Share

Bab 7. Ciuman

Masih di Bumi POV

“Mau kopi?” tawarku menutup rasa salah tingkah yang hinggap begitu saja.

“Kuat bikinin aku kopi?” 

Pertanyaan yang sedikit menggoda, kan? Segera aku beranjak, tapi tanganku dicekal olehnya.

“Mau kemana?” 

“Bikin kopi,” jawabku linglung. Gimana sih ini orang? Terpaksa aku duduk kembali. 

“Kamu nggak papa? Beneran, nih?”  

Pertanyaan penuh kekhawatiran.

Tuhanku, bukannya sudah kubilang aku capek doang? Kenapa tak percaya dengan ucapanku?

“Aku baik saja,” sahutku tegas langsung menuju dapur. Untunglah Mas Langit hanya manggut-manggut dan segera kubuatkan kopi. Kulihat Mas Langit tetap mengikuti langkahku lewat ekor matanya.

“Kopi hitam?” tanyaku tertahan.

“Ya, sedikit gula,” jawabnya ringan.

Kepala kuanggukkan dan mulai kubuatkan kopi sesuai keinginannya. Sedangkan untukku sendiri cukup jahe hangat, andalan di kala tubuh remuk redam kecapekan. Sirup jahe tinggal kutuang dan kutambahkan air panas, tambah gula sedikit kalau dirasa kurang manis, sudah siap diminum.

Kusodorkan padanya yang langsung disambut hangat dan membaui aromanya dengan mata merem melek. Disesapnya sekali. Wedang jahe juga menentramkan tenggorokanku, hangat langsung merajai tubuh.

“Pahit,” ucapnya tersenyum memandangku. 

Ujung mulutku terangkat ke atas. Kubereskan laptop di meja kecil dekat sofa, membuat ruang di sana sehingga dapat digunakan Mas Langit menaruh cangkir kopinya serta cangkir wedang jaheku.

Jam dinding di atas TV berdentang 7 kali. Jam segini seharusnya aku sudah makan malam. Namun, tadi aku hanya bikin sup, sambal dan goreng tempe. Mana mungkin aku menghidangkan makanan super sederhanaku untuk seorang CEO seganteng Mas Langit?

Mau pesan makanan, hujan badai gini, kasihan kurir. Pas di rumah nggak ada camilan pula. Uwh, jadi tidak enak, nih. Namun, ada mi instan. Sodorin mi instan gitu? Atau, aku telpon Pakde Tejo saja biar menjemput Mas Langit. Biar makan malamnya tidak terlambat?

“Eng, kutelpon Pakde Tejo biar jemput Mas Langit?” ucapku ragu menatap Mas Langit yang kembali menyesap kopinya dalam-dalam. Pertanyaanku membuatnya terbatuk kecil dan menoleh cepat.

“Kau mengusirku?” 

Jawaban sekaligus pertanyaan yang menohok. Bukan maksudku....

“Eng... enggak, maksudku... ini saat makan malam. Nanti Mas Langit telat makan. Eng, atau makan sini?” jawabku sedikit menjelaskan. 

Senyum tersungging di bibirnya. 

“Tapi... aku cuma bikin sup,” sambarku cepat. Ya, gitu kan kebenarannya?

“Bolehhhh banget, aku memang lapar,” jawabnya melirikku.

“Oh!” gantian aku melongo.

“Aku bukan anak kecil lagi, tak perlu telpon Pakde Tejo segala,” lanjutnya kesal. 

Aku manggut-manggut mengiyakan, merasa tak enak sendiri. Baiklah, lebih baik kupanaskan dulu supnya. Nasiku aman, masih ada kerupuk terung di stoples.

Segera kupanaskan sup ceker sayur sederhanaku, sambal, tempe goreng yang kupanaskan sebentar di teflon. Ditambah kerupuk terung yang hanya tinggal 5 biji di toples. Kutata rapi di meja makan mungilku. 

“Yuk, makan dulu,” kataku yang langsung membuat Mas Langit beranjak dari karpet menuju kursi panjang yang memang hanya cukup untuk 2 orang. Kami duduk bersisian dan mulai makan. Kuambilkan nasi dan Mas Langit mengambil sendiri sayur serta lauk beserta kerupuk. Selanjutnya, mulai kusantap makananku dalam diam. 

Sama seperti Mas Langit. Satu kali suapannya lalu menatapku tajam. Matanya, aku benci. Kualihkan pandanganku ke piring. Aku tak mau melihatnya, sungguh.

“Pandai masak rupanya,” katanya membuatku mengerjapkan mata.

“Hmmm,” gumamku datar. Masakan rumahan. Dari kecil aku sudah dididik ibu bisa masak. 

