Share

Bab 3. Misterius

Gadis itu, menghentikan langkah, mendengar gumaman Langit sepertinya. Menoleh dan menajamkan netra ke iris netra Langit. Raut mukanya penuh tanya. Kenapa pula cowok ini?

Hanya detik yang membeku, Langit menepuk jidatnya sendiri. Duh, apa-apaan, sih, kenapa mata bulat gadis itu begitu menyita perhatiannya? Hening beberapa saat, sang gadis menghembuskan nafas pelan dan berbalik menuju pintu belakang.

“Eh, mau kemana?” tanyanya reflek melihat gadis itu urung pergi. 

“Balik,” sahutnya menoleh lagi, heran. 

Langit melongo.

“Balik mana?” tanya Langit seperti terkunci mau bilang apa.

Gadis itu menunjuk rumah Pakde Tejo yang terlihat dari dapur dengan dagu terangkat sedikit. 

Langit menggaruk kepala dengan tangan kirinya bingung. Lalu berdiri mendekati gadis itu. Sangat dekat. 

“Ehm, makanan segini banyak, aku nggak bakalan habis. Temenin aku makan?” Entahlah ini ajakan atau apalah namanya, tapi Langit belum ingin gadis madu yang menyita perhatiannya ini pergi. Sejenak semuanya hening. Dengan tak percaya, si gadis menatap Langit. Netra keduanya beradu.

“Hmm?” tanya gadis eksotis itu masih bingung.

Lengannya cepat disambar Langit. Mendudukannya di kursi makan terdekat.

“Ish,” dikibaskannya lengan Langit cepat. Meskipun akhirnya duduk terdiam. Membuat Langit hampir muntab. Ini cewek beneran, ya, dingin dan sinis. Bukannya dia si tuan rumah, dan bebas meminta apa saja yang dibutuhkan? Langit mencoba bersabar. Sabar, ini cewek memang tak seperti cewek lain yang biasa Langit kenal.

“Oke, oke, maaf. Kau belum makan, kan?”

Gelengan kepala gadis itu membuat Langit hampir tertawa. Kenapa irit bicara baget sih nih orang. Tadi mengesalkan, tapi bikin gemas saja. Gadis itu masih menatap Langit heran dan kesal. Baru jam sebelas. Masih terlalu pagi untuk makan siang.

“Temenin aku makan,” kata Langit akhirnya setelah beberapa saat keduanya dalam diam. 

Gelengan kepala kembali. Sepertinya ia tak suka melihat Langit. Betulkah begitu?

“Ya udah, temenin aja, biasanya aku makan sama mama, kalau sendiri, aku nggak minat,” ujar Langit beralasan. Segera mengambil tempat duduk di samping gadis itu, mengamati wajah manis sepenuhnya.

“Eng, kalau gitu kupanggilin bude aja,” jawabnya dingin lalu beranjak dari tempat duduknya dengan jawaban yang agak panjang. Namun lengannya segera ditarik Langit.

“Eh, aku nggak suka ditolak,” ujarnya cepat. Kepala gadis menengok kesal ke Langit. Langit ikut berdiri. Mendudukkannya kembali, kali ini gadis manis itu menolak. Ia berusaha berdiri, hingga keduanya berhadapan dalam jarak amat dekat. Terasa nafas gadis itu di penciuman Langit. Saling tatap dan gadis desa itulah yang akhirnya menudukkan kepala. Ekstra membuat jantung Langit kebat-kebit terkena angin lesus dan menahan nafas berat. Hai, ada apa ini?

Lalu tanpa disadari, gadis semampai itu berbalik pergi meninggalkan Langit tanpa bicara apapun. Punggungnya berlalu ketika Langit membeku beberapa saat. Semburan nafasnya keluar dengan susah payah.

Tapi ups, ketergesaannya membuat kaki kiri gadis itu menabrak ujung meja kecil tempat dispenser. 

“Aw,” teriaknya dengan tubuh sedikit oleng. 

Yaelah, nih cewek, batin Langit sambil geleng kepala. Hendak menolong tapi sang gadis terburu menegakkan badan, berjalan kembali.

“Nggak jalan, nggak naik motor, sama aja. Makanya naik motor juga jangan ngebut, jalan kelokan pula.” Suara Langit segera dikeraskan sambil menyunggingkan senyum simpul. Gadis itu berhenti, menoleh kesal ke Langit. Sedangkan Langit dengan santai menyandarkan tubuhnya ke meja makan. Tak disangka, gadis yang irit bicara itu berbalik arah dan berjalan mendekat dengan tampang yang susah diartikan.

Kena, deh, pancingannya kena, Langit tersenyum miring, hihihi. Gadis cuek dan dingin ini! Lihat saja.

“Jadi...,” kata gadis itu kesal memandang Langit dari atas ke bawah.

“Ya, jadi kamu kan tadi yang sembarangan naik motor, hingga hampir nabrak mobilku,” ujar Langit santai.

“Hah?” sambarnya menahan emosi. Terlihat perubahan raut mukanya yang nyaris membuat Langit tertawa. Kebalik, kan, dia yang ngebut, batinnya kesal.

