Share

Bab 6. Terkulai

Pelan tapi pasti, tubuh Bumi dengan helm masih di kepala itu melorot ke bawah. Segera Langit menangkap tubuh semampainya yang terkulai.

“Kau kenapa? Bumi?” seru Langit bingung. Tubuhnya terkulai. Wajahnya yang tadi sudah pucat, makin pasi dengan tubuh dingin. Ya Tuhan ada apa dengan Bumi? Batin Langit bergejolak. 

Hujan yang tadi sudah berhenti mulai menderas lagi di luar sana. 

Langit melepas helm dengan cepat dan segera membopongnya. Pintu sesudah pintu garasi itu terkunci. Tubuh Bumi ditahan Langit agak kesusahan sambil mengambil kunci yang terjatuh saat Bumi pingsan. Otak Langit berputar cepat memperkirakan kunci mana yang sekiranya tepat di antara beberapa kunci itu.  

Kunci pertama gagal, untunglah di kunci kedua Langit menemukan kunci yang pas untuk membuka pintu bagian dalam. Langit bergegas masuk ke dalam dengan Bumi terkulai lemas. 

Ruangan pertama sebuah pantry mungil. Langit tolah toleh sebentar kemudian menerobos masuk ke sebelah kiri dengan penjeda meja agak tinggi dan kursi panjang. Ada sofa di sana. Gegas, diletakkannya tubuh lunglai Bumi di sofa. Menaruh bantal sofa untuk sandaran kepalanya. Secepat kilat melepas Converse yang basah oleh air hujan serta kaos kaki yang tak kalah basahnya. Celingukan mencari selimut. Tak ada. 

Pelan, Langit menempelkan tangan ke dahi Bumi, lumayan panas. Namun, Langit ragu sendiri, bukankah tangannya basah dan dingin? Mata Langit tertumpu ke wajah Bumi yang masih memucat. Matanya ke sana kemari mencari minyak kayu putih. Membuka beberapa laci yang entah laci apa yang ada di sekitar situ. Sayang, tak ditemukannya juga.

Akhirnya, Langit mendudukkan tubuh di samping Bumi. Apa yang harus dilakukannya? Kenapa pikirannya jadi panik tak karuan tidak dapat berpikir jernih melihat Bumi seperti ini? 

Oh, lebih baik telepon Pakde Tejo, untuk meminta tolong tenaga medis melihat kondisi Bumi. Langit masih awam di tinggal di desa, ia belum mengenal banyak orang, apalagi dokter pribadi. Dielusnya pipi Bumi, duh Langit makin khawatir. Dikeluarkannya ponsel dari saku. Suara lemah Bumi mengurungkan Langit menelepon.

“M... mas....”

Pipi Bumi ditepuk pelan oleh Langit.

“Bumi!” kata Langit hampir berseru. 

Wajah pucat itu menoleh ke sekitar, bingung.

“Syukurlah, kau sudah sadar Bumi!” Lega bukan main dilihatnya Bumi tersadar. Duh, entahlah, kenapa si Bumi ini?

Netra Bumi mengerjap beberapa kali, memandang Langit bingung. Perlahan, Bumi duduk dengan bantuan Langit.

“Kau baik saja?” tanya Langit penuh kekhawatiran.

Anggukannya malah membuat Langit ragu. Dilihatnya dispenser dan Langit segera mengambil air putih kemudian disodorkannya ke Bumi.

“Minumlah, biar nggak lemas,” kata Langit lalu duduk di samping Bumi kembali. Bumi hanya meneguk sedikit, diberikannya gelas pada Langit yang kemudian menaruhnya di meja.

“Bajumu basah kuyup, lebih baik ganti baju dulu. Tak perlu mandi,” saran Langit  melihatnya mulai menggigil kembali. Lagi-lagi Bumi mengangguk. Kemudian berdiri.

“Mau kemana?” 

“Ganti baju,” jawabnya bingung. Langit menyugar rambutnya pelan. Ya ampun, baru saja menyuruh ganti baju. Kenapa harus ditanya kembali? 

Bumi berjalan sempoyongan, Langit berdiri menahan tubuhnya.

