Arbia kembali menyibakkan selimut yang ada di badannya. Ini sudah yang ke-3 kalinya. Wajahnya terlihat lebih dingin dan angkuh. Ada kemarahan yang begitu besar di bola matanya. Tatapannya tajam ke arah laki-laki yang ada di hadapannya. Tanpa berkedip dia terus memperhatikan laki-laki itu.
Sedangkan pria itu, masih sibuk merapikan selimut yang menempel di badan Arbia. Ada senyum tipis di sudut bibirnya, melihat raut muka gadis itu. Bahkan dia menggelengkan kepala menyadari betapa kerasnya sifat Arbia.
"Seharusnya, kamu sudah pergi dari rumahku!" desis Arbia dengan bibir sinis. Laki-laki yang tak lain, kapten Axelle itu kembali mengumbar pesonanya. Dia tersenyum sambil menatap gadis itu.
"Sudah seharusnya kan, kamu berterima kasih sebelum mengusirku!" timpalnya enteng. Arbia merasa diremehkan mendengar ucapan kapten Axelle.
"Berterima kasih kamu bilang! Untuk apa? Seharusnya aku sudah membunuhmu ketika pertama kali bertemu!" serunya beringas, menahan luapan emosi di dadanya. Kapten Axelle terkekeh mendengar suara penuh kemarahan itu.
"Untuk alasan apa kamu mau membunuhku, Nona? Apa karena kamu mengira bahwa ayahku lah yang membuat kedua orang tuamu terbunuh?" Bukannya aku sudah bilang, tidak ada bukti yang memberatkan ayahku yang melakukan pembunuhan berencana itu. Kamu terlalu frontal." Axelle mengakhiri kalimatnya.
"Dasar licik! Itu sudah skenario dari orang-orang yang menjadi bagian organisasi ayahmu, kan!"
"Huft," Axelle menarik nafas berat mendengar kata-kata pedas gadis itu. "Terserah kamu Nona. Aku hanya mengingatkan saja, jangan menjadikan satu bukti yang belum jelas kebenarannya untuk menghakimi bahkan menghukum seseorang!" Arbia tersentak sesaat mendengar kalimat terakhir Axelle. Laki-laki itu masih bersikap tenang.
"Kalau kamu mau mengungkap kebenaran kasus ayah kamu 15 tahun yang lalu, berusahalah untuk sembuh dengan cepat. Setelah itu kamu harus berjuang mengumpulkan bukti demi bukti untuk menghukum ayahku ke penjara."
Sekali lagi Arbia terhenyak. Lagi-lagi pria yang ada di hadapannya ini mampu membuat kudukknya meremang. Disisi lain, dia tergugah dengan tantangan sang kapten untuk mencari bukti bahwa ayahnya terbunuh oleh sekelompok mafia yang didalangi Soepomo Hardingrat. Ayah dari laki-laki yang ada di hadapannya. Mungkin cukup sulit untuk mengumpulkan bukti-bukti itu. Secara, kasus itu sudah 15 tahun silam.
"Bagaimana, Nona? Kamu mampu melakukannya? Kalau kamu tidak bisa mengumpulkan bukti itu, tuduhan kamu akan jadi fitnah. Ingat, ini kasus 15 tahun silam!" suara Axelle tajam. Arbia mengerjap sesaat. Dia menelan salivanya yang terasa pahit.
"Hati-hati dengan sikap frontalmu ini, Nona, bisa menjadi senjata makan tuan!" ucapan Axelle tajam dengan muka serius. Mukanya berubah tegang. Arbia meringis di hati, menyadari, laki-laki di depannya ini sedang menunjukkan siapa sesungguhnya dirinya.
Laki-laki itu beranjak dari hadapan Arbia. Menyambar jas yang sedari tadi tergantung di tempatnya. "Istirahat lebih awal! Jangan banyak berpikir! Dan jangan salah menilai orang, aku berbeda dengan ayahku!" ucapnya dengan diiringi senyum khasnya. Tetap mempesona. Tetapi Arbia tak acuh. Dia membuang muka ke samping, ketika Axelle mendekatkan mukanya dengan wajahnya.
Tak ada semenit, pintu sudah tertutup kembali. Bayangan kapten Axelle sudah menghilang. Arbia menghembuskan nafas berat. Tidak di pungkiri, dia mengagumi segala pesona seorang Axelle. Tapi kenapa harus dia, anak dari orang yang sudah membuat kedua orang tuanya terbunuh?
