Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja.
Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta.
Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu.
Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun.
Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan.
"Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Mari mampir di sini ya
Suara dentingan peluru yang silih berganti itu, tidak sedikit pun membuat gadis cantik, dengan tinggi badan 165cm dan rambut sebahu terurai lepas itu sedikitpun gentar. Dia terus menjepretkan cameranya ke setiap sudut tempat . Bahkan dengan berjingkat lincah dia mengambil gambar dari peristiwa yang terjadi saat itu. Dengan setengah berlari gadis itu, Arbia Siquilla, seorang jurnalis dari kantor terkenal di kotanya memburu berita tentang terjadinya pembunuhan dan perampokan di kawasan komplek dekat dia bekerja. Tanpa menghiraukan keselamatannya, dia terus meliput serangkaian peristiwa baku hantam antara tim pasukan khusus dari kepolisian dengan segerombolan mafia yang berbaju serba hitam-hitam. Ketika Arbia fokus mengambil gambar seseorang yang jauh di depannya, mengarahkan cameranya dan memotretnya dengan hasil sempurna,.tiba- tiba sebuah benda sudah menempel di pelipis kanannya. "Ah, sial...!" Rutuknya dalam hati menyadari situasi itu. Dari awal suda
Seminggu kepulangannya dari rumah sakit, Arbia istirahat total dirumah. Pekerjaannya diambil alih oleh rekan satu divisinya. Membutuhkan waktu berhari-hari bahkan bisa berminggu-minggu untuk memulihkan kondisinya. Seorang diri di rumah sebesar itu, hal yang sudah biasa oleh seorang Arbia. Semenjak 4 tahun yang lalu dia memutuskan pindah ke rumah peninggalan neneknya. Setelah hampir tujuh tahun hidupnya ia jalani tinggal di rumah sakit. Persembunyian yang sudah tidak asing. Baginya rumah sakit adalah rumah utamanya waktu itu. 3 hari selang orang tua dan neneknya meninggal, Arbia dirawat khusus di rumah sakit oleh seorang pksikiater khusus gangguan saraf. Di sana dia dititipkan oleh mendiang neneknya. Kondisi psikis Arbia waktu itu tidak begitu bagus. Karena bertubi-tubi dia mengalami musibah dan mala petaka. Kehilangan-demi kehilangan membuat mental anak umur 8 tahun kala itu down. Sempat kehilangan ingatannya waktu itu, Arbia menjalani perawatan khusus
Arbia kembali menyibakkan selimut yang ada di badannya. Ini sudah yang ke-3 kalinya. Wajahnya terlihat lebih dingin dan angkuh. Ada kemarahan yang begitu besar di bola matanya. Tatapannya tajam ke arah laki-laki yang ada di hadapannya. Tanpa berkedip dia terus memperhatikan laki-laki itu. Sedangkan pria itu, masih sibuk merapikan selimut yang menempel di badan Arbia. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, melihat raut muka gadis itu. Bahkan dia menggelengkan kepala menyadari betapa kerasnya sifat Arbia. "Seharusnya, kamu sudah pergi dari rumahku!" desis Arbia dengan bibir sinis. Laki-laki yang tak lain, kapten Axelle itu kembali mengumbar pesonanya. Dia tersenyum sambil menatap gadis itu. "Sudah seharusnya kan, kamu berterima kasih sebelum mengusirku!" timpalnya enteng. Arbia merasa diremehkan mendengar ucapan kapten Axelle. "Berterima kasih kamu bilang! Untuk apa? Seharusnya aku sudah membunuhmu ketika pertama kali bertemu!" serunya beringas, menahan lu
Mendengar suara tembakan, kapten Axelle bergegas masuk ke rumah Arbia. Tidak lupa sinyal GPS ponsel nya dinyalakan. Dia mengirim pembaruan informasi pada timnya. Di bukanya pintu rumah Arbia dengan hati-hati. Dengan sikap tenangnya inilah seorang Narendra Axelle, selalu berhasil menjalankan tugas. Dia bersama timnya selalu sukses. Dilihatnya Arbia meringkuk ketakutan di samping tangga rumahnya. Seluruh tubuhnya gemetaran. Sedangkan seseorang yang menembakkan pistol dengan peluru kematian itu, masih berjalan dengan tenang mendekati gadis muda itu. Dia belum menyadari kedatangan kapten Axelle. " Kenapa kamu harus ketakutan seperti ini, Arbi?" Mendengar nama kecilnya dipanggil, Arbia menoleh sesaat ke arah laki-laki itu. Ditatapnya dalam-dalam sosok mafia itu. Ada yang dia cari di sana. Dan dia merasa begitu familiar dengan nama panggilan itu. "Sebenarnya kamu ini siapa, kenapa kamu bisa tahu nama panggilanku waktu kecil?" Arka Abianta, sang mafi
