Share

Bab 5. KAPTEN VS EDITOR

3 minggu dari masa cutinya, Arbia sudah beraktivitas kembali. Tampak wajah cantiknya sudah memenuhi meja kerjanya hari ini.

"Selamat datang kembali kak Arbi," sapa teman-temannya yang diiringi lambain tangannya, juga senyum manisnya. Memang agak berbeda penampilan baru Arbia hari ini. Lebih fresh dan sedikit feminim dengan berat badan Arbia yang sedikit menurun. Menambah gadis muda itu lebih cantik dan menarik.

"Kak, Headline hari ini. Oh ya, kak Arbi dipanggil bos!" Suasana sibuk hari ini. Padahal baru pertama dia masuk. Baru saja pantatnya menyentuh kursi duduknya tapi sudah ada panggilan mendesak. Dia harus menghadap pimpinan direksi.

"Ok! Aku segera datang." jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya dengan riang. Arbia Siquilla, terkenal reporter yang kritis dan keras kepala. Punya prinsip dan komit sesuai dengan pekerjaanya. Sekaligus gadis yang supel dan periang. Mudah bergaul dan membaur dengan teman-teman satu liftingnya.

Tak heran kalau dia banyak yang menyenanginya, bahkan tak jarang teman-teman prianya sering menggodanya. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya ke meja pimpinan direksi.

"Selamat Pagi, Pak!" sapanya pada sosok pria yang terbilang masih muda tapi cemerlang dalam kariernya.

Pria yang membelakangi tempat berdirinya itu, segera membalikkan badan setelah mendengar suara Arbia.

Tampak pria berwajah tampan itu menebar senyum penuh pesonanya pada Arbia. Sesaat Arbia terpana. Dia menelan salivanya dengan susah payah. 

"Masih aja tampan cowok ini," desisnya pelan.

"Selamat datang kembali Arbi!" Semoga kamu tambah betah di sini." sapanya dengan gaya khasnya. Senyum sejuta pesona.

Arbia tersenyum getir. Oh oh, decak hatinya tak henti-hentinya mengagumi cowok yang duduk di depannya ini. Dia adalah alasan utama Arbia bekerja di kantor ini.

"Headline hari ini, tolong dikerjakan dengan cepat Arbi! Kita mengejar deadline. Dan lagi berita hari ini akan jadi trending topik. Kamu pasti antusias mengerjakannya." ucap kepala editor dengan ambisius. Arbia mengerutkan dahi. Agak heran melihat editornya hari ini kelihatan aneh.

Setelah beberapa menit di dalam ruangan kepala direksi, Arbia mulai mengejar deadline lagi hari ini.

Dia , Praditia Wicaksana, kepala editor tempat Arbia bekerja selama ini. Pria yang lahir 26 tahun yang lalu itu sudah hampir 5 tahun menjabat sebagai kepala direksi di sebuah tabloid terkenal.

Pesonanya yang begitu populer membuatnya digandrungi setiap kaum hawa. Termasuk Arbia. Sikap dingin terkadang hangatnya membuat para wanita semakin penasaran dan mengejarnya hanya untuk sekedar berfoto.

Arbia kadang menyerah menghadapi fans bosnya itu. Cewek berusia 23 tahun itu sering dibuat cemburu setengah mati oleh paran fans bosnya. Sudah menjadi rahasia umum kalau Arbia Siquilla adalah penggemar bosnya sendiri. Dikalangan karyawan yang lain, Arbia paling menonjol untuk hal menarik perhatian bosnya. Dan bukannya tidak tahu, Praditia Wicaksana bahwasannya dia diam-diam diidolakan oleh karyawannya sendiri. Seorang wanita muda,keras kepala, kritis dan periang. Cantik dan menonjol. Praditia selalu menunjuklan kejaimannya bila di hadapan wanita muda ini. Seolah-olah bahwa dia layak untuk dikejar.

"Kak, es kopinya! OB menaruh segelas kopi campur susu dipadu batu es di mejanya.