Sesaat gadis muda itu memejamkan mata. Mencoba melupakan sejenak semua yang berperang di pikirannya. Seperti di alam mimpi ketika Arbia bisa menyaksikan ayah dan ibunya didorong ke dalam jurang dengan ketinggian yang sudah tidak bisa diukur. Arbia menjerit sekeras-kerasnya. Sampai pada akhirnya nafasnya tersengal.
"Uhuk-uhuk,!" Dengan nafas tersengal dan batuk-batuk kecil, Arbia mengumpulkan segala kekuatannya. Dia terbangun dari tidurnya dengan ter-engah.
"Ternyata hanya mimpi." gumamnya sambil menyeka keringat yang sudah membasahi keningnya. Diliriknya jam yang bertengger di meja, menunjukkan pukul 5 sore. Berkali-kali dia menarik dan menghembuskan nafas untuk menenangkan diri.
Memang benar, dia harus segera pulih. Perlahan tapi pasti, dia harus bisa mengumpulkan semua bukti-bukti pembunuhan ayah dan ibunya. Berita terakhir yang ia dengar tentang ayah kapten Axelle, bahwasannya mantan orang ternama itu sedang dirawat di rumah sakit Singapura karena penyakit Alzheimer. Sudah berlangsung hampir 3tahun. Semenjak turun tahta dari jabatannya, keluarga Axelle hijrah ke negara Singapura. Mereka menetap di sana.
Kapten Axelle, seorang kapten polisi yang bertugas memberantas gembong mafia sudah menduduki jabatan sekitar 2 tahun. Kapten polisi yang terbilang masih sangat muda. Mendapat prestasi dengan gemilang. Tinggal seorang diri jauh dari keluarganya.
Kalau memang benar, ayahnya tidak terlibat dalam kasus pembunuhan berantai, pasti ada organisasi di belakangnya yang ikut tersandung kasus ini.
Sejauh ini memang Arbia tidak bisa mempercayai setiap ucapan kapten Axelle padahal faktanya memang benar tidak ada satupun bukti yang mengarah bahwa Soepomo Hardiningrat adalah dalang dari kasus pembunuhan berantai itu. Tapi ..., kertas wasiat yang ditinggalkan ayahnya adalah benda satu-satunya yang ia pegang. Meskipun itupun bukan bukti akurat. Bahwa di kertas itu terdapat foto Soepomo Hardiningrat bersama organisasinya. Disisi lain liputan ayahnya mengikrarkan, hukum Soepomo Hardiningrat seadil-adilnya. Ada apakah ini? apakah sebenarnya di belakang kasus itu ada kasus-kasus lain yang terjadi tanpa sepengetahuan ayah dari sang kapten? Entahlah, yang pasti buat sekarang ini, Arbia harus segera pulih dari kondisinya.
******
Dering ponselnya bergetar tatkala Arbia baru saja melepas sepatu high heelsnya dan menaruh di rak sepatunya.
"Hallo, siapa di sana?" tanyanya lugas karena yang tertera di layar ponselnya hanya nomor baru.
"Nona!" suara itu sudah tak asing lagi. Dahi Arbia mengernyit. "Dari mana dia dapat nomor ponselku?" gumamnya pelan. Dan segera mengiyakan panggilan itu.
"Dompet aku sepertinya tertinggal di tempat tidur kamu. Seingat aku,waktu meyelimuti kamu, aku taruh di meja lampu tidur." suara di seberang masih berkicau. Sambil bergegas ke kamarnya, Arbia mencari dompet sang kapten.
"Sepertinya tidak tertinggal di sini, Kapten! Karena dompet Anda tidak Saya temukan. Mungkin tertinggal disalah satu perempuan yang Anda kunjungi setelah dari rumah Saya!" Hei, Arbia, berani sekali mengucapkan kata-kata itu untuk laki-laki yang sudah menjadi super heronya.
"Huft!" suara dengusan itu terdengar kasar di seberang sana.
"Mau nyari masalah Nona, sudah cukup sehatkah badan kamu mau bertarung sama Aku? suara itu bernafas geregetan. Arbia terkekeh mengejek.
"Mari kita coba Kapten! jangan karena Saya perempuan, Anda memandang lemah Saya!" sambutnya menantang.
Sedang riang-riangnya mereka berkomunikasi, seolah-olah Arbia melupakan dendam pribadinya dengan anak dari tertuduh pembunuh ayah dan ibunya. Tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca dari lantai bawah.