3 minggu dari masa cutinya, Arbia sudah beraktivitas kembali. Tampak wajah cantiknya sudah memenuhi meja kerjanya hari ini. "Selamat datang kembali kak Arbi," sapa teman-temannya yang diiringi lambain tangannya, juga senyum manisnya. Memang agak berbeda penampilan baru Arbia hari ini. Lebih fresh dan sedikit feminim dengan berat badan Arbia yang sedikit menurun. Menambah gadis muda itu lebih cantik dan menarik. "Kak, Headline hari ini. Oh ya, kak Arbi dipanggil bos!" Suasana sibuk hari ini. Padahal baru pertama dia masuk. Baru saja pantatnya menyentuh kursi duduknya tapi sudah ada panggilan mendesak. Dia harus menghadap pimpinan direksi. "Ok! Aku segera datang." jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya dengan riang. Arbia Siquilla, terkenal reporter yang kritis dan keras kepala. Punya prinsip dan komit sesuai dengan pekerjaanya. Sekaligus gadis yang supel dan periang. Mudah bergaul dan membaur dengan teman-teman satu liftingnya. Tak heran kalau dia
Arbia mempercepat langkahnya ketika memasuki kawasan komplek di rumahnya. Setumpuk berkas yang di pondongnya hampir jatuh berserakan. Dia menengok ke arah kanan dan kiri. Ada kecemasan di raut mukanya yang cantik. Dia berjalan dengan tergesa. Tak sengaja dia menabrak seseorang yang bersinggungan jalannya. "Eh maaf, Saya tidak sengaja!" ucap Arbia sambil tangannya disatukan di depan dada. Tapi ketika dilihatnya orang yang ada di depannya, secepat kilat Arbia berlari sambil memeluk erat-erat berkas yang ada di tangannya. Dengan terengah Arbia terus berlari menyusuri jalan sepi itu. Satu tanganya merogoh tas kerjanya. Mecari-cari ponselnya. Agak susah dia menemukan posel di tasnya. Di belakang sosok itu mulai mendekat. Arbia dengan sekuat tenaga berusaha berlari menjauh dari orang itu. Orang yang seharian ini menerornya lewat telpon dan pesan. Pagi tadi, Arbia mendapatkam bukti berupa surat kabar tahun 2005 silam. Dia mengejar deadline nya untuk Headline y
Arbia tak menyangka, kalau dia benar-benar jatuh di pelukkan sang kapten. Begitu mudahkah? Rasanya baru kemarin dia sangat membenci laki-laki tampan itu. Terus bagaimana dengan ambisinya, mengungkap kasus pembunuhan kedua orang tuanya? Itu beda cerita. Kebenaran tetap harus diungkap. Kecupan itu mendarat mulus di kening Arbia. Pagi itu dengan gagahnya Axelle membukakan pintu buat tuan putrinya. Hari ini, hari pertama dia mengantar kekasihnya. Dari dalam ruangan kerja, karyawan riuh rendah bergosip. Pemandangan indah pagi ini, menjadi bahan gosipan mereka. Dengan langkah ringan Arbia memasuki tempat kerjanya. "Hemm-hem!" Mereka berdehem meledek Arbia. Arbia bukannya tidak tahu, tapi sengaja bersikap cuek bebek. "Udah ada yang move-on ni dari sang editor." Ledek mereka kompak. Ada senyum simpul di bibir sensual Arbia. Gadis itu menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya. Dia kembali membuka Headline kemarin. Setidaknya hari ini dia sudah bisa meng
Baru saja Arbia menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya, ponselnya bergetar. "Arbi!" Sang editor di jaringan telpon. "Iya, Pak!" jawabnya tegas. Semenjak kejadian kemarin yang di hotel Buana Arbia merasa canggung dan tidak nyaman dekat dengan bosnya. "Deadline, siaran langsung di Jl. Cempaka, pusat perbelanjaan mall, terjadi penyanderaan oleh teroris. Kamu cepat kesini, bawa camera perekam!" Secepat kilat Arbia menyambar cameranya. Tanpa menghiraukan pertanyaan teman-temannya. Tugas dari bosnya langsung merupakan tantangan tersendiri buat Arbia. Apalagi kalau sudah menyangkut perampokkan dan teroris itu adalah tantangan buat adrenalinnya. Tidak sampai 15 menit, Arbia sudah memarkirkan motor kebesarannya. Dengan tergesa dia berlari ke arah keramaian. Yang ternyata sudah banyak banget pihak polisi dan wartawan di sana. Matanya mengerjap nggak percaya melihat siapa yang ditodongkan pistol di pelipisnya. "Kapte