Bumi menunduk. Dilepaskannya kungkungan itu perlahan, Langit mengikutinya, melepaskan wajah Bumi dari jemarinya.
Wajah bak madu itu mengangkat wajah. Mengawasi tiap inci wajah Langit. Dalam remang, Langit melihat sinar kebencian di iris hitam netra Bumi. Ia tahu, walau tak sekejam awal mereka bertemu. Kembali wajah Bumi menunduk. Langit mengangkat dagu gadis manis itu. Mendekatkan bibirnya ke bibir mungil yang kian membuatnya tak kuasa menolak hasrat kelelakiannya. Dalam sepersekian detik, ia melumatnya penuh rasa.
Begitu juga Bumi, ia menyambutnya. Meski kaku, Langit membuatnya lebih nyaman. Tubuh Langit meringsek makin dekat. Lidahnya bermain, membuka rongga mulut Bumi. Mengobrak abrik bagian dalam dengan jilatan, gigitan, sesekali menyesap gemas tanpa jeda. Ketika Bumi seolah tak mampu bernafas, ia melepaskannya. Namun, kembali dikulumnya bibir mungil itu dengan segenap jiwa. Panas!
Tangan kiri Langit menarik ma
Langit bertanya serius. Membalas tatapan Bumi dan mampu menundukkan wajah gadis itu. Tak butuh waktu lebih lama lagi, Langit tak kuasa menahan perasaan. Apalagi untuk mendiamkannya. Ngomong terus terang lebih baik, kan?“Bumi,” diangkatnya wajah Bumi. Kedua netra mereka beradu.“A... aku...,” kata Bumi bingung. Bergetar tak mampu mengucap apapun. Kenapa mulutnya terkunci?“Kau tak perlu menjawabnya sekarang.”“Tapi....”Langit menaruh telunjuknya di mulut Bumi. Langsung dijauhkan Bumi.“Aku nggak bisa,” lirih sekali suaranya.“Kenapa?” Langit menuntut jawaban.Bumi menunduk.“Karena mantan?” selidik Langit tapi justru membuat Bumi terhenyak.“Maksudmu?”“Ya, maksudku, kau tahu maksudku, kan?” Langit ganti bertanya. Mata Bumi membulat.“Ah, sudahlah. Sudah malam, aku harus pulang.&rd
Di dalam Langit mengacak rambutnya kesal dan marah jadi satu.Dara gila! Bagaimana bisa ia berani datang padaku hanya dengan kata minta maaf setelah nyata-nyata di luar dia...? Langit tak mampu melanjutkan pikirannya sendiri. Mungkin karena terlalu mencintainya. Sayang, ia tak bisa menerimanya. Walau Langit menyadari dirinya bukan lelaki bersih.Langit bergulat dengan perasaannya sendiri. Merutuki diri sendiri, kenapa ia begitu terpesona pada wanita seperti Dara, yang notabene suka dunia malam, foya-foya dan kehidupan yang tidak baik untuk seorang gadis. Sampai mamanya saja begitu bersikeras tetap mempertahankan hubungan Langit dengan Dara walau Langit sudah menutuskan untuk mengakhir semuanya. Mama akhirnya setuju setelah Adit sendiri bilang kalau kondisi Dara yang sebenarnya. Dengan lelaki yang pasti bukan Lagit!Dan bumi? Mungkinkah Bumi menyaksikan kejadian tadi bersama Dara. Tak hanya mungkin. Pasti melihat semua barusan. Oh, Langi
Suara Dara yang memanggil terdengar di telinga. Namun, kuacuhkan. Tak peduli lagi piring yang berantakan di lantai. Besok aku akan meminta maaf pada Bude Siti kalau piringnya kupecahkan satu. Meskipun rasanya tak perlu minta maaf juga untuk urusan sepele ini.Yang kumampu hanya berbalik arah, menuju motor. Aku ingin secepatnya pergi dari tempat Mas Langit.Setelah itu, kudengar suara Mas Langit memanggil berkali-kali. Jelas, suara Mas Langit tak mampu menghentikanku. Kujalankan motor cepat. Wes embuhlah. Rasanya ada yang mengiris-iris jiwa ini, ngilu rasanya. Dadaku sesak, air mata siap mengalir. Namun, tidak! Aku tak akan menangis untuk kejadian konyol seperti ini. Sayang air mataku menangisi hal yang tak jelas bagiku.Tak ada satupun yang ingin kulakukan selain ingin pergi menjauh. Kupikir semua lelaki sama saja. Kulajukan motor mengikuti naik turun jalanan dan kelokan tajam dengan genangan air mata, hanya genangan, bukan tumpahan. Aku tak
