Share

Bab 3. DENDAM PRIBADI

Arbia kembali menyibakkan selimut yang ada di badannya. Ini sudah yang ke-3 kalinya. Wajahnya terlihat lebih dingin dan angkuh. Ada kemarahan yang begitu besar di bola matanya. Tatapannya tajam ke arah laki-laki yang ada di hadapannya. Tanpa berkedip dia terus memperhatikan laki-laki itu.

Sedangkan pria itu, masih sibuk merapikan selimut yang menempel di badan Arbia. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, melihat raut muka gadis itu. Bahkan dia menggelengkan kepala menyadari betapa kerasnya sifat Arbia.

"Seharusnya, kamu sudah pergi dari rumahku!" desis Arbia dengan bibir sinis. Laki-laki yang tak lain, kapten Axelle itu kembali mengumbar pesonanya. Dia tersenyum sambil menatap gadis itu.

"Sudah seharusnya kan, kamu berterima kasih sebelum mengusirku!" timpalnya enteng. Arbia merasa diremehkan mendengar ucapan kapten Axelle.

"Berterima kasih kamu bilang! Untuk apa? Seharusnya aku sudah membunuhmu ketika pertama kali bertemu!" serunya beringas, menahan luapan emosi di dadanya. Kapten Axelle terkekeh mendengar suara penuh kemarahan itu.

"Untuk alasan apa kamu mau membunuhku, Nona? Apa karena kamu mengira bahwa ayahku lah yang membuat kedua orang tuamu terbunuh?" Bukannya aku sudah bilang, tidak ada bukti yang memberatkan ayahku yang melakukan pembunuhan berencana itu. Kamu terlalu frontal." Axelle mengakhiri kalimatnya.

"Dasar licik! Itu sudah skenario dari orang-orang yang menjadi bagian organisasi ayahmu, kan!" 

"Huft," Axelle menarik nafas berat mendengar kata-kata pedas gadis itu. "Terserah kamu Nona. Aku hanya mengingatkan saja, jangan menjadikan satu bukti yang belum jelas kebenarannya untuk menghakimi bahkan menghukum seseorang!" Arbia tersentak sesaat mendengar kalimat terakhir Axelle. Laki-laki itu masih bersikap tenang.

"Kalau kamu mau mengungkap kebenaran kasus ayah kamu 15 tahun yang lalu, berusahalah untuk sembuh dengan cepat. Setelah itu kamu harus berjuang mengumpulkan bukti demi bukti untuk menghukum ayahku ke penjara."

Sekali lagi Arbia terhenyak. Lagi-lagi pria yang ada di hadapannya ini mampu membuat kudukknya meremang. Disisi lain, dia tergugah dengan tantangan sang kapten untuk mencari bukti bahwa ayahnya terbunuh oleh sekelompok mafia yang didalangi Soepomo Hardingrat. Ayah dari laki-laki yang ada di hadapannya. Mungkin cukup sulit untuk mengumpulkan bukti-bukti itu. Secara, kasus itu sudah 15 tahun silam.

"Bagaimana, Nona? Kamu mampu melakukannya? Kalau kamu tidak bisa mengumpulkan bukti itu, tuduhan kamu akan jadi fitnah. Ingat, ini kasus 15 tahun silam!" suara Axelle tajam. Arbia mengerjap sesaat. Dia menelan salivanya yang terasa pahit.

"Hati-hati dengan sikap frontalmu ini, Nona, bisa menjadi senjata makan tuan!" ucapan Axelle tajam dengan muka serius. Mukanya berubah tegang. Arbia meringis di hati, menyadari, laki-laki di depannya ini sedang menunjukkan siapa sesungguhnya dirinya.

Laki-laki itu beranjak dari hadapan Arbia. Menyambar jas yang sedari tadi tergantung di tempatnya. "Istirahat lebih awal! Jangan banyak berpikir! Dan jangan salah menilai orang, aku berbeda dengan ayahku!" ucapnya dengan diiringi senyum khasnya. Tetap mempesona. Tetapi Arbia tak acuh. Dia membuang muka ke samping, ketika Axelle mendekatkan mukanya dengan wajahnya.

Tak ada semenit, pintu sudah tertutup kembali. Bayangan kapten Axelle sudah menghilang. Arbia menghembuskan nafas berat. Tidak di pungkiri, dia mengagumi segala pesona seorang Axelle. Tapi kenapa harus dia, anak dari orang yang sudah membuat kedua orang tuanya terbunuh? 