“Serius, lho,” katanya lagi menahan lengan kananku yang akan memasukkan makanan ke mulut.

“Sagitarius,” jawabku asal. 

“Haha,” Mas Langit tergelak. Melepaskan tangannya dan kulanjutkan makanku cepat.

Demikian dengan Mas Langit, sampai nambah dia. Kok bisa, ya? Lapar atau enak? Entahlah, yang jelas aku suka dengan orang yang makan lahap karena masakanku. Tak lupa kuminum vitamin, biar tubuhku segera segar seperti sedia kala.

@@@

Author POV

Makan malam yang tak disangka itu membuat Langit tahu sisi lain Bumi. Sedingin apapun Bumi, ia dapat melihat kalau Bumi menyenangkan, hanya saja masih irit kata. Menjawab kalau ditanya, ngomong kalau memang benar-benar butuh ngomong. Langit, meskipun tak begitu suka banyak omong akhirnya mendominasi pembicaraan.

Keduanya kembali duduk di karpet, menonton televisi, setelah Bumi membereskan meja makan mungilnya. Hujan yang menggila di luar masih terus menggila. Padahal waktu tak bisa dikompromi. Hanya suara televisi yang terdengar, hening kembali menyapa.

“Bumi, kau....” Langit memulai pembicaraan.

“Eng...,” dalam waktu bersamaan, keduanya berbarengan ngomong. Akhirnya tertawa renyah berdua.

“Kamu dulu,” kata langit.

Bumi menggelengkan kepala, diam seperti biasa.

“Kamu sama siapa di sini?” tanya Elang penuh selidik.

“Sendiri,” jawab Bumi cepat. Namun mampu membuat Langit melongo beberapa saat lamanya.

“Orang tuamu?” tanya Langit kembali. 

“Di tempat lain.”

“Oh...,” jawab Langit manggut-manggut. 

“Nggak tinggal sama Pakde Tejo saja?” tanya Langit lagi. Gelengan kepala Bumi membuat Langit manggut-manggut kembali.

“Kenapa?”

“Eng... ditawarin sama Pakde, tapi akunya yang nggak mau. Mereka sudah kayak orang tuaku sendiri,” jawab Bumi lumayan panjang.

“Oh,” jawab Langit singkat.

Hujan makin mereda, sebenarnya Langit mau saja menginap tempat Bumi, tapi mana boleh, ngimpi kalik, ya. Keduanya ngobrol tidak jelas. Lebih tepatnya Langit yang banyak bicara. Bumi hanya mengangguk, menggeleng, tersenyum, sesekali menunduk. Sesederhana itu, tapi, mampu membuat jantung Langit berderap-derap menuju ujung tak jelas.

“Udah reda,” kata Bumi tertahan. Membuat Langit terbahak karenanya.

“Ngusir aku?” sahut Langit menggoda.

“Kalau perlu,” Bumi menjawab cuek.

Ya Tuhan, kenapa suaranya makin seksi saja di telingakuku? Batin langit yang hampir jantungan karenanya.

“Oke, makasih jamuan makan malamnya, Bumi. Aku bakal sering main sini, boleh?” ucap Langit to the point. Keduanya beranjak berdiri bersamaan. Sangat dekat saling berhadapan.

“Terserah,” dingin lagi. 

Langit ingin melotot tapi dinormalkan kembali. Ya ampun sedingin es inikah Bumi? Bumi sepertinya menyadari perkataannya.

“Oh, eh betewe makasih udah nolongin aku,” katanya pelan. Kembali menunduk melihat hujaman netra Langit yang selalu menyelam menuju ujung paling dasar hatinya. Hati? Fiuh, Bumi melepas udara dari hidungnya agak keras. Saat wajahnya diangkat, tepat saat itulah wajah Bumi di hadapannya. Agak menunduk, hidung keduanya menempel.

Bumi mematung, tatapan Langit membuatnya makin membeku. Langit melihat itu, ada kebencian di sana, tak berkurang walau ia dan bumi telah melalui perkenalan tanpa sengaja ini.

Tangan kanan Langit menyentuh leher jenjang bumi, ia dekatkan wajah oval semadu pasir itu mendekati wajahnya. Bibir mungil itu membuat Langit tak mampu menjauh, disentuhnya dengan bibirnya, ragu. Hanya kuluman sesaat. Masih dalam posisi semula, Bumi terlihat makin dingin, ia tak merespon apapun, matanya terpejam beberapa saat. Ketika kedua tangan Langit memegang kedua pipinya, melumat halus bibir mungil itu dengan sedikit paksaan. Tetap saja, kaku.

Tubuh Langit maju, merapat tubuh semampai Bumi. Tangan kirinya ke bawah memeluk pinggang Bumi, tangan kanannya menarik tengkuk Bumi mendekat. 

