya bergegas membuka pintu gerbang lebar. Mobil segera dijalankan Langit memasuki halaman. Aroma desa, semilir angin membuatnya sedikit melupakan kekesalan untuk sesaat. Langit keluar dari mobil yang langsung disambut senyuman hangat.

“Mas Langit, alhamdulillah sudah sampai, sehat?” Pria paruh baya itu menyambutnya dengan antusias. Disalaminya Langit dengan keramahan tulus. Langit tersenyum dan menyambutnya ramah.

“Sehat, Pakde Tejo?”

“Alhamdulillah....” 

Rung... rung..., suara raungan motor mendadak memecah telinga. Langit menyipitkan mata. Motor itu berlalu saja melewati dirinya dan Pakde Tejo, membelok ke arah sisi kanan rumah utama. Berhenti di depan rumah mungil, kediaman khusus Pakde Tejo.  Menyetandarkan motor. Pengendaranya membuka helm pelan. Mengibaskan rambutnya dan turun dari motor dengan cepat. Bergegas melenggang menuju rumah.

“Mimi, sini bentar,” teriak Pakde tejo membuat langkah cewek itu terhenti. Membalikkan tubuh dengan cepat dan berlari kecil ke arah Langit dan Pakde Tejo berada.

Langit yang tanpa sengaja melihat sejak raungan motor itu datang hanya melongo. Bak slow motion sebuah sinetron. Cewek itu... Langit makin menyipitkan mata. 

@@@

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status