Sesaat gadis muda itu memejamkan mata. Mencoba melupakan sejenak semua yang berperang di pikirannya. Seperti di alam mimpi ketika Arbia bisa menyaksikan ayah dan ibunya didorong ke dalam jurang dengan ketinggian yang sudah tidak bisa diukur. Arbia menjerit sekeras-kerasnya. Sampai pada akhirnya nafasnya tersengal.

"Uhuk-uhuk,!" Dengan nafas tersengal dan batuk-batuk kecil, Arbia mengumpulkan segala kekuatannya. Dia terbangun dari tidurnya dengan ter-engah.

"Ternyata hanya mimpi." gumamnya sambil menyeka keringat yang sudah membasahi keningnya. Diliriknya jam yang bertengger di meja, menunjukkan pukul 5 sore. Berkali-kali dia menarik dan menghembuskan nafas untuk menenangkan diri.

Memang benar, dia harus segera pulih. Perlahan tapi pasti, dia harus bisa mengumpulkan semua bukti-bukti pembunuhan ayah dan ibunya. Berita terakhir yang ia dengar tentang ayah kapten Axelle, bahwasannya mantan orang ternama itu sedang dirawat di rumah sakit Singapura karena penyakit Alzheimer. Sudah berlangsung hampir 3tahun. Semenjak turun tahta dari jabatannya, keluarga Axelle hijrah ke negara Singapura. Mereka menetap di sana.

Kapten Axelle, seorang kapten polisi yang bertugas memberantas gembong mafia sudah menduduki jabatan sekitar 2 tahun. Kapten polisi yang terbilang masih sangat muda. Mendapat prestasi dengan gemilang. Tinggal seorang diri jauh dari keluarganya.

Kalau memang benar, ayahnya tidak terlibat dalam kasus pembunuhan berantai, pasti ada organisasi di belakangnya yang ikut tersandung kasus ini.

Sejauh ini memang Arbia tidak bisa mempercayai setiap ucapan kapten Axelle  padahal faktanya memang benar tidak ada satupun bukti yang mengarah bahwa Soepomo Hardiningrat adalah dalang dari kasus pembunuhan berantai itu. Tapi ..., kertas wasiat yang ditinggalkan ayahnya adalah benda satu-satunya yang ia pegang. Meskipun itupun bukan bukti akurat. Bahwa di kertas itu terdapat foto Soepomo Hardiningrat bersama organisasinya. Disisi lain liputan ayahnya mengikrarkan, hukum Soepomo Hardiningrat seadil-adilnya. Ada apakah ini? apakah sebenarnya di belakang kasus itu ada kasus-kasus lain yang terjadi tanpa sepengetahuan ayah dari sang kapten? Entahlah, yang pasti buat sekarang ini, Arbia harus segera pulih dari kondisinya.

******

Dering ponselnya bergetar tatkala Arbia baru saja melepas sepatu high heelsnya dan menaruh di rak sepatunya.

"Hallo, siapa di sana?" tanyanya lugas karena yang tertera di layar ponselnya hanya nomor baru.

"Nona!" suara itu sudah tak asing lagi. Dahi Arbia mengernyit. "Dari mana dia dapat nomor ponselku?" gumamnya pelan. Dan segera mengiyakan panggilan itu.

"Dompet aku sepertinya tertinggal di tempat tidur kamu. Seingat aku,waktu meyelimuti kamu, aku taruh di meja lampu tidur." suara di seberang masih berkicau. Sambil bergegas ke kamarnya, Arbia mencari dompet sang kapten.

"Sepertinya tidak tertinggal di sini, Kapten! Karena dompet Anda tidak Saya temukan. Mungkin tertinggal disalah satu perempuan yang Anda kunjungi setelah dari rumah Saya!" Hei, Arbia, berani sekali mengucapkan kata-kata itu untuk laki-laki yang sudah menjadi super heronya.

"Huft!" suara dengusan itu terdengar kasar di seberang sana.

"Mau nyari masalah Nona, sudah cukup sehatkah badan kamu mau bertarung sama Aku? suara itu bernafas geregetan. Arbia terkekeh mengejek.