Hai, bab ini mengandung konten dewasa, ya. === Ada sesuatu yang berbeda, Bumi menarik bibirnya, mundur. Langit terkesiap. “Lebih baik Mas Langit pulang,” ujar Bumi pelan. Ia tak mau hanyut terjerat Langit, sungguh, walaupun ia begitu ingin. Langit terpana, menatap tak percaya. Bumi kembali dingin. Tarikan berat nafas keduanya hampir bersamaan. “Kau tak memaafkanku?” “Aku bukan siapa-siapa,” gumam Bumi. Sontak membuat Langit mendekat. “Bumi, aku....” Langit tak mampu menyelesaikan kalimatnya. “Aku ingin sendiri,” sahut Bumi teramat pelan. Langit menatap Bumi, mengangkat dagu gadis itu. Segera Bumi menarik diri, mundur selangkah. Tak ada yang perlu diperbincangkan lagi. Bumi hanya ingin sendiri. Seharusnya dari awal ia meminta Langit pulang, tidak dalam situasi di tengah-tengah begini. Bumi menyesali keputusannya. Sudah terlanjur. &
Mata Bumi membola, kemudian mengerjap beberapa kali. Huh! Bumi mengacak rambut ikalnya kesal. Apa urusannya? Ia tak pernah mengurusi urusan orang lain. Jadi bodo amat, kan? [Kau tak mau membalas pesanku?] Buat apa? [Tak mau angkat telponku?] Haha, bukan urusanmu! [Kau takut?] Maksudmu? [Jangan ganggu hubungan kami! Ingat itu!] Bodo amat! Bumi menutup ponselnya. Tak ada niat membalas pesan-pesan gila itu. Toh, buat apa juga? Ia benar-benar tak mengerti kenapa musti berhubungan lagi dengan wanita yang menyebalkan itu. Senyum sinis di bibir Bumi tersungging. Apa maksudnya? Kalau memang mau, sana buatmu. Aku juga nggak mau. Eh benarkah seperti itu? Bumi seolah bermonolog dengan diri sendiri. Meski apapun itu, ia belum merasa ingin berhubungan dengan lelaki lain. Dan pesan-pesan yang datang tadi benar-benar membuatnya tak habis pikir. Memangn
Hai, ada adegan dewasa, ya :)Selamat membaca...Masih di BUMI POVAku masih menatap tak percaya, kemudian melanjutkan merangkai bunga dengan santai. Ya, kubuat sesantai mungkin. Aku tak mau malah mengikuti permainan wanita di depan tokoku itu. Yakin sekali, ia memperhatikanku yang mencueki kehadirannya.“Hei!” katanya kesal melihat aku tak peduli akan kehadirannya.Hanya melirik, itulah yang kulakukan, menahan nafas dan mengeluarkannya perlahan.“Bumi, aku mau ngomong!” katanya hampir berteriak. Kudongakkan wajah kembali menatap iris matanya. Bajunya yang kekurangan bahan membuatku memiringkan senyuman. Dari dulu, ia tak berubah. Cantik, sih, semua orang mengakuinya, akupun mengakui. Bodinya bak gitar Spanyol, hidungnya mancung, wajahnya kinclong, nggak ada kekurangan urusan penampakan, tapi....“Bumi!” suaranya setengah meledak.“Mau pesan bunga?” tanyaku tak acuh.
Terdapat adegan dewasa, ya.Selamat membaca.“Kau menyukainya?” tanya Langit. Tak bergeming.“Bumi!”“Aku nggak tahu,” jawab Bumi, tapi ia mengeratkan pelukan Langit.“Kita pacaran!” tegas Langit yang langsung membuat Bumi merenggangkan pelukan.“Mas.” Bumi hendak protes. Tapi telunjuk Langit segera menutup mulut mungilnya.“Nggak ada penolakan!”Digandengnya tangan Bumi menuju meja makan.“Kita makan dulu, aku lapar menahan diri lihat kamu,” ujar Langit kembali menatap Bumi tanpa kedip. Mau tak mau Bumi ikut duduk, berpangku tangan bingung. Ia masih kenyang dan merasa canggung dengan kejadian barusan.“Temenein aku saja,” pinta Langit, akhirnya Bumi mengangguk. Menatap gerak gerik Langit saat mengambil nasi, mengambil lauk, lalapan dan sambal. Kemudian makan dengan semangat. Kadang, Lang
Author POV Langit terus terlelap, sedangkan Bumi duduk lesehan di karpet dan mulai serius mengetik. Sesekali ia menoleh ke Langit, kemudian fokus lagi ke laptop. Mata yang berat membuatnya mulai tak fokus. Diselesaikannya 2 buah artikel dan langsung dikirim melalui email. “Done,” bisiknya segera mematikan laptop. Melihat layar ponsel dan membalas beberapa chat dengan cepat. Dingin yang menyeruak membuatnya sedikit menarik selimut besar yang dipakai Langit. Menutupi tubuh dan matanya mulai terpejam. Dengan kepala disandarkan di sofa, tepat di bagian pinggang Langit. Kakinya berselonjor begitu saja. Tak butuh lama, Bumi langsung tertidur nyenyak, dengan posisi tak enak yang nyaman saja dalam kondisi ngantuk berat. Menjelang mentari muncul, kebekuan hadir tanpa ampun. Netra Langit membuka perlahan. Awalnya biasa saja, kemudian menatap nanar sekeliling, tampak berpikir jernih, menyatukan nyawa. Melihat ke samping kanan, dan melotot mendapa