3 minggu dari masa cutinya, Arbia sudah beraktivitas kembali. Tampak wajah cantiknya sudah memenuhi meja kerjanya hari ini.
"Selamat datang kembali kak Arbi," sapa teman-temannya yang diiringi lambain tangannya, juga senyum manisnya. Memang agak berbeda penampilan baru Arbia hari ini. Lebih fresh dan sedikit feminim dengan berat badan Arbia yang sedikit menurun. Menambah gadis muda itu lebih cantik dan menarik.
"Kak, Headline hari ini. Oh ya, kak Arbi dipanggil bos!" Suasana sibuk hari ini. Padahal baru pertama dia masuk. Baru saja pantatnya menyentuh kursi duduknya tapi sudah ada panggilan mendesak. Dia harus menghadap pimpinan direksi.
"Ok! Aku segera datang." jawabnya sambil mengedipkan sebelah matanya dengan riang. Arbia Siquilla, terkenal reporter yang kritis dan keras kepala. Punya prinsip dan komit sesuai dengan pekerjaanya. Sekaligus gadis yang supel dan periang. Mudah bergaul dan membaur dengan teman-teman satu liftingnya.
Tak heran kalau dia banyak yang menyenanginya, bahkan tak jarang teman-teman prianya sering menggodanya. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya ke meja pimpinan direksi.
"Selamat Pagi, Pak!" sapanya pada sosok pria yang terbilang masih muda tapi cemerlang dalam kariernya.
Pria yang membelakangi tempat berdirinya itu, segera membalikkan badan setelah mendengar suara Arbia.
Tampak pria berwajah tampan itu menebar senyum penuh pesonanya pada Arbia. Sesaat Arbia terpana. Dia menelan salivanya dengan susah payah.
"Masih aja tampan cowok ini," desisnya pelan.
"Selamat datang kembali Arbi!" Semoga kamu tambah betah di sini." sapanya dengan gaya khasnya. Senyum sejuta pesona.
Arbia tersenyum getir. Oh oh, decak hatinya tak henti-hentinya mengagumi cowok yang duduk di depannya ini. Dia adalah alasan utama Arbia bekerja di kantor ini.
"Headline hari ini, tolong dikerjakan dengan cepat Arbi! Kita mengejar deadline. Dan lagi berita hari ini akan jadi trending topik. Kamu pasti antusias mengerjakannya." ucap kepala editor dengan ambisius. Arbia mengerutkan dahi. Agak heran melihat editornya hari ini kelihatan aneh.
Setelah beberapa menit di dalam ruangan kepala direksi, Arbia mulai mengejar deadline lagi hari ini.
Dia , Praditia Wicaksana, kepala editor tempat Arbia bekerja selama ini. Pria yang lahir 26 tahun yang lalu itu sudah hampir 5 tahun menjabat sebagai kepala direksi di sebuah tabloid terkenal.
Pesonanya yang begitu populer membuatnya digandrungi setiap kaum hawa. Termasuk Arbia. Sikap dingin terkadang hangatnya membuat para wanita semakin penasaran dan mengejarnya hanya untuk sekedar berfoto.
Arbia kadang menyerah menghadapi fans bosnya itu. Cewek berusia 23 tahun itu sering dibuat cemburu setengah mati oleh paran fans bosnya. Sudah menjadi rahasia umum kalau Arbia Siquilla adalah penggemar bosnya sendiri. Dikalangan karyawan yang lain, Arbia paling menonjol untuk hal menarik perhatian bosnya. Dan bukannya tidak tahu, Praditia Wicaksana bahwasannya dia diam-diam diidolakan oleh karyawannya sendiri. Seorang wanita muda,keras kepala, kritis dan periang. Cantik dan menonjol. Praditia selalu menunjuklan kejaimannya bila di hadapan wanita muda ini. Seolah-olah bahwa dia layak untuk dikejar.
"Kak, es kopinya! OB menaruh segelas kopi campur susu dipadu batu es di mejanya.
"Ok, thanks ya!" jawabnya sambil menyeruput minuman dinginnya. Matanya dari tadi tak henti-hentinya memicing di headline hari ini. Ada yang membuatnya terasa aneh dengan berita itu.
Beberapa kali dia baca dan dia pahami Headlinenya. Seperti berita yang sudah usang tapi dirilis kembali. Seolah ingat akan sesuatu, Arbia membuka brankasnya. Dan memadankan berita Headline hari ini dengan surat kabar yang ia terima tepatnya 2 minggu yang lalu. Berita 15 tahun yang lalu. Yang menyinggung kasus pembunuhan berantai ayah dan ibunya.