"Ok, thanks ya!" jawabnya sambil menyeruput minuman dinginnya. Matanya dari tadi tak henti-hentinya memicing di headline hari ini. Ada yang membuatnya terasa aneh dengan berita itu.

Beberapa kali dia baca dan dia pahami Headlinenya. Seperti berita yang sudah usang tapi dirilis kembali. Seolah ingat akan sesuatu, Arbia membuka brankasnya. Dan memadankan berita Headline hari ini dengan surat kabar yang ia terima tepatnya 2 minggu yang lalu. Berita 15 tahun yang lalu. Yang menyinggung kasus pembunuhan berantai ayah dan ibunya.

"Tidak mungkin! Siapa yang bikin berita hari ini? Matanya tak henti-henti melototi surat kabar itu. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak. Es kopinya ditaruh sembarang di meja. Tak lama kemudian dia sudah di ruang kepala direksi.

"Maaf, Pak! Hari ini siapa ya yang nulis Headline nya?" tanyanya tanpa basa-basi. Cowok bertubuh atletis itu memandang Arbia penuh makna. Dia menghentikan aktivitasnya. Lalu beranjak mendekati sofa di ruangannya. Di henyakkanya tubuhnya di sana.

"Kenapa Arbi? Apa ada yang dirasa aneh?" tanyanya santai sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Saya rasa itu berita usang yang diterbitkan lagi, Pak! Berita 15 tahun yang lalu, yang melibatkan kasus pembunuhan berantai." Jelasnya tandas.

"Dan lagi kalau mau nulis berita ini, apalagi dijadikan Headline, Script Writer harus punya nara sumbernya yang cukup valid." lanjutnya dengan keyakinan. Praditia, laki-laki yang lebih akrab disapa Paradita itu hanya tersenyum tipis. Senyum yang penuh misteri.

"Kamu jangan khawatir Arbia! Saya yakin Script writer ini sudah menemukan nara sumber yang benar-benar bisa dipercaya kevalidannya. Yang perlu kamu lakukan adalah, menggali sumber beritanya lebih lengkap lagi dan kembangkan menjadi Headline yang populer." ungkapanya masih dengan nada santai.

Arbia sedikit janggal dengan Headline hari ini. Apalagi melihat sikap editornya yang sedikit misterius.

Setelah beberapa lama berbincang membahas Headline hari ini, Arbia kembali ke meja kerjanya. Dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat.

Kembali dia pelajari Headlinenya. Ada sebuah nama yang Arbia simpan di otak kirinya. Mencoba mengingat-ingat nama itu nama siapa.

Zakaria Lawalata. Seorang yang memegang peranan penting di dalam anggota dewan, sekaligus punya organisasi ternama  komunitas mafia pembela jelata. Sebuah komunitas yang menjunjung dan mendahulukan kepentingan rakyat.

Pimpinan dari organisasi ini sendiri adalah Zakaria Lawalata. Yang namanya di telinga Arbia sebenarnya cukup familiar. Tapi Arbia lupa itu siapa? 

Di zaman 15 tahun yang lalu, organisasi mereka cukup menghebohkan. Bahkan sempat menyinggung kasus pembunuhan berantai yang menewaskan ayah dan ibunya. Sebenarnya memang ini kan yang Arbia harapkan. Suatu saat akan mencuat kembali berita yang sempat menghebohkan masyarakat di zamannya itu, dan dia akan dengan gampang mencari bukti-bukti tentang pembunuh ayah dan ibunya.

******

Jam makan siang sudah lewat sejam yang lalu. Arbia masih sibuk dengan deadlinenya hari ini. Dia tidak begitu menghiraukan riuh rendah yang tiba-tiba terdengar di luar gedung. Ruang kerjanya sendiri yang langsung terbubung dengan lobi tidak begitu mempengaruhi konsentrasinya bekerja.

Script yang ia tulis hari ini melanjutkan informasi Headline yang diberitakan hari ini. Setelah usai dengan hasil scriptnya, Arbia beranjak menuju ruang editor. Tapi dilihatnya pimpinan direksinya itu sudah muncul beberapa langkah di depannya.

