Share

Bab 4. Galau

Hawa sejuk membuat Langit sedikit bermalas-malasan dengan selonjoran di karpet ruang tengah depan kamar. Ada TV berukuran besar di sana. Dinyalakan namun sama sekali tak menarik bagi Langit. Ia sibuk berkutat dengan ponsel dan laptop sekaligus. Sesekali menelpon seseorang atau dia yang ditelpon. 

Ada beberapa kerjaan yang akan dibereskannya hari itu. Meski jauh di desa, ia tetap harus mampu menganalisa masalah dan membereskan banyak hal pekerjan kantor. Ah, ya, kantornya sekarang ada di sini. Tanpa sekretaris, tanpa orang yang membantunya kecuali Pakde Tejo serta Bude Siti. Dan Bumi! Ah Bumi! Sekejap Langit menghentikan kesibukannya. Apa Bumi tinggal bersama pakde dan bude?

Kenapa tadi tak langsung menanyakannya? Fiuh, Langit menepuk jidatnya pelan. Betapa lambatnya dia. Mata Bumi, dingin dan irit bicaranya, serta tubuh semampainya mampu membuat kebekuan Langit mencair sepersen. Ya, hanya satu persen saja. Di sisi lain, masih ada Dara. Dara! Ngapain memikirkan gadis cantik itu? Cantik? Cantik apanya? Hatinya sudah membekas oleh pengkhiatan muram Dara. Perselingkuhan di depan matanya, dengan lelaki yang membuatnya gila di club itu. Beruntung ia masih mendengarkan kata-kata Adit.

“Ahrgg...!” Langit mengangkat kedua tangannya ke atas. Menyelonjorkan kakinya di karpet tebal di depan TV tersebut. Lalu menyandarkan kepala di bantal bulat besar dengan memejamkan mata.

Drrttt, drrt... ponselnya berkedip pasti. Langit menyambarnya cepat tanpa melihat layar, langsung menempelkan di samping telinga kanan. Pasti Adit yang ingin mengabarkan laporan penjualan hari ini.

“Ya?” sahutnya cepat.

“...”

“Apa?” Langit menjauhkan ponselnya, mengamati foto yang tertera di sana dengan melotot. Ditutupnya telpon lalu dilemparkan asal ke karpet.

“S**t!” umpatnya sambil meraup muka kasar. 

Drrttt drrttt, ponsel terus berbunyi dengan kedipan yang mengganggu mata Langit. Tak mau peduli, Langit berdiri, mangacuhkan serasa ingin membanting ponsel itu ke kolam lele di belakang rumah. Ia hanya melirik. Kemudian mendorong travel bag dan tas ransel yang sudah dibawa masuk oleh Pakde Tejo ke kamar. Tadi, Langit belum sempat membereskannya. Sebetulnya ia bisa meminta tolong Pakde Tejo dan istrinya untuk menaruh semuanya di lemari dan membereskan kamar. Pakde dan istrinya sudah tahu kebiasaan Langit. Hanya saja, Langit ingin membereskannya sendiri. Ia sedang ingin sendiri. Benarkah seperti itu?

Ponsel terus berbunyi tanpa ampun. Sesekali Langit mengela nafas, mengeluarkan kasar. Tetap saja berdering. Setelah 6 kali berbunyi, akhirnya mati juga. Semakin tak peduli, Langit terus masuk ke kamar. Menaruh beberapa baju ke lemari jati berpintu besar yang ada di depan tempat tidurnya, samping pintu kamar mandi. Kemudian menaruh tas ransel ke nakas kecil di samping tempat tidur. Di sampingnya lagi, ada meja kerja lengkap dengan kursi. Langit memang tak minta ruangan kerja khusus. Lagian buat apa. Dia bisa kerja dimana saja. Toh, hanya dia sendiri di rumah itu. 

Semua perabotan rumah berbahan kayu jati tua pilihan ukiran Jepara. Aroma dan peliturannya khas sekali. Papanya memang penyuka seni, mebel berbahan jati selalu menjadi pilihan ketika memilih perabotan keperluan rumah. 

Dijatuhkannya tubuh atletis itu ke tempat tidur, telungkup. Dengan bertumpu kedua lengan yang ditekuk. Memejamkan mata beberapa saat. Bayangan Dara melintas, ia menggelengkan kepala keras. Tubuhnya berbalik, saat tak sengaja tubuhnya menyentuh sesuatu. Dompet itu!

Langit terduduk segera. Ia hampir lupa. Dibukanya dompet coklat itu lagi, ada beberapa lembar uang seratusan dan limapuluhan ribu, ATM, KTP, SIM dan beberapa nota pesanan yang Langit tak membaca lengkap. Netra Langit tertuju pada nama di sana Bumi Bayu Asmara. Nama yang manis, semanis orangnya, sejudes sifatnya. Hihihi, Langit tersenyum-senyum sendiri. Entahlah, kenapa gadis itu mampu mengunci persendian Langit. Walau baru ketemu beberapa jam yang lalu. Kebekuannya membuat Langit penasaran, sungguh!

Langit menyugar rambutnya beberapa kali, ia masih kesal dengan telepon tadi.