“Biar aku bantu,” ujar  langit memapah tubuh lemas itu. 

“Hmmm,” jawab Bumi lemah.

Pelan, Bumi membuka pintu kamar, ragu memandang Langit.

“Aku tunggu di sini kalau nggak boleh masuk,” papar Langit segera. Entah yang keberapa kali Bumi hanya mengangguk. Lalu masuk ke dalam tanpa menutup pintu. Langit menyandarkan tubuh di pintu kamar, menunggu Bumi.

Diliriknya Bumi mengambil baju dari dalam lemari lalu ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Lumayan lama, Mungkin mandi sekalian. Meskipun lama, tetap saja Langit tak beranjak di pintu kamar. Was-was kalau Bumi pingsan lagi di dalam sana. Bahaya, kan?

Tak berapa lama Bumi keluar dengan celana pendek coklat dipadu kaos hitam. Setelah menaruh baju kotor di keranjang rotan yang tertutup di samping depan pintu kamar mandi. Ditambah cardigan warna pastel yang diambilnya dari balik pintu. Langit tersenyum melihatnya sudah segar kembali. Rambut bergelombangnya basah, namun tetap tak menutupi kemanisannya. Maduuuu... Netra elang Langit tak mampu untuk mengabaikannya. Makhluk termanis yang membuat Langit kebat kebit tak karuan.

Sungguh Langit terpana dibuatnya.

“Mas,” kata Bumi menyenggol lengan Langit. 

Di depan Langit, Bumi sudah berdiri dengan anggunnya, bak bidadari nyasar ke desa. Ah, ini nyata. Mata Langit mengerjap beberapa kali, mulut auto melongo namun tersadar segera dikatupkannya cepat.

“Eh,” kata Langit deg deg ser.

“Makasih,” suara Bumi masih dingin. Walau begitu tetap seksi di telinga Langit.

Reflek diamatinya setiap inci wajah polos gadis semampai di hadapannya itu. Terasa jengah melihat pandangan Langit, Bumi menunduk. Mata Langit berkabut, melangsirkan beberapa helai rambut basah Bumi ke belakang. Meski terkesan menolak, Bumi diam saja. Tangan kanan Langit terus ke belakang, tepat di leher belakang.

Bumi menarik nafas panjang. Tak ada penolakan dari Bumi, Langit mengangkat dagu gadis itu ke atas dengan tangan kiri. Tak kuasa, Langit menelan salivanya beberapa kali. Ya ampun, otak dan pikiran waras mendadak lenyap begitu saja. Ingin sekali ia meredam semua gemuruh di dada menyatu dengan tubuh semampai yang membuatnya berderit tak karuan ini. Gunung kembar di bawahnya mampu membuat Langit melirik. 

Duh, gila!!! 

Mendadak tubuh Bumi menegang. Mundur selangkah. Menarik tangan Langit dari leher dan dagunya. Ada marah di bola api bulatnya. Ough, Langit terlampau liar buatnya! 

“....” Suara Bumi tak jelas.

Langit tersadar, ia bisa khilaf kalau otak tak warasnya tetap dibiarkan berjalan.

“Kau baik saja?” Tanya Langit setelah beberapa saat saling terdiam. 

“Atau kupanggilkan dokter?” lanjut Langit menekan keraguan yang mendadak muncul. Di depan gadis desa seperti ini bisa-bisanya ia tak karuan. Biasanya, sifat arogannya keluar.

“Nggak,” jawab Bumi sambil menggelengkan kepala.

“Yakin?” kuusap dahinya pelan. Hangat, sedikit.

“Aku ada vitamin,” sahut Bumi menarik tangan Langit ke bawah. Semuanya mendadak kaku.

“Duduk, yuk,” ajaknya salah tingkah. Dagunya diarahkan ke sofa. Kemudian ia mendahului duduk di karpet bawah. Sofa agak basah karena tubuh semampainya tadi dibaringkan di sana.

“Maaf di bawah,” lanjutnya lagi.

“Santai aja,” kata Langit mengikuti Bumi duduk. Persis di sampingnya.

