Gadis itu, menghentikan langkah, mendengar gumaman Langit sepertinya. Menoleh dan menajamkan netra ke iris netra Langit. Raut mukanya penuh tanya. Kenapa pula cowok ini?
Hanya detik yang membeku, Langit menepuk jidatnya sendiri. Duh, apa-apaan, sih, kenapa mata bulat gadis itu begitu menyita perhatiannya? Hening beberapa saat, sang gadis menghembuskan nafas pelan dan berbalik menuju pintu belakang.“Eh, mau kemana?” tanyanya reflek melihat gadis itu urung pergi. “Balik,” sahutnya menoleh lagi, heran. Langit melongo.“Balik mana?” tanya Langit seperti terkunci mau bilang apa.Gadis itu menunjuk rumah Pakde Tejo yang terlihat dari dapur dengan dagu terangkat sedikit. Langit menggaruk kepala dengan tangan kirinya bingung. Lalu berdiri mendekati gadis itu. Sangat dekat. “Ehm, makanan segini banyak, aku nggak bakalan habis. Temenin aku makan?” Entahlah ini ajakan atau apalah namanya, tapi Langit belum ingin gadis madu yang menyita perhatiannya ini pergi. Sejenak semuanya hening. Dengan tak percaya, si gadis menatap Langit. Netra keduanya beradu.“Hmm?” tanya gadis eksotis itu masih bingung.Lengannya cepat disambar Langit. Mendudukannya di kursi makan terdekat.“Ish,” dikibaskannya lengan Langit cepat. Meskipun akhirnya duduk terdiam. Membuat Langit hampir muntab. Ini cewek beneran, ya, dingin dan sinis. Bukannya dia si tuan rumah, dan bebas meminta apa saja yang dibutuhkan? Langit mencoba bersabar. Sabar, ini cewek memang tak seperti cewek lain yang biasa Langit kenal.“Oke, oke, maaf. Kau belum makan, kan?”Gelengan kepala gadis itu membuat Langit hampir tertawa. Kenapa irit bicara baget sih nih orang. Tadi mengesalkan, tapi bikin gemas saja. Gadis itu masih menatap Langit heran dan kesal. Baru jam sebelas. Masih terlalu pagi untuk makan siang.“Temenin aku makan,” kata Langit akhirnya setelah beberapa saat keduanya dalam diam. Gelengan kepala kembali. Sepertinya ia tak suka melihat Langit. Betulkah begitu?“Ya udah, temenin aja, biasanya aku makan sama mama, kalau sendiri, aku nggak minat,” ujar Langit beralasan. Segera mengambil tempat duduk di samping gadis itu, mengamati wajah manis sepenuhnya.“Eng, kalau gitu kupanggilin bude aja,” jawabnya dingin lalu beranjak dari tempat duduknya dengan jawaban yang agak panjang. Namun lengannya segera ditarik Langit.“Eh, aku nggak suka ditolak,” ujarnya cepat. Kepala gadis menengok kesal ke Langit. Langit ikut berdiri. Mendudukkannya kembali, kali ini gadis manis itu menolak. Ia berusaha berdiri, hingga keduanya berhadapan dalam jarak amat dekat. Terasa nafas gadis itu di penciuman Langit. Saling tatap dan gadis desa itulah yang akhirnya menudukkan kepala. Ekstra membuat jantung Langit kebat-kebit terkena angin lesus dan menahan nafas berat. Hai, ada apa ini?Lalu tanpa disadari, gadis semampai itu berbalik pergi meninggalkan Langit tanpa bicara apapun. Punggungnya berlalu ketika Langit membeku beberapa saat. Semburan nafasnya keluar dengan susah payah.Tapi ups, ketergesaannya membuat kaki kiri gadis itu menabrak ujung meja kecil tempat dispenser. “Aw,” teriaknya dengan tubuh sedikit oleng. Yaelah, nih cewek, batin Langit sambil geleng kepala. Hendak menolong tapi sang gadis terburu menegakkan badan, berjalan kembali.“Nggak jalan, nggak naik motor, sama aja. Makanya naik motor juga jangan ngebut, jalan kelokan pula.” Suara Langit segera dikeraskan sambil menyunggingkan senyum simpul. Gadis itu berhenti, menoleh kesal ke Langit. Sedangkan Langit dengan santai menyandarkan tubuhnya ke meja makan. Tak disangka, gadis yang irit bicara itu berbalik arah dan berjalan mendekat dengan tampang yang susah diartikan.Kena, deh, pancingannya kena, Langit tersenyum miring, hihihi. Gadis cuek dan dingin ini! Lihat saja.