Share

Bab 2. Patung Es

Langkah cewek itu berhenti mendadak tepat dua meter di depan Langit. Mulutnya terbuka, matanya melotot tak percaya. Netranya menghujam Langit. Dari bawah sampai atas. Mengamati secara detail setiap inci Langit. Celana jins biru dan kaus hitam dengan jaket jins biru pula. Wajah tampannya nyata-nyata tertera di sana. Tubuh atletisnya benar-benar idaman para wanita. Tapi cewek itu melihatnya tak minat, bahkan terkesan ada kebencian sinis di sana. 

“Kau?” desisnya takjub. Netranya menyamping memandang mobil Langit. Kembali arahnya ke Langit. 

Langit tak kalah tertegun. Di desa nan jauh dari hingar bingar kota, ada makhluk manis bak bidadari super polos turun dari kahyangan tanpa make up. Hanya memakai jins belel sana sini dan kaos hitam ketat dipadu hem kotak flanel panjang dengan kancing terbuka semua. Dipadu Sneakers biru bertali. Simpel dan madu!

Cewek itu, lebih tepatnya gadis itu, tingginya setelinga Langit, Rambut hitam ikalnya sebahu dibiarkan terurai berantakan tak karuan. Matanya bulat dengan muka oval manis. Kulitnya spesial orang kampung, sawo matang, sempurna. Eksotis. Geliyar aneh memenuhi Langit. Bibir mungilnya tak begitu sensual namun mampu membuat Langit tertegun-tegun sepersekian detik. Ouh....

Pakde Tejo menatap gadis itu sambil terkekeh.

“Mi, ini Mas Langit. Yang pakde ceritain semalem. Bapaknya Mas Langit, yang punya kebun krisan dan alpukad. Kamu belum pernah ketemu, kan?” Pakde Puji menatap Langit. 

Gadis yang dipanggil Mimi mematung. Netranya tak begitu suka menatap Langit. Sinar misteri menari-nari di sana. Ada apa?

“Heh, ayo kenalan, piye to?” Pakhde Tejo menyenggeol lengannya. GAdis itu tergeragap.

“Oh, eh,” sahut Mimi bingung.

Langit tak kalah bengong. Ia segera mengulurkan tangan.

“Langit,” katanya mantap. Diberikannya gadis itu dengan tatapan terindah yang ia punya. Gadis itu menerima ragu, agak malas, tapi mau tak mau, diterimanya juga.

“Hmmm,” sahutnya lalu segera menariknya kembali. 

Langit terkesiap, sedingin es, lebih tepatnya, patung es, batinnya. Ingin sekali menghujani gadis itu dengan beragam tanya, namun tertahan. 

“Eh, kok pada bengong.” Pakde Tejo terkekeh geli.

“Pakde, aku ke sana dulu,” pamit gadis itu dengan dagu diarahkan ke rumah kecil di sebelah kanan rumah utama, tak nyaman. Tatapannya ke Langit. Sejenak, keduanya bertatapan tajam, kakinya berlalu menuju rumah Pakde Tejo. Setelah anggukan Pakde Tejo.

“Eh, Mi, bilang budemu Mas Langit sudah sampai. Suruh siapin makan siang, ya.” teriak Pakde Tejo.

Mimi meloleh, mengangguk, lalu berlalu tanpa kata. Di depan Pakde Tejo, Langit masih takjub memandangi tubuh Mimi.

“Siapa Pakde?” tanya Langit tak kuasa menahan penasaran.

“Ponakan Pakde,” jawabnya singkat.

“Oh.” Langit hanya mengangguk.

“Masuk dulu, Mas Langit. Sudah Pakde bersihin semuanya sama Bude. Istirahat dulu, nanti biar makanan diantar ke dalam,” kata Pakde Tejo dengan keramahan alaminya.

“Baik, makasih ya, De,” sahut Langit.

“Biar barang-barangmu nanti Pakde keluarin,” lanjutnya. Langit mengangguk. Menuju mobil lalu mengambil dompet temuan di jok samping stir. Kemudian Menyerahkan kunci mobil ke Pakde Tejo. Lalu melangkahkan kaki menuju rumah. 