Langit mengamati wajahnya yang sudah tak sepucat tadi.

“Beneran nggak perlu kupanggilkan dokter?” Langit memperjelas pertanyaan.

Kepala Bumi menggeleng, lalu netra hitamnya menyudut iris mata Langit. Masih ada, ada sesuatu yang membuatnya tampak tak menyukai keberadaan Langit.

“Nggak perlu,” jawab Bumi singkat.

“Hmmm,” keras kepala, batin Langit bergumam.

“Capek saja, dari pagi aku antar pesanan, tadi malam begadang,” kata Bumi. Kalimat yang lumayan panjang untuk Bumi yang sangat irit kata.

“Oh.” Langit manggut-manggut.

Pandangan Langit beredar, tertumpu pada meja kecil depan keduanya dengan laptop yang kondisinya masih terbuka. Pertanyaan yang harusnya bisa langsung ditanyakan tapi urung keluar dari bibir Langit. Terlalu banyak ingin tahu yang mungkin, bisa jadi Bumi malah tidak suka Langit menanyainya. Netra Langit beradu dengan mata Bumi. Lagi-lagi ada ketidaksukaan di sana. Ada apa bumi? Bukankah mereka belum pernah kenal sebelumnya? Kenapa?

@@@

Bumi POV

Gunungan capek membuat tubuhku tak mau kompromi. Pesanan bunga yang datang beruntun, harus diantar semuanya dan membantu Pakde Tejo karena anak majikannya bakalan menetap di rumah utama. Bukan rumah, sih, lebih tepatnya villa dengan segenap kemewahannya dibandingkan dengan banguan sederhana di desa seperti ini. Membuat pertahanan tubuhku yang setrong ambruk di titik nol. Pingsan. Ya, Tuhan! Ini memalukan sekali. Yang paling kusesalkan adalah pingsanku di depan Mas Langit! 

Awalnya aku mengantar sedikit pesanan krisan ke teman. Pulangnya rintik hujan dengan kabut itu berubah menderas. Hari hampir malam ketika kuputuskan untuk berteduh di sebuah gubuk. Secara aku tak bawa mantel. Tahukah pemirsa, ternyata di gubug itu telah ada Mas langit. Mau keluar lagi tak mungkin. Hujan menggila. akhirnya kuputuskan tetap berteduh di sana, dengan jaga jarak dan mulutku yang manyun tiada henti.

Kenapa juga bertemu dengan cowok brengsek ini? Setelah tadi aku nyaris jatuh karena mobilnya terlalu nyelonong ke kanan dan dompetku disanderanya. Dompet itu, yang membuatku bingung karena bolak balik sehabis mengantar pesanan kurunut di jalanan. Mungkin saja orang membuangnya setelah mengambil rupiah di dalamnya. Tak ketemu juga. Aku sudah pasrah saja setelah kuputuskan untuk membolokir atm supaya tetap aman.

Ternyata dompet itu ditemukan Mas langit. Mas Langit lagi, Mas Langit lagi. Berteduhpun bersama Mas Langit. Ingin protes tapi kebetulan selalu saja membuatku kesal tiada tara.

Air hujan membuat persendian ngilu, dingin. Kepalaku mulai pusing, tapi gengsi. Kutahan-tahan, kusadari tubuhku mulai menggigil saat akhirnya Mas Langit menyerahkan jaket jinsnya untukku setelah kemeja flanelku kulepas saking basahnya. Aku tahu banget netra Mas Langit beberapa kali memperhatikanku. Beberapa kali pula aku memergokinya sedang menelanjangiku dengan mata elangku utuh. Uh, aku tak suka. 

Cara ia memandang membuat kebencianku selalu muncul bila berhadapan dengannya. Padahal aku belum pernah kenal dia sebelumnya. Hanya kuketahui dari cerita pakde yang telah berpuluh tahun bekerja pada papanya Mas Langit. Mataku memburam membuatku diam saja ketika ia mendekat dan menarik kepalaku di bahunya. Aku merasa lemas. Tapi kukuat-kuatkan. 