“Kirain Adit, huh!” gumamnya payah.

Bagaimana bisa Dara masih berani menghubinginya setelah dia benar-benar membuat remuk redam di titik terendah? Harusnya ia memblokirnya. Namun itu bukan solusi, ia bisa menelepon dengan nomor lain. Belum tepat blokir memblokir untuk saat ini. Suatu hari nanti, Langit pasti akan memblokirnya. Kapan? Entah.

“Huh!”

Di sini semua hening. Nyaman dan sejuk udaranya, tak seperti di kota. Interaksi Langit otomatis sempit, hanya dengan Pakde Tejo dan Bude Siti. Oh, ya, tentu saja Bumi. Ada keanehan di tatapan mata bulat gadis berkulit sawo matang itu. Kebenciannya benar-benar kentara. Langit merasakannya. Padahal baru kali ini ia bertemu Bumi. 

Langit mendekati jendela besar kamar, menatap keluar. Tepat di depan sana... ia lihat Bumi sedang uplek dengan motornya yang meraung-raung. Sepertinya dia akan pergi, ada bunga krisan yang ditaruh plastik cantelan motor di depan. Namun, kenapa tak pergi-pergi juga? Langit mengernyitkan dahi. Dilihatnya Bumi mencoba menyetater tapi gagal. Malah tubuhnya jongkok, melihat ke bawah, lalu mengulik sesuatu di sana. Memencet ban motornya itu beberapa kali. Kemudan berdiri lagi, melihat ke tempat bensin. Menggoyangkannya. Dan menyetaternya, berhasil, mesin motor itu hidup. Senyum segula madu tersungging di sana. Manisnya! Langit termlongo tak percaya. Mungkinkah ia kembang desa di sini? Selama ini ia belum pernah melihatnya, dan tak pernah tahu Pakde Tejo punya keponakan segula aren itu! 

Rung rung rhung... suara knalpot menulikan telinga Langit. Bumi pergi, semakin lama semakin hilang dari pintu gerbang yang diapit kebun krisan. 

Kabut turun makin menebal padahal baru pukul 4 sore. Langit menimbang-nimbang sejenak, ia ingin jalan keliling desa. Akhirnya, Langit mengambil jaket jins, memakainya cepat. Masih dengan setelan jins hitam dan kaus hitam karena ia belum ganti baju sejak sampai sini tadi. Hawa dingin memang tak pas kalau memakai jaket jins, tapi tak apa, belum terlalu malam hingga dingin memuncak nanti. 

Keluar kamar, diambilnya ponsel yang tadi dilempar sembatangan. Lalu memasukkan ke saku celana. Mengambil kontak KLX yang ada di bufet kecil dekat TV. Kemudian keluar lewat pintu di samping ruang tengah yang menghubungkan dengan garasi. Di sebelah mobil yang sudah dimasukkan Pakde Tejo ke garasi, ada 2 motor, matic dan KLX, motor yang sering digunakan Langit untuk jalan keliling desa bila ia mampir ke rumah yang mirip vila itu. Distaternya motor lalu keluar garasi. Tepat saat Pakde Tejo berjalan dari kebun setelah karyawan kebun pulang.

“Mau jalan?” tanya Pakde Tejo mendekati Langit.

“Iya, keliling desa sebentar,” sahut Langit tersenyum.

“Sepertinya mendung, nggak bawa mobil aja?” Pakde Tejo menatap langit. 

“Mendung tak berarti hujan Pakde,” jawab Langit yang langsung membuat keduanya tertawa bareng. Dipakainya helm di kepala.

“Ati-ati,” kata Pakde Tejo akhirnya.

“Assalamualaikum,” salam Langit mulai menjalankan KLX pelan keluar pintu gerbang yang separuh terbuka.

@@@

Motor melaju pelan, membelah jalanan desa nan sepi. Di kanan kiri hanya sawah yang menyepi karena para petani sudah pulang ke rumah. Beberapa kebun krisan tampak menarik dengan warna warni bunga beraneka macam. Jalanan yang berkelak kelok membutuhkan kererampilan khusus. Tak masalah bagi Langit, ia sudah terbiasa dan hapal jalanan daerah sini. 

Semakin ke utara, jalanan makin menanjak. Mendung semakin menggelayut, awan hitam mulai berarak. Tak menunggu lama, tetes-tetas air menyeruak menghantam tanah, pelan, lalu mulai keras. Hujan menderas. Langit menggas motor cepat. Daerah sepi, hanya ada satu rumah dan terlanjur terlewat. 

Di depan tampak sebuah gubuk kecil, mungkin bekas orang jualan yang tak digunakan lagi. Citt, Langit menghentikan motornya di sana. Berteduh di tengah derasnya hujan yang menggila. Gubuk yang hanya berukuran tak lebih dari 3 meter x 2 meter itu terdapat meja dan kursi reyot. Langit membuka helm, duduk di meja, menyedekapkan kedua tangan di depan dada menahan dingin. Beberapa saat kemudian, dari arah berlawan mendadak motor datang dan berhenti di gubuk yang sama. Kedua netra orang itu bertumbukan dengan jelas. Langit melongo!

“Bumi!”

@@@

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status