Rumah mirip villa dengan halaman nan luas. Di sisi kanannya, rumah mungil yang ditempati Pakde Tejo dan istinya, Bude Siti. Orang kepercayaan Papa di desa. Yang mengurusi segala hal juga banyak pekerja kebun. Baik kebun krisan ataupun alpukad.  Dulu bersama anak semata wayangnya. Tapi anaknya Pakde Tejo sudah ikut papanya Langit ngurusi perusahaan di Semarang. Sampingnya lagi ada garasi lumayan luas. Beberapa kendaraan berjejer di situ. Truk, pick up juga beberapa sepeda motor.

Rumah itu diapit kebun krisan. Dengan garasi seperti rumah lainya di bagian depan samping pintu masuk. Bagian belakang rumah ada taman untuk bersantai dan kolam ikan. Ada jalan yang menghubungkan rumah utama dan rumah mungil tersebut lewat pintu belakang. Bagi Langit, Pakdhe dan Budhe Tejo sudah seperti keluarga sendiri. 

@@@

Langit memasuki ruang tamu. Galau hati belum begitu lega dan nyaman karena asmaranya, ia merasa udara desa mampu meminimalkan emosi yang terus saja melanda kalau ingat Dara, kekasihnya. Atau lebih tepatnya, mantan kekasih. Kejadian yang meremukkan kelelakiannya. 

Dijatuhkannya tubuh atletis itu ke sofa. Merentangkan tangan ke atas untuk kemudian menjadi sandaran kepala. Kaki diselonjorkan ke meja. Hal yang selalu membuat mamanya berdecak kesal. Tak sopan katanya. 

“Argh....” Langit mengusap mukanya kesal. Membuka dompet temuan yang tadi ditemukanya di jalan. Mengambil salah satu pengenal dari dalamnya, SIM A, lalu mengamatinya dengan seksama. Beberapa menit ia berpikir, menerawang. Meletakkan dompet itu di samping.

Kembali menaruh kedua tangan ke belakang, lagi-lagi untuk menyandarkan kepala.  Walau dari awal ia tak setuju dengan keputusan papanya, Seno Arjuna, pengusaha di banyak bidang itu, agar ke desa, mengurus kebun secara langsung. Supaya benar-benar mampu menjelma jadi CEO yang baik. Bukan hanya karena anak dari pemilik usaha itu papanya. Yang mampu dan memberi jabatan dengan mudah di salah satu perusahaan miliknya.

Tapi, Langit yakin papa punya tujuan lain. Salah satunya agar ia berhasil melupakan Dara, calon istri yang autodidepak langsung olehnya. Setelah kejadian di club malam itu, yang membuatnya muak dan marah bukan main. 

Dara yang selalu menghubungi tak digubrisnya lagi. Langsung dibatalkannya semua rencana pernikahan yang tinggal menunggu hari. Mama yang gusar bukan main akhirnya mengalah. Tak memaksa Langit meneruskannya. Toh, dari Adit orang kepercayaan sekaligus sahabat karibnya itu memberitahu kalau ternyata Dara tengah uh..., Langit menggeram. Sedangkan Papa, ia percaya pada semua keputusan Langit.

Salah satu hal yang membuat Langit semakin tak karuan. Ia tak pernah melakukan hal di luar batas bersama Dara. Apapun yang dilakukannya berdua masih dalam batas kewajaran. Meski jauh, tak sampai terlampau jauh. Ia menjaga Dara bak pualam. 

“Dara!” rutuk Langit tak kuasa menyebut nama sang mantan.

Jadi, kalau seperti itu dan ditegaskan oleh Adit apabila temuannya itu dari orang kepercayaan, ia percaya. Percaya juga bahwa Dara telah mengkhianati dengan bercumbu dengan lelaki lain. Di hadapannya! Adit juga telah melakukan penyelidikan tentang siapa lelaki itu. Meskipun sekarang itu tak penting lagi.