"Prang-gg ...!"
Arbia tersentak kaget." Eh apa itu?" seraya bergegas menuruni anak tangga rumahnya yang langsung menghubungkan kamarnya dengan ruang keluarga di lantai bawah. Tanpa menghiraukan panggilan dari Axelle.
"Nona! ada apa?" Merasa tidak dihiraukan, kapten Axelle berlari dari kamarnya menyambar kunci mobilnya. Secepat kilat dia berlari menuju ke mobilnya. Suara Arbia yang berlari ke lantai bawahpun masih terdengar di telinganya. Sambungan ponsel masih terbubung.
Sedangkan Arbia terpana dengan mulut menganga tak percaya, melihat lampu gantung yang sudah bertahun-tahun bertengger di ujung plafon rumahnhya, bisa jatuh dan pecah berkeping-keping. Belum sempat dia menyadari apa sebenarnya yang terjadi, dia dikejutkan dengan kehadiran seseorang.
"Selamat bertemu kembali Nona Arbia! Reporter cantik dengan setumpuk prestasinya. Tapi sayang gagal meliput berita tentang sekelompok mafia beberapa hari yang lalu. Masih ingat dengan Saya?" Laki-laki berbaju hitam dan bercadar itu datang mendekati dirinya dari balik pintu kamarnya. Arbia menelan salivanya dengan susah payah. Seketika kakinya gemetar. Terlebih menyadari, laki-laki yang mendekatinya itu memegang senjata . Di tangannya terdapat pistol.
"Arka Abianta!" suaranya bergetar mengucapkan nama itu. Laki-laki itu tergelak. Merasa bahagia, karena wanita cantik di depannya ini masih begitu sangat mengenalnya.
Sambil membuka penutup wajahnya. Arka semakin mendekati Arbia. Tampak wajah tampannya di bawah remang-remang lampu sudut yang menyinari mereka. Wajah Arbia sedikit memucat. Tapi dia berusaha setenang mungkin. Tercium aroma lembut dari badan sang mafia, membuat Arbia mendapatkan ketenangan kembali. Seolah mengenali aroma parfum itu, Arbia menghirupnya dalam-dalam.
"Mau apa kamu ke rumahku, Arka, begitu mudahnya kamu menemukan alamatku?" Dengan sebisa mungkin Arbia berbicara. Dia tidak menyadari kalau telpon genggamnya masih terhubung dengan sang kapten.
Lagi-lagi Arka terkekeh. Ada senyum simpul di sudut bibirnya. Seolah-olah menggambarkan bahwa dirinya bukanlah seorang mafia.
"Kita punya tujuan yang sama Nona! Alangkah baiknya kalau kita bekerja sama menjadi satu tim!" Belum begitu paham arah pembicaraan Arka, Arbia tersenyum sinis.
"Sepertinya kita tidak ada hubungan pertemanan Tuan Arka! Jadi saya rasa tidak ada kewajiban Saya menjadi teman Anda!" suara Arbia penuh penekanan membalas kata-kata Arka.
"Jangan khawatir Nona! Sebentar lagi kita akan menjadi teman. Dan Saya jamin akan melindungi Anda dari apapun." Arbia beringsut mundur. Menuruni anak tangga ketika dilihatnya Arka maju mendekat ke arahnya dengan masih memegang erat pistolnya.
"Mau apa kamu, jangan mendekat!" teriak Arbia nyaring. Terdengar di seberang telpon. Axelle yang sudah mengemudi mobilnya menarik gas dengan cepat mendengar teriakan Arbia.
"Nona kita punya tujuan yang sama! Menghancurkan orag-orang yang sudah membuat kita menderita di waktu kecil!" ucapan yang penuh penekanan itu membuat Arbia berpikir keras. Apa sebenarnya maksud kata-kata itu? Dengan kuduk meremang pelan-pelan Arbia berusaha kabur dari laki-laki itu. Beringsut perlahan menuruni tangga. Tapi ...,
Dorrr ...