“Jadi...,” kata gadis itu kesal memandang Langit dari atas ke bawah.“Ya, jadi kamu kan tadi yang sembarangan naik motor, hingga hampir nabrak mobilku,” ujar Langit santai.“Hah?” sambarnya menahan emosi. Terlihat perubahan raut mukanya yang nyaris membuat Langit tertawa. Kebalik, kan, dia yang ngebut, batinnya kesal.“Nggak mau ngaku?” Langit cengengesan, membuat gadis itu manahan kesabaran level sejuta. Gerahamnya mengeras, mulutnya terbuka tapi tak mampu mengucap apapun. Kemudian mengatup kembali. Bibir bawahnya saja yang digigit kecil. Langit tertawa puas, aduh makin manis kalau seperti itu. Tanpa berkata apapun gadis itu membalikkan, membuat Langit geleng kepala.“Kau kehilangan sesuatu?” tanya Langit segera. Tak menggubris, gadis itu terus berjalan dengan hentakan kaki yang diperjelas, marah.“Cek dompetmu!” Belum sampai pintu, wajah semanis madu itu berpaling. Ada tanya di sana. Aha, kena, kan?“Kau...,” mulut mungilnya berucap tak jelas. Langit tetap mendengarnya. Sok cuek dan duduk di kursi makan. Melanjutkan acara makan yang tertunda dengan piring yang tadi sudah diisinya nasi dan lauk. Mengambil lalapan, sambal dan mulai makan perlahan.Seperti dugaannya, gadis itu berbalik lagi. Berdiri tak nyaman di samping Langit yang mulai makan tanpa menggunakan sendok.“Ada syaratnya, Bumi,” kata Langit cepat. Panggilan nama yang sumpah, bikin gadis itu terpana juga kesal sekaligus. Bumi! Hanya Pakde Tejo dan Bude Siti yang memanggilnya Mimi.“Ada beberapa syarat.”Sengaja Langit membuat penasaran, jeda yang menyebalkan untuk Bumi, gadis yang dikenal awal tadi bernama Mimi. Tetap saja Bumi diam seribu bahasa, mematung di tempatnya semula.“Salah satunya temani aku makan,” lanjut Langit di atas angin.Hih, Bumi mendesah kesal. Menggelengkan kepala yang membuat Langit makin gemas.“Simku....” Bumi berujar pelan. Memang sih aman kalau masih sekitar desa. Kalau ke kota mengantar pesanan? Duh... bisa berabe tanpa surat-surat lengkap. Namun, makan bersama cowok yang hampir saja menabraknya tadi, wajahnya, tatapannya. Uh! mana sudi, geram Bumi menahan marah. “Hmmm,” deheman Bumi agak keras, diketuknya meja makan pelan. Ia bukannya tak punya sopan santun, namun Langit membuat darahnya mendidih.Ditunggu, tak ada kata yang keluar. Dengan cuek Langit terus melanjutkan makan. “Makan dulu.”“Huh!”“Bumi!”“Plis!” suaranya memohon. Akhirnya ada juga kalimat yang keluar dari mulut Bumi.“Ya ampun, minta nemenin makan aja nggak mau,” sungut Langit. Bumi bergeming, Langit santai terus makan, kemudian Bumi berbalik. Pergi berlalu begitu saja. Kali ini benar-benar meninggalkannya. Hembusan nafas Langit kesal. Hanya punggung yang masih mampu dilihat Langit. Dasar cewek keras kepala.Tatapan netra, sikap dingin dan hemat bicara Bumi membuat Langit penasaran. Ada misteri yang terekam di sana. Entah apa. Langit ingin mencari tahu. Ada apa denganmu Bumi? Kenapa kau begitu misterius.Tiba-tiba suara langkah membuat Langit kaget.“Lhah, Mas Langit,” Bude Siti sudah ada di hadapan Langit dengan heran. “Ya ampun kirain Mas Langit nggak mau makan. Kata Mimi Mas Langit minta ditemenin makan Bude?” katanya terburu penuh tanda tanya.Langit menghentikan makan bengong. Ya Tuhan, beneran Bumi bilang dia butuh teman makan? Adududuh, dasar cewek!“Ah nggak Bude, hanya iseng aja gangguin Bumi,” sahutnya cepat. Tapi Bude Siti, mendekat berkata pelan.“Katanya Mas Langit nemuin dompet Mimi?” tanyanya ragu.Pertanyaan sepele bikin Langit auto tersedak kaget.“Uhuk, uhuk,” diambilnya air putih yang sudah ada di situ. Membuat Bude Siti tak enak hati banget.“Eyalah, maaf Mas Langit...,” disodorkannya tisu yang langsung juga diterima Langit.“Tak apa,” katanya meringis.