"Mari kita coba Kapten! jangan karena Saya perempuan, Anda memandang lemah Saya!" sambutnya menantang.

Sedang riang-riangnya mereka berkomunikasi, seolah-olah Arbia melupakan dendam pribadinya dengan anak dari tertuduh pembunuh ayah dan ibunya. Tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca dari lantai bawah.

"Prang-gg ...!"

Arbia tersentak kaget." Eh apa itu?" seraya bergegas menuruni anak tangga rumahnya yang langsung menghubungkan kamarnya dengan ruang keluarga di lantai bawah. Tanpa menghiraukan panggilan dari Axelle.

"Nona! ada apa?" Merasa tidak dihiraukan, kapten Axelle berlari dari kamarnya menyambar kunci mobilnya. Secepat kilat dia berlari menuju ke mobilnya. Suara Arbia yang berlari ke lantai bawahpun masih terdengar di telinganya. Sambungan ponsel masih terbubung.

Sedangkan Arbia terpana dengan mulut menganga tak percaya, melihat lampu gantung yang sudah bertahun-tahun bertengger di ujung plafon rumahnhya, bisa jatuh dan pecah berkeping-keping. Belum sempat dia menyadari apa sebenarnya yang terjadi, dia dikejutkan dengan kehadiran seseorang.

"Selamat bertemu kembali Nona Arbia! Reporter cantik dengan setumpuk prestasinya. Tapi sayang  gagal meliput berita tentang sekelompok mafia beberapa hari yang lalu. Masih ingat dengan Saya?" Laki-laki berbaju hitam dan bercadar itu datang mendekati dirinya dari balik pintu kamarnya. Arbia menelan salivanya dengan susah payah. Seketika kakinya gemetar. Terlebih menyadari, laki-laki yang mendekatinya itu memegang senjata . Di tangannya terdapat pistol.

"Arka Abianta!" suaranya bergetar mengucapkan nama itu. Laki-laki itu tergelak. Merasa bahagia, karena wanita cantik di depannya ini masih begitu sangat mengenalnya.

Sambil membuka penutup wajahnya. Arka semakin mendekati Arbia. Tampak wajah tampannya di bawah remang-remang lampu sudut yang menyinari mereka. Wajah Arbia sedikit memucat. Tapi dia berusaha setenang mungkin. Tercium aroma lembut dari badan sang mafia, membuat Arbia mendapatkan ketenangan kembali. Seolah mengenali aroma parfum itu, Arbia menghirupnya dalam-dalam.

"Mau apa kamu ke rumahku, Arka, begitu mudahnya kamu menemukan alamatku?" Dengan sebisa mungkin Arbia berbicara. Dia tidak menyadari kalau telpon genggamnya masih terhubung dengan sang kapten.

Lagi-lagi Arka terkekeh. Ada senyum simpul di sudut bibirnya. Seolah-olah menggambarkan bahwa dirinya bukanlah seorang mafia.

"Kita punya tujuan yang sama Nona! Alangkah baiknya kalau kita bekerja sama menjadi satu tim!" Belum begitu paham arah pembicaraan Arka, Arbia tersenyum sinis.

"Sepertinya kita tidak ada hubungan pertemanan Tuan Arka! Jadi saya rasa tidak ada kewajiban Saya menjadi teman Anda!" suara Arbia penuh penekanan membalas kata-kata Arka.

"Jangan khawatir Nona! Sebentar lagi kita akan menjadi teman. Dan Saya jamin akan melindungi Anda dari apapun." Arbia beringsut mundur. Menuruni anak tangga ketika dilihatnya Arka maju mendekat ke arahnya dengan masih memegang erat pistolnya.

"Mau apa kamu, jangan mendekat!" teriak Arbia nyaring. Terdengar di seberang telpon. Axelle yang sudah mengemudi mobilnya menarik gas dengan cepat mendengar teriakan Arbia.

"Nona kita punya tujuan yang sama! Menghancurkan orag-orang yang sudah membuat kita menderita di waktu kecil!"  ucapan yang penuh penekanan itu membuat Arbia berpikir keras. Apa sebenarnya maksud kata-kata itu? Dengan kuduk meremang pelan-pelan Arbia berusaha kabur dari laki-laki itu. Beringsut perlahan menuruni tangga. Tapi ...,

Dorrr ...

BERSAMBUNG

Ai

Ikuti terus ceritanya, ya

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status