"Tidak mungkin! Siapa yang bikin berita hari ini? Matanya tak henti-henti melototi surat kabar itu. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak. Es kopinya ditaruh sembarang di meja. Tak lama kemudian dia sudah di ruang kepala direksi.
"Maaf, Pak! Hari ini siapa ya yang nulis Headline nya?" tanyanya tanpa basa-basi. Cowok bertubuh atletis itu memandang Arbia penuh makna. Dia menghentikan aktivitasnya. Lalu beranjak mendekati sofa di ruangannya. Di henyakkanya tubuhnya di sana.
"Kenapa Arbi? Apa ada yang dirasa aneh?" tanyanya santai sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Saya rasa itu berita usang yang diterbitkan lagi, Pak! Berita 15 tahun yang lalu, yang melibatkan kasus pembunuhan berantai." Jelasnya tandas.
"Dan lagi kalau mau nulis berita ini, apalagi dijadikan Headline, Script Writer harus punya nara sumbernya yang cukup valid." lanjutnya dengan keyakinan. Praditia, laki-laki yang lebih akrab disapa Paradita itu hanya tersenyum tipis. Senyum yang penuh misteri.
"Kamu jangan khawatir Arbia! Saya yakin Script writer ini sudah menemukan nara sumber yang benar-benar bisa dipercaya kevalidannya. Yang perlu kamu lakukan adalah, menggali sumber beritanya lebih lengkap lagi dan kembangkan menjadi Headline yang populer." ungkapanya masih dengan nada santai.
Arbia sedikit janggal dengan Headline hari ini. Apalagi melihat sikap editornya yang sedikit misterius.
Setelah beberapa lama berbincang membahas Headline hari ini, Arbia kembali ke meja kerjanya. Dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat.
Kembali dia pelajari Headlinenya. Ada sebuah nama yang Arbia simpan di otak kirinya. Mencoba mengingat-ingat nama itu nama siapa.
Zakaria Lawalata. Seorang yang memegang peranan penting di dalam anggota dewan, sekaligus punya organisasi ternama komunitas mafia pembela jelata. Sebuah komunitas yang menjunjung dan mendahulukan kepentingan rakyat.
Pimpinan dari organisasi ini sendiri adalah Zakaria Lawalata. Yang namanya di telinga Arbia sebenarnya cukup familiar. Tapi Arbia lupa itu siapa?
Di zaman 15 tahun yang lalu, organisasi mereka cukup menghebohkan. Bahkan sempat menyinggung kasus pembunuhan berantai yang menewaskan ayah dan ibunya. Sebenarnya memang ini kan yang Arbia harapkan. Suatu saat akan mencuat kembali berita yang sempat menghebohkan masyarakat di zamannya itu, dan dia akan dengan gampang mencari bukti-bukti tentang pembunuh ayah dan ibunya.
******
Jam makan siang sudah lewat sejam yang lalu. Arbia masih sibuk dengan deadlinenya hari ini. Dia tidak begitu menghiraukan riuh rendah yang tiba-tiba terdengar di luar gedung. Ruang kerjanya sendiri yang langsung terbubung dengan lobi tidak begitu mempengaruhi konsentrasinya bekerja.
Script yang ia tulis hari ini melanjutkan informasi Headline yang diberitakan hari ini. Setelah usai dengan hasil scriptnya, Arbia beranjak menuju ruang editor. Tapi dilihatnya pimpinan direksinya itu sudah muncul beberapa langkah di depannya.
"Arbi, Di luar ada apa ya kok berisik begitu?" tanyanya sambil mengancingkan jasnya. Arbia menoleh kearah pintu luar. Ia baru menyadari bahwa karyawan yang lain sudah tidak ada di di tempatnya.
Alih-alih penasaran sambil jalan menunju keluar. Pengen tahu sebenarnya apa yang terjadi, di sampingnya sang editor sudah berdiri menjajarinya.
"Kita lihat bersama!" ucap laki-laki tampan itu segera menggandeng Arbi keluar pintu lobi. Tapi teriakan sebagian karyawan terdengar bersahutan.
"Kak Arbi! Jangan mendekat!" Arbia mengurungkan kakinya menginjak lantai dasar. Diiringi praditia di sampingnya.
Terlihat tim khusus penjinak bom dari kepolisian berlarian menuju ruang lobi. Semua penghuni gedung itu heboh. Di beritakan terdapat bom di lantai dasar gedung majalah surat kabar milik Praditia Wicaksana.
Bahkan sang pemilik dan reporternya belum sempat mengetahui kondisi itu.
"Sial! Kita kecolongan, Pak!" ucap Arbia pelan di samping Praditia. Laki-laki dengan sejuta pesona itu bersikap tenang dan santai.