“Benar dompet Mimi...,” netra Bude Siti menuntut jawaban. “Biar nanti aja, aku mau makan terus istirahat,” kelaknya halus. “Walah, ya sudah, Bude balik dulu, lanjutkan makannya Mas Langit,” ujar Bude Siti segera.Langit hanya mengangguk dan tersenyum miring setelah Bude Siti meninggalkannya. Dilanjutkannya makan siang ini dengan nikmat. Ia membayangkan Bumi merayu Bude Siti mengambil dompetnya. Haha, never, batin Langit di atas langit. Cewek sedingin es batu itu....@@@Hawa sejuk membuat Langit sedikit bermalas-malasan dengan selonjoran di karpet ruang tengah depan kamar. Ada TV berukuran besar di sana. Dinyalakan namun sama sekali tak menarik bagi Langit. Ia sibuk berkutat dengan ponsel dan laptop sekaligus. Sesekali menelpon seseorang atau dia yang ditelpon.Ada beberapa kerjaan yang akan dibereskannya hari itu. Meski jauh di desa, ia tetap harus mampu menganalisa masalah dan membereskan banyak hal pekerjan kantor. Ah, ya, kantornya sekarang ada di sini. Tanpa sekretaris, tanpa orang yang membantunya kecuali Pakde Tejo serta Bude Siti. Dan Bumi! Ah Bumi! Sekejap Langit menghentikan kesibukannya. Apa Bumi tinggal bersama pakde dan bude?Kenapa tadi tak langsung menanyakannya? Fiuh, Langit menepuk jidatnya pelan. Betapa lambatnya dia. Mata Bumi, dingin dan irit bicaranya, serta tubuh semampainya mampu membuat kebekuan Langit mencair sepersen. Ya, hanya satu persen saja. Di sisi lain, masih ada Dara. Dara! Ngapain memikirkan gadis
Gadis itu, Bumi memandang Langit tak percaya. Kenapa juga ketemu cowok ini lagi? Cowok yang membuatnya terpaku beberapa saat lamanya. Bumi terdiam. Menyetandarkan motornya, tetap duduk di motor, bersedekap sambil menatap ke luar gubuk.Hanya berteman suara hujan. Terus menggila dengan angin yang deras. Langit menatap Bumi dari samping. Gadis semanis madu membuatnya terlena untuk sepersekian detik. Masih dengan pakaian yang tadi. Flanel panjangnya telah basah oleh air hujan.“Kau bisa duduk di sampingku,” kata Langit setelah kesenyapan membosankan. Bumi bergeming. Ya ampun terbuat dari apa cewek ini? Langit mengibaskan rambutnya yang mulai memanjang dan menyugarnya, mencoba sabar.“Bumi!”Tak ada suara, Bumi hanya membuka helm, menaruh di stang motor sebelah kanan. Dari ekor mata dilihatnya Langit menghujaninya dengan tatapan penuh. Senyum langit membuat Bumi kembali menatap luar gubuk. Badai yang
Pelan tapi pasti, tubuh Bumi dengan helm masih di kepala itu melorot ke bawah. Segera Langit menangkap tubuh semampainya yang terkulai.“Kau kenapa? Bumi?” seru Langit bingung. Tubuhnya terkulai. Wajahnya yang tadi sudah pucat, makin pasi dengan tubuh dingin. Ya Tuhan ada apa dengan Bumi? Batin Langit bergejolak.Hujan yang tadi sudah berhenti mulai menderas lagi di luar sana.Langit melepas helm dengan cepat dan segera membopongnya. Pintu sesudah pintu garasi itu terkunci. Tubuh Bumi ditahan Langit agak kesusahan sambil mengambil kunci yang terjatuh saat Bumi pingsan. Otak Langit berputar cepat memperkirakan kunci mana yang sekiranya tepat di antara beberapa kunci itu. Kunci pertama gagal, untunglah di kunci kedua Langit menemukan kunci yang pas untuk membuka pintu bagian dalam. Langit bergegas masuk ke dalam dengan Bumi terkulai lemas.Ruangan pertama sebuah pantry mungil. Langit tolah toleh sebe
Masih di Bumi POV“Mau kopi?” tawarku menutup rasa salah tingkah yang hinggap begitu saja.“Kuat bikinin aku kopi?”Pertanyaan yang sedikit menggoda, kan? Segera aku beranjak, tapi tanganku dicekal olehnya.“Mau kemana?”“Bikin kopi,” jawabku linglung. Gimana sih ini orang? Terpaksa aku duduk kembali.“Kamu nggak papa? Beneran, nih?” Pertanyaan penuh kekhawatiran.Tuhanku, bukannya sudah kubilang aku capek doang? Kenapa tak percaya dengan ucapanku?“Aku baik saja,” sahutku tegas langsung menuju dapur. Untunglah Mas Langit hanya manggut-manggut dan segera kubuatkan kopi. Kulihat Mas Langit tetap mengikuti langkahku lewat ekor matanya.“Kopi hitam?” tanyaku tertahan.“Ya, sedikit gula,” jawabnya ringan.Kepala kuanggukkan dan mulai kubuatkan kopi sesuai keinginannya. Sedangkan untukku send