Akhirnya reda juga titik bayu yang turun dari langit, aku harus segera balik. Sayang, motor jadulku macet! Sungguh kesialan beruntun. Kesalnya lagi Mas Langit memaksa untuk mengantarkanku. Tak ada pilihan lain setelah ia pasrahkan motor ke Pakde Tejo. Wes embuhlah, aku tak bisa mikir. Nggak suka, tapi tak ada jalan lain, kecuali nurut waktu Mas Langit akhirnya mengantar sampai ruko sekaligus rumahku kecilku ini. Ia ingin mampir. Sebetulnya aku malas, tapi tak enak rasanya. Ia sudah mau mengantar, masa mampir saja tak kubolehin, sih? Akhirnya kupersilakan di masuk, meski kepalaku sudah pening sekali, dan yakin wajahku sudah pucat tak tentu arah.

Dan inilah yang terjadi, tubuhku sudah lemas sekali. Mataku mulai berkunang. Tanpa kusadari tubuhku melorot dan pandanganku berubah jelaga. Aku pingsan di pinggir pintu garasi. 

Saat sadar, Mas Langit sudah ada di depanku. Kekhawatiran terlihat jelas di mukanya. Aku terbangun. Mencoba mengingat apa yang terjadi dalam sepersekian detik. Untunglah aku mengingatnya. Ah, agak menyesal juga aku begitu cuek padanya. Nyatanya, ia begitu baik padaku. Hanya saja, tiap kulihat netranya, kenapa kebencian itu muncul. Kenapa ya Tuhan?

Padahal dia begitu sabar menungguku untuk berganti pakaian. Meskipun dimintanya tak mandi. Bagaimana mungkin? Seharian aku kemana-mana, rambutku basah oleh air hujan. Mending aku mandi. Saat keluar kamar mandi, masih kulihat Mas Langit setia menungguiku. Mungkin ia khawatir aku bakal pingsan lagi. Untunglah tak seperti itu. 

Kami berhadapan di depan pintu kamar. Saling bertatapan, dan langsung kutundukkan wajahku. Netranya mampu membunuhku andai aku tak mengalah. 

Beberapa helai anak rambutku disibakkannya ke belakang, lalu tangannya ke leher belakang. Sumpah aku meremang. Mungkinkah ia akan... ah, otakku terlalu mesum. Aku menikmatinya. Namun, tubuh menegang dengan sendirinya. Mundur beberapa langkah dan membuat Mas Langit terpaku ketika kulangsirkan kedua tangannya dari leher serta daguku. Aku bisa khilaf kalau tak mengihindarinya. 

Sekarang, kami duduk di karpet depan sofa. Sofaku basah karena tadi dibaringkan di situ oleh Mas Langit. Keheningan memuncak. Aku bingung mau ngomong apa. Mas langit yang biasanya ngomong duluan hanya diam. Kusodorkan remote TV, ia menyalakan TV, menayangkan berita yang kupikir isinya itu-itu saja.

Dari samping, kuamati. Sepagi tadi, aku tak begitu tertarik dengannya. Bagiku ia biasa saja. Makanya aku heran kenapa pakde dan bude begitu semangat kalau cerita tentang Mas Langit. Katanya orangnya tidak sombong walau CEO dan kaya. Wajahnya setampan cowok yang sering iklan wangi-wangian buat ketek. Haha, aku ngakak mendengarnya. Semoga saja tidak secakep Bon Jovi, aku bisa klepek-klepek kalau seperti itu. 

Ternyata lebih dari bayanganku, tak mudah mengungkapkan. Rahangnya kokoh, matanya kubilang tadi, setajam mata elang. Rambutnya agak gondrong, dengan hidung mancung. Kulit bersih dengan tubuh atletis, aku yakin tingginya lebih dari 175 cm. Aku saja 169 cm, hanya menyamai kupingnya. Pakaiannya juga sederhana, jins hitam dan kaos hitam, ditambah lagi jaket jins yang dipinjamkannya padaku dan sudah masuk keranjang rotan baju kotor depan kamar mandiku.

Tiba-tiba wajahnya menoleh, membuatku gelagapan.

@@@

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status