"Arbi, Di luar ada apa ya kok berisik begitu?" tanyanya sambil mengancingkan jasnya. Arbia menoleh kearah pintu luar. Ia baru menyadari bahwa karyawan yang lain sudah tidak ada di di tempatnya.

Alih-alih penasaran sambil jalan menunju keluar. Pengen tahu sebenarnya apa yang terjadi, di sampingnya sang editor sudah berdiri menjajarinya.

"Kita lihat bersama!" ucap laki-laki tampan itu segera menggandeng Arbi keluar pintu lobi. Tapi teriakan sebagian karyawan terdengar bersahutan.

"Kak Arbi! Jangan mendekat!" Arbia mengurungkan kakinya menginjak lantai dasar. Diiringi praditia di sampingnya.

Terlihat tim khusus penjinak bom dari kepolisian berlarian menuju ruang lobi. Semua penghuni gedung itu heboh. Di beritakan terdapat bom di lantai dasar gedung majalah surat kabar milik Praditia Wicaksana.

Bahkan sang pemilik dan reporternya belum sempat mengetahui kondisi itu.

"Sial! Kita kecolongan, Pak!" ucap Arbia pelan di samping Praditia. Laki-laki dengan sejuta pesona itu bersikap tenang dan santai.

"Santai Arbia! Ada penyusup rupanya!" jawabmya enteng. Dilihatnya para tim penjinak bom itu masih sibuk menangani kasus itu. 

Seseorang yang sangat di kenal Arbia sedang membawa benda berdiameter 5 ×10 cm  itu keluar dari gedung lobi untuk dijinakkan. Semua karyawan menarik nafas lega setelah beberapa saat mereka merasakan ketegangan.

10 menit kemudian kondisi kembali seperti semula. Karyawan sudah kembali ke meja kerjanya masing-masing.

Di lantai dasar Arbia dan Praditia masih menunggu tim khusus penjinak bom. Dilihatnya kapten polisi yang sudah tak asing lagi di mata Arbia itu datang mendekat.

"Terima kasih Kapten atas kerja samanya. Maaf kalau Saya selaku pimpinan tidak menyadari adanya insiden ini!" Praditia berkata sambil menyalami kapten dari pimpinan tersebut. Sesaat sang kapten memandang lurus ke arah Arbia yang tepat bediri rapat di samping sang editor. 

Sang kapten, Narendra Axelle, membalas jabatan tangan itu dengan tersenyum bijak.

"Lain kali lebih waspada Pak! karena kita tidak tahu bahaya yang mengincar kita." ucapnya dengan tatapan menukik tajam kearah Arbia.

Arbia sempat jengah, tapi ditenangkannya kembali pikirannya. Semenjak kejadian feminim dengan Axelle, dia lostcontac dengan pria gagah itu.ada rasa malu dan lebih terkesan rasa bersalah terhadap kapten muda itu.

Hingga dia memilih menghindar atau lebih tepatnya menjauh dari laki-laki yang sempat menggetarkan hatinya waktu itu. Dia sendiri tidak banyak mengharap apa-apa dari laki-laki itu. Bahkan lebih berharap kasus pembunuhan ayah dan ibunya itu kalau bisa bukan Soepomo Hadiningrat pelakunya. Ayah dari sang kapten.

Arbia terhenyak sesaat ketika menyadari Axelle melewati tempatnya berdiri. Aroma wangi menguar dari tubuh laki-laki tampan itu. Sesaat Arbia terlena. Kemudian terhenyak oleh sentuhan di tangannya.

"Kita kembali keruang kerja lagi, Arbia." suara Praditia membuyarkan kebengongan Arbia. Sambil masih memandang tubuh kekar itu berlalu, Arbia menjawab. "Baik, Pak!"

Disisi lain, ada sepasang mata dengan pakaian serba hitam, memperhatikan mereka. Ada senyum khas yang terlukis di balik bibirnya yang tertutup.

BERSAMBUNG

Ai

Update lagi ya teman-teman, silahkan dibaca

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status