“Huh!” hembusan nafas Langit seperti mengeluarkan segala kekesalan. Ia melangkah ke kamar utama tak lupa membawa dompet temuan. Kamar yang akan ditempatinya entah sampai kapan. Toh, ia tetap akan di sini. Dan harus di sini sesuai titah papa. Untuk bekerja sekaligus menenangkan pikiran. Ia harus berdamai dengan semuanya. Tempat ini, kekecewaan hati serta banyak hal yang dirasa tak mampu dilampauinya. 

Dibukanya pintu kamar dan melihat setiap sisi serta sudut kamar kamar. Membuka ponsel dan memberitahu papa dan mamanya kalau sudah sampai dengan selamat. Kemudian meletakkan ponsel, dompet dari saku celana belakang dan dompet temuan di atas tempat tidur. Melangkah ke kamar mandi dan mencuci muka serta tangan dan kakinya. 

“Mas, Mas Langit,” sebuah suara membuatnya segera keluar dari kamar mandi.

“Ya,” jawabnya singkat lalu ke pintu kamar. Sudah ada Bude Siti berdiri di sana. Penuh senyum keramahan, khas orang desa.

“Makanan sudah siap, sehat Mas Langit?” Tanya Bude Siti. Ia menyalami Langit dengan bahagia.

“Ya Allah, tambah ganteng Mas Langit,” lanjut Bude Siti dengan senyum sumringahnya. Langit terkekeh geli.

“Haha, bisa aja, Bude.”

“Eh beneran, makan dulu nggih, capek, kan? Tak gorengin mujahir sama lalapan kenikir dan sambal. Ada krupuk karak juga. Sudah tak siapke sama Mimi barusan.” Kalimat beruntun Bude Siti dengan nama Mimi di sana bikin Langit termangu beberapa saat. Dianggukkannya kepala cepat.

“Ya sudah, sudah, Mas Langit makan dulu. Bude tak balik ke rumah lagi,” pamit Bude Siti dan berlalu meninggalkan Langit yang mengangguk kembali.

Bude Siti keluar rumah dari pintu belakang, melewati dapur yang tak begitu besar. Di samping dapur ada ruang makan yang tak begitu besar pula. Langit menuju ruang makan, perutnya memang terasa lapar. Dari pagi, ia hanya minum kopi saja. Di jalan, tak minat untuk sekedar jajan. Bude Siti memang jarang masak di rumah utama. Ia akan masak di rumahnya kemudian tingal mengantar ke rumah utama. Biar tidak bolek baik begitu katanya. Langit mengiyakan saja, toh, Bude Siti selalu siap sedia membereskan urusan dapur, bersih-bersih dan semua urusan rumah utama. 

Meja makan sudah lengkap dengan menu makan siap. Benar kata Bude Siti, ikan mujahir yang masih mengepul, aromanya khas dan lalapan kenikir.  Kerupuk karak, buatan Bude Siti sendiri dari sisa nasi yang tak habis, serta sayur asem-asem. Semua hasil kebun dan kolam sendiri. Dijamin sehat. Bude memang selalu ingat apa saja makanan kesukannya, Langit tersenyum cerah. Mencuci tangan ke wastafel lalu duduk dan mulai mengambil nasi, ikan mujahir dan, sambal. Lhah, mana sambalnya?

“Pasti bude kelupaan nih belum diangkut sini, musti ambil sendiri, deh,” gumam Langit. Makan ikan tanpa sambal berasa hambar kan, guys? Langit akhirnya berdiri tapi netranya tertuju pada gadis yang datang cepat, berlalu sambil membawa cobek di tangannya. Rambutnya berkibar ke kanan kiri apik. Nafasnya terengah ketika sampai dan tepat berdiri di samping Langit.

Langsung menaruh sambal yang masih di atas cobek ke meja makan. Membetulkan kemeja flanelnya, sedikit menunduk dan berbalik tanpa mengucap apapun. Langit yang melihatnya tanpa kedip terbengong.

“Lhah,” ujarnya bingung. Gadis itu tanpa meletakkan sambal tanpa sepatah kata. Begitu doang? Tidak menyapanya sama sekali? Eh, aku dikiranya patung apa? Langit hanya meracau dalam otak tak jelas.

@@@

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status