“Ah,” tak kuasa Bumi mendesah. Kuluman bibir Langit, cuaca dingin yang menggigit, membuatnya tak mampu menahan semua ini. Situasi kondisi yang susah ditolak. 

Kediaman dalam sentuhan yang sama-sama diharapkan namun ditolak Bumi. Lidah Langit mencoba membuka mulut Bumi. Saat terbuka sedikit, ia mulai mengoyak bagian dalam. Mengurai dan membelit lidah Bumi sepenuh rasa. Tak mampu menolak lagi, Bumi mulai memainkan perannya. Ditanggapinya ciuman Langit perlahan, ragu. Tapi, makin lama ia menikmatinya. Langit mengulum bibir bawah Bumi, bagian atas, menelisik bagian dalam perlahan, memainkannya dan Bumi mampu menyainginya dengan desahan. Ritmenya makin cepat. Keduanya hanyut dalam kediaman kenikmatan. 

Menelusur ke bawah, leher Bumi dipilih Langit, dimainkan lidahnya di sana. Menggigit, sedikit menghisap, dikecupnya dengan rasa sempurna. Ditatapnya Bumi dengan mata yang terus terpejam. 

“Mas... aku... ahhh,” desahan Bumi makin terdengar seksi. Ia ingin menolak tapi tubuhnya menerima semua sentuhan lembut Langit. Sekarang tangan Langit makin ke bawah, kedua gunung kembar Bumi yang menegang di ujung membuatnya tak mampu bertahan lagi. Diremasnya lagi dari luar yang hanya tertutup kaos dan bra. Menekannya, memelintirnya pelan, lalu meremas lagi secara melingkar. Ia kembali meremas, baru sekali....

“Ah, Mas..., cukup, a... aku...,” pelan Bumi menarik tangan Langit. Langit terkesiap.

“Sh*t, maaf,” kata Langit dengan mata berkabut. Bagian bawahnya terasa sesak. Ia tak mampu menguasainya. Tangan Bumi menahan tangan Langit di samping. Keduanya bertatapan lama. Seperti biasa, Bumi akhirnya menunduk, menggelengkan kepala beberapa kali. 

“Baiklah, aku pulang,” kata Langit dan mengangkat dagu Bumi.

“Maaf,” kata langit singkat, menyentuh bibir basah Bumi dengan jarinya perlahan. Ia menyesal membawa Bumi ke liarannya. Baru berapa jam mereka kenal? Layak kalau Bumi....

Bumi mundur, melangkah ke kamar. Keluar lagi membawa sweater hitam.

“Pakai ini, dingin di luar,” katanya sambil menyerahkannya ke Langit. Suasana jadi terasa canggung. Langit diam, ia masih berusaha menguasai dirinya sendiri. 

“Atau mau bawa pick up-ku?” tawarnya kemudian. 

Langit menggelengkan kepala, memakai sweater pemberian Bumi. Pas sekali di tubuh. Pasti kedodoran kalau dipakai Bumi.

“Hujan sudah reda, naik motor saja. Mana ponselmu?” tanya Langit. Bumi kelihatan heran, kemudian tersadar.

“A... aku lupa,” katanya terlihat panik.

“Kenapa?” tanya Langit bingung.

“Ponselku di jok motor,” jawaban yang membuat Langit tepuk jidat berkali-kali.

“Ya ampun Bumi! Teledornya!”

“Aku lupa tadi.. badanku nggak enak, a... aku,” suaranya yang bergetar, setengah panik, setengah kesal sendiri membuat Langit menahan tawa. Saat panik kenapa muka madu ini terasa membuat tubuhnya meremang kembali?

“Terus, kalau kamu entar kenapa-kenapa kamu gimana?” tanya Langit miring.

“Aku baik saja,” jawab Bumi, dingin kembali. Walau terlihat kalau wajahnya tak baik-baik saja.

“Yakin?” Langit memastikan.

Bumi mengangguk.

“Atau aku nginep sini?”

 Kalimat manis penggoda iman. Bumi melongo, lalu menggeleng secepatnya.

“Nggak!”

“Lalu?”

“Mas Langit pulang.” 

“Kalau aku nggak mau?” tubuh Langit maju. Bumi mundur selangkah, kesal.

“A... aku baik aja,” jawab Bumi bergetar.

“Awas kalau nggak baik-baik saja,” kata Langit tegas mengancam. Bumi mendengus keras.

“Motormu sudah diurus, biar ditaruh bengkel sekalian. Ponselmu aman di motor. Besok pagi aku ke sini,” kata Langit membuat Bumi melongo sekali lagi. Wajah polos itu mampu menggetarkan Langit.

“Ngapain?” pertanyaan Bumi yang membuat Langit kesal bukan main.

@@@

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status