"Santai Arbia! Ada penyusup rupanya!" jawabmya enteng. Dilihatnya para tim penjinak bom itu masih sibuk menangani kasus itu.
Seseorang yang sangat di kenal Arbia sedang membawa benda berdiameter 5 ×10 cm itu keluar dari gedung lobi untuk dijinakkan. Semua karyawan menarik nafas lega setelah beberapa saat mereka merasakan ketegangan.
10 menit kemudian kondisi kembali seperti semula. Karyawan sudah kembali ke meja kerjanya masing-masing.
Di lantai dasar Arbia dan Praditia masih menunggu tim khusus penjinak bom. Dilihatnya kapten polisi yang sudah tak asing lagi di mata Arbia itu datang mendekat.
"Terima kasih Kapten atas kerja samanya. Maaf kalau Saya selaku pimpinan tidak menyadari adanya insiden ini!" Praditia berkata sambil menyalami kapten dari pimpinan tersebut. Sesaat sang kapten memandang lurus ke arah Arbia yang tepat bediri rapat di samping sang editor.
Sang kapten, Narendra Axelle, membalas jabatan tangan itu dengan tersenyum bijak.
"Lain kali lebih waspada Pak! karena kita tidak tahu bahaya yang mengincar kita." ucapnya dengan tatapan menukik tajam kearah Arbia.
Arbia sempat jengah, tapi ditenangkannya kembali pikirannya. Semenjak kejadian feminim dengan Axelle, dia lostcontac dengan pria gagah itu.ada rasa malu dan lebih terkesan rasa bersalah terhadap kapten muda itu.
Hingga dia memilih menghindar atau lebih tepatnya menjauh dari laki-laki yang sempat menggetarkan hatinya waktu itu. Dia sendiri tidak banyak mengharap apa-apa dari laki-laki itu. Bahkan lebih berharap kasus pembunuhan ayah dan ibunya itu kalau bisa bukan Soepomo Hadiningrat pelakunya. Ayah dari sang kapten.
Arbia terhenyak sesaat ketika menyadari Axelle melewati tempatnya berdiri. Aroma wangi menguar dari tubuh laki-laki tampan itu. Sesaat Arbia terlena. Kemudian terhenyak oleh sentuhan di tangannya.
"Kita kembali keruang kerja lagi, Arbia." suara Praditia membuyarkan kebengongan Arbia. Sambil masih memandang tubuh kekar itu berlalu, Arbia menjawab. "Baik, Pak!"
Disisi lain, ada sepasang mata dengan pakaian serba hitam, memperhatikan mereka. Ada senyum khas yang terlukis di balik bibirnya yang tertutup.
BERSAMBUNG
Update lagi ya teman-teman, silahkan dibaca
Arbia mempercepat langkahnya ketika memasuki kawasan komplek di rumahnya. Setumpuk berkas yang di pondongnya hampir jatuh berserakan. Dia menengok ke arah kanan dan kiri. Ada kecemasan di raut mukanya yang cantik. Dia berjalan dengan tergesa. Tak sengaja dia menabrak seseorang yang bersinggungan jalannya. "Eh maaf, Saya tidak sengaja!" ucap Arbia sambil tangannya disatukan di depan dada. Tapi ketika dilihatnya orang yang ada di depannya, secepat kilat Arbia berlari sambil memeluk erat-erat berkas yang ada di tangannya. Dengan terengah Arbia terus berlari menyusuri jalan sepi itu. Satu tanganya merogoh tas kerjanya. Mecari-cari ponselnya. Agak susah dia menemukan posel di tasnya. Di belakang sosok itu mulai mendekat. Arbia dengan sekuat tenaga berusaha berlari menjauh dari orang itu. Orang yang seharian ini menerornya lewat telpon dan pesan. Pagi tadi, Arbia mendapatkam bukti berupa surat kabar tahun 2005 silam. Dia mengejar deadline nya untuk Headline y
Arbia tak menyangka, kalau dia benar-benar jatuh di pelukkan sang kapten. Begitu mudahkah? Rasanya baru kemarin dia sangat membenci laki-laki tampan itu. Terus bagaimana dengan ambisinya, mengungkap kasus pembunuhan kedua orang tuanya? Itu beda cerita. Kebenaran tetap harus diungkap. Kecupan itu mendarat mulus di kening Arbia. Pagi itu dengan gagahnya Axelle membukakan pintu buat tuan putrinya. Hari ini, hari pertama dia mengantar kekasihnya. Dari dalam ruangan kerja, karyawan riuh rendah bergosip. Pemandangan indah pagi ini, menjadi bahan gosipan mereka. Dengan langkah ringan Arbia memasuki tempat kerjanya. "Hemm-hem!" Mereka berdehem meledek Arbia. Arbia bukannya tidak