“Dompetmu...,” sahut Langit disabar-sabarkan.“Oh, eh, biar aku sendiri, sekalian ambil bunga....”Bumi tersadar berkata-kata agak panjang dan tiba-tiba Langit mengunci mulutnya dengan jari telunjuk.“Stt, aku pingin anterin ke sini. Nggak boleh?” kalimat Langit yang tepat di telinga Bumi membuatnya merinding. Tubuhnya mundur lagi. Ia tak ingin kejadian barusan terulang kembali. Sungguh tatapan Langit kadang membuatnya murka, tapi juga benci. Herannya, kenapa ia tak mampu menolaknya?“Terserah, deh...” itulah yang akhirnya keluar dari mulut Bumi. Jawaban membuat Langit tersenyum di atas angin.“Oke, aku pulang dulu, jaga dirimu baik-baik,” kata Langit pelan tapi tegas. Disambut anggukan Bumi.Keduanya menuju garasi. Dengan cepat Langit mengeluarkan KLX, memakai helm dan melajukan motor segera setelah m
Bumi menunduk. Dilepaskannya kungkungan itu perlahan, Langit mengikutinya, melepaskan wajah Bumi dari jemarinya.Wajah bak madu itu mengangkat wajah. Mengawasi tiap inci wajah Langit. Dalam remang, Langit melihat sinar kebencian di iris hitam netra Bumi. Ia tahu, walau tak sekejam awal mereka bertemu. Kembali wajah Bumi menunduk. Langit mengangkat dagu gadis manis itu. Mendekatkan bibirnya ke bibir mungil yang kian membuatnya tak kuasa menolak hasrat kelelakiannya. Dalam sepersekian detik, ia melumatnya penuh rasa.Begitu juga Bumi, ia menyambutnya. Meski kaku, Langit membuatnya lebih nyaman. Tubuh Langit meringsek makin dekat. Lidahnya bermain, membuka rongga mulut Bumi. Mengobrak abrik bagian dalam dengan jilatan, gigitan, sesekali menyesap gemas tanpa jeda. Ketika Bumi seolah tak mampu bernafas, ia melepaskannya. Namun, kembali dikulumnya bibir mungil itu dengan segenap jiwa. Panas!Tangan kiri Langit menarik ma
Langit bertanya serius. Membalas tatapan Bumi dan mampu menundukkan wajah gadis itu. Tak butuh waktu lebih lama lagi, Langit tak kuasa menahan perasaan. Apalagi untuk mendiamkannya. Ngomong terus terang lebih baik, kan?“Bumi,” diangkatnya wajah Bumi. Kedua netra mereka beradu.“A... aku...,” kata Bumi bingung. Bergetar tak mampu mengucap apapun. Kenapa mulutnya terkunci?“Kau tak perlu menjawabnya sekarang.”“Tapi....”Langit menaruh telunjuknya di mulut Bumi. Langsung dijauhkan Bumi.“Aku nggak bisa,” lirih sekali suaranya.“Kenapa?” Langit menuntut jawaban.Bumi menunduk.“Karena mantan?” selidik Langit tapi justru membuat Bumi terhenyak.“Maksudmu?”“Ya, maksudku, kau tahu maksudku, kan?” Langit ganti bertanya. Mata Bumi membulat.“Ah, sudahlah. Sudah malam, aku harus pulang.&rd
Di dalam Langit mengacak rambutnya kesal dan marah jadi satu.Dara gila! Bagaimana bisa ia berani datang padaku hanya dengan kata minta maaf setelah nyata-nyata di luar dia...? Langit tak mampu melanjutkan pikirannya sendiri. Mungkin karena terlalu mencintainya. Sayang, ia tak bisa menerimanya. Walau Langit menyadari dirinya bukan lelaki bersih.Langit bergulat dengan perasaannya sendiri. Merutuki diri sendiri, kenapa ia begitu terpesona pada wanita seperti Dara, yang notabene suka dunia malam, foya-foya dan kehidupan yang tidak baik untuk seorang gadis. Sampai mamanya saja begitu bersikeras tetap mempertahankan hubungan Langit dengan Dara walau Langit sudah menutuskan untuk mengakhir semuanya. Mama akhirnya setuju setelah Adit sendiri bilang kalau kondisi Dara yang sebenarnya. Dengan lelaki yang pasti bukan Lagit!Dan bumi? Mungkinkah Bumi menyaksikan kejadian tadi bersama Dara. Tak hanya mungkin. Pasti melihat semua barusan. Oh, Langi