BERSAMBUNG
Ikuti terus ceritanya, ya
Mendengar suara tembakan, kapten Axelle bergegas masuk ke rumah Arbia. Tidak lupa sinyal GPS ponsel nya dinyalakan. Dia mengirim pembaruan informasi pada timnya. Di bukanya pintu rumah Arbia dengan hati-hati. Dengan sikap tenangnya inilah seorang Narendra Axelle, selalu berhasil menjalankan tugas. Dia bersama timnya selalu sukses. Dilihatnya Arbia meringkuk ketakutan di samping tangga rumahnya. Seluruh tubuhnya gemetaran. Sedangkan seseorang yang menembakkan pistol dengan peluru kematian itu, masih berjalan dengan tenang mendekati gadis muda itu. Dia belum menyadari kedatangan kapten Axelle. " Kenapa kamu harus ketakutan seperti ini, Arbi?" Mendengar nama kecilnya dipanggil, Arbia menoleh sesaat ke arah laki-laki itu. Ditatapnya dalam-dalam sosok mafia itu. Ada yang dia cari di sana. Dan dia merasa begitu familiar dengan nama panggilan itu. "Sebenarnya kamu ini siapa, kenapa kamu bisa tahu nama panggilanku waktu kecil?" Arka Abianta, sang mafi
3 minggu dari masa cutinya, Arbia sudah beraktivitas kembali. Tampak wajah cantiknya sudah memenuhi meja kerjanya hari ini. "Selamat datang kembali kak Arbi," sapa teman-temannya yang diiringi lambain tangannya, juga senyum manisnya. Memang agak berbeda penampilan baru Arbia hari ini. Lebih fresh dan sedikit feminim dengan berat badan Arbia yang sedikit menurun. Menambah gadis muda itu lebih cantik dan menarik. "Kak, Headline hari ini. Oh ya, kak Arbi dipanggil bos!" Suasana sibuk hari ini. Padahal baru pertama dia masuk. Baru saja pantatnya menyentuh kursi duduknya tapi sudah ada panggilan mendesak. Dia harus menghadap pimpinan direksi. "Ok! Aku segera datang." jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya dengan riang. Arbia Siquilla, terkenal reporter yang kritis dan keras kepala. Punya prinsip dan komit sesuai dengan pekerjaanya. Sekaligus gadis yang supel dan periang. Mudah bergaul dan membaur dengan teman-teman satu liftingnya. Tak heran kalau dia
Arbia mempercepat langkahnya ketika memasuki kawasan komplek di rumahnya. Setumpuk berkas yang di pondongnya hampir jatuh berserakan. Dia menengok ke arah kanan dan kiri. Ada kecemasan di raut mukanya yang cantik. Dia berjalan dengan tergesa. Tak sengaja dia menabrak seseorang yang bersinggungan jalannya. "Eh maaf, Saya tidak sengaja!" ucap Arbia sambil tangannya disatukan di depan dada. Tapi ketika dilihatnya orang yang ada di depannya, secepat kilat Arbia berlari sambil memeluk erat-erat berkas yang ada di tangannya. Dengan terengah Arbia terus berlari menyusuri jalan sepi itu. Satu tanganya merogoh tas kerjanya. Mecari-cari ponselnya. Agak susah dia menemukan posel di tasnya. Di belakang sosok itu mulai mendekat. Arbia dengan sekuat tenaga berusaha berlari menjauh dari orang itu. Orang yang seharian ini menerornya lewat telpon dan pesan. Pagi tadi, Arbia mendapatkam bukti berupa surat kabar tahun 2005 silam. Dia mengejar deadline nya untuk Headline y
Arbia tak menyangka, kalau dia benar-benar jatuh di pelukkan sang kapten. Begitu mudahkah? Rasanya baru kemarin dia sangat membenci laki-laki tampan itu. Terus bagaimana dengan ambisinya, mengungkap kasus pembunuhan kedua orang tuanya? Itu beda cerita. Kebenaran tetap harus diungkap. Kecupan itu mendarat mulus di kening Arbia. Pagi itu dengan gagahnya Axelle membukakan pintu buat tuan putrinya. Hari ini, hari pertama dia mengantar kekasihnya. Dari dalam ruangan kerja, karyawan riuh rendah bergosip. Pemandangan indah pagi ini, menjadi bahan gosipan mereka. Dengan langkah ringan Arbia memasuki tempat kerjanya. "Hemm-hem!" Mereka berdehem meledek Arbia. Arbia bukannya tidak tahu, tapi sengaja bersikap cuek bebek. "Udah ada yang move-on ni dari sang editor." Ledek mereka kompak. Ada senyum simpul di bibir sensual Arbia. Gadis itu menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya. Dia kembali membuka Headline kemarin. Setidaknya hari ini dia sudah bisa meng