“Nggak mau ngaku?” Langit cengengesan, membuat gadis itu manahan kesabaran level sejuta. Gerahamnya mengeras, mulutnya terbuka tapi tak mampu mengucap apapun. Kemudian mengatup kembali. Bibir bawahnya saja yang digigit kecil. Langit tertawa puas, aduh makin manis kalau seperti itu. Tanpa berkata apapun gadis itu membalikkan, membuat Langit geleng kepala.

“Kau kehilangan sesuatu?” tanya Langit segera. 

Tak menggubris, gadis itu terus berjalan dengan hentakan kaki yang diperjelas, marah.

“Cek dompetmu!” Belum sampai pintu, wajah semanis madu itu berpaling.  Ada tanya di sana. 

Aha, kena, kan?

“Kau...,” mulut mungilnya berucap tak jelas. Langit tetap mendengarnya. Sok cuek dan duduk di kursi makan. Melanjutkan acara makan yang tertunda dengan piring yang tadi sudah diisinya nasi dan lauk. Mengambil lalapan, sambal dan mulai makan perlahan.

Seperti dugaannya, gadis itu berbalik lagi. Berdiri tak nyaman di samping Langit yang mulai makan tanpa menggunakan sendok.

“Ada syaratnya, Bumi,”  kata Langit cepat. Panggilan nama yang sumpah, bikin gadis itu terpana juga kesal sekaligus. Bumi! Hanya Pakde Tejo dan Bude Siti yang memanggilnya Mimi.

“Ada beberapa syarat.”

Sengaja Langit membuat penasaran, jeda yang menyebalkan untuk Bumi, gadis yang dikenal awal tadi bernama Mimi. Tetap saja Bumi diam seribu bahasa, mematung di tempatnya semula.

“Salah satunya temani aku makan,” lanjut Langit di atas angin.

Hih, Bumi mendesah kesal. Menggelengkan kepala yang membuat Langit makin gemas.

“Simku....” Bumi berujar pelan. Memang sih aman kalau masih sekitar desa. Kalau ke kota mengantar pesanan? Duh... bisa berabe tanpa surat-surat lengkap. Namun, makan bersama cowok yang hampir saja menabraknya tadi, wajahnya, tatapannya. Uh! mana sudi, geram Bumi menahan marah. 

“Hmmm,” deheman Bumi agak keras, diketuknya meja makan pelan. Ia bukannya tak punya sopan santun, namun Langit membuat darahnya mendidih.

Ditunggu, tak ada kata yang keluar. Dengan cuek Langit terus melanjutkan makan. 

“Makan dulu.”

“Huh!”

“Bumi!”

“Plis!” suaranya memohon. Akhirnya ada juga kalimat yang keluar dari mulut Bumi.

“Ya ampun, minta nemenin makan aja nggak mau,” sungut Langit. Bumi bergeming, Langit santai terus makan, kemudian Bumi berbalik. Pergi berlalu begitu saja. Kali ini benar-benar meninggalkannya. Hembusan nafas Langit kesal. Hanya punggung yang masih mampu dilihat Langit. Dasar cewek keras kepala.

Tatapan netra, sikap dingin dan hemat bicara Bumi membuat Langit penasaran. Ada misteri yang terekam di sana. Entah apa. Langit ingin mencari tahu. Ada apa denganmu Bumi? Kenapa kau begitu misterius.

Tiba-tiba suara langkah membuat Langit kaget.

“Lhah, Mas Langit,” Bude Siti sudah ada di hadapan Langit dengan heran. “Ya ampun kirain Mas Langit nggak mau makan. Kata Mimi Mas Langit minta ditemenin makan Bude?” katanya terburu penuh tanda tanya.

Langit menghentikan makan bengong. Ya Tuhan, beneran Bumi bilang dia butuh teman makan? Adududuh, dasar cewek!

“Ah nggak Bude, hanya iseng aja gangguin Bumi,” sahutnya cepat. Tapi Bude Siti, mendekat berkata pelan.

“Katanya Mas Langit nemuin dompet Mimi?” tanyanya ragu.

Pertanyaan sepele bikin Langit auto tersedak kaget.

“Uhuk, uhuk,” diambilnya air putih yang sudah ada di situ. Membuat Bude Siti tak enak hati banget.

“Eyalah, maaf Mas Langit...,” disodorkannya tisu yang langsung juga diterima Langit.

“Tak apa,” katanya meringis.

“Benar dompet Mimi...,” netra Bude Siti menuntut jawaban. 

“Biar nanti aja, aku mau makan terus istirahat,” kelaknya halus.

  “Walah, ya sudah, Bude balik dulu, lanjutkan makannya Mas Langit,” ujar Bude Siti segera.

Langit hanya mengangguk dan tersenyum miring setelah Bude Siti meninggalkannya.  Dilanjutkannya makan siang ini dengan nikmat. Ia membayangkan Bumi merayu Bude Siti mengambil dompetnya. Haha, never, batin Langit di atas langit. Cewek sedingin es batu itu....

@@@

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status