Baru saja Arbia menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya, ponselnya bergetar. "Arbi!" Sang editor di jaringan telpon. "Iya, Pak!" jawabnya tegas. Semenjak kejadian kemarin yang di hotel Buana Arbia merasa canggung dan tidak nyaman dekat dengan bosnya. "Deadline, siaran langsung di Jl. Cempaka, pusat perbelanjaan mall, terjadi penyanderaan oleh teroris. Kamu cepat kesini, bawa camera perekam!" Secepat kilat Arbia menyambar cameranya. Tanpa menghiraukan pertanyaan teman-temannya. Tugas dari bosnya langsung merupakan tantangan tersendiri buat Arbia. Apalagi kalau sudah menyangkut perampokkan dan teroris itu adalah tantangan buat adrenalinnya. Tidak sampai 15 menit, Arbia sudah memarkirkan motor kebesarannya. Dengan tergesa dia berlari ke arah keramaian. Yang ternyata sudah banyak banget pihak polisi dan wartawan di sana. Matanya mengerjap nggak percaya melihat siapa yang ditodongkan pistol di pelipisnya. "Kapte
Dari peristiwa itu, kapten Axelle menyempatkan diri, menjenguk Arka Abianta. Kali ini, dia bukan untuk menangkap seorang pimpinan mafia atau sejenisnya, tapi dia akan menjenguk karena sifat manusiawinya masih berjalan normal. Setidaknya, seandainya, waktu itu tidak ada Arka, mungkin dirinya sudah tak bisa bertemu dengan orang yang baru beberapa hari dipacarinya. Saat ini, Arbia Squilla, sedang memandangi wajah tirus yang mulai pias itu. Sudah hampir setengah jam dia duduk di sisi pembaringan rumah sakit itu. Tapi si empunya tempat tidur, belum juga sadar dari tidur panjangnya. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba menyeruak ke hati gadis muda ini. Dicobanya, mengingat kenangan masa kecilnya, yang benar-benar hilang dari memorinya. Padahal, sebagian masa lalunya waktu Sekolah Menengah Pertama, masih jelas terbayang dibenaknya. Ketika pertama kalinya, dia merasa suka pada kakak kelasnya, dan dari semenjak itu, Arbia tidak pernah ingin merasakan pacaran itu se
Pelukan itu seketika terlepas, tatkala terlihat seseorang itu berada tepat di depan pintu ruang rawat Arka Abianta. Baik Arka dan Arbi sama-sama terkejut mengetahui ada orang yang sudah berdiri diujung pintu. Dengan gugup, Arbi beranjak berdiri menyambut kedatangan orang yang sudah sangat dikenalnya itu. Sedangkan Arka sudah kembali bersikap normal setelah beberapa saat menguasai dirinya. Kapten Axelle, berjalan tegap ke arah Arka Abianta, pandangannya lurus ke depan tanpa menghiraukan keberadaan sang kekasih. Wajahnya terlihat begitu angkuh dan dingin. Arbia menelan salivanya, menyadari perubahan sikap sang kekasih. Dia yakin perubahan sikap Axelle dipicu rasa cemburu melihat dirinya berpelukan dengan Arka sang mafia. Tepat di depan pembaringan Arka, sang kapten berhenti, menatap wajah yang terlihat pias itu. Dengan masih bergeming, laki-laki bertubuh six-pack itu mengamati setiap pergerakkan yang dilakukan oleh sang mafia. Seorang mafia yang masih b
"Arbi! Tolong, Headline nya, Please ...! Suara itu terdengar dijaringan line telpon yang tersambung di meja kerja Arbia Siquilla. Suara yang terdengar menyentak dengan nada marah mutlak. Arbia hanya menarik nafas kesal. Bukannya dia nggak mau mengerjakan Headline itu dengan cepat, tapi dia sengaja mengulur waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti yang akurat, setelahnya baru dia akan meluncurkan Headline itu ke seluruh media surat kabar lengkap dengan bukti beserta orang-orang yang tersandung di dalamnya. "Dikejar deadline ya,Kak?" sapa OB yang sudah berada di sampingnya, menaruh segelas minuman dingin dan sekotak kecil dissert pesanannya. "Eh, Virza, makasih ya," sambil tangannya merogoh kantung sakunya dan menyelipkan selembar uang kertas berwarna merah ke tangan anak muda itu. Pemuda itu terkesiap dengan muka terkejut, tapi akhirnya tersenyum kalem. "Makasih ya, Kak." balasnya. Arbia hanya tersenyum tanpa menoleh, matanya fokus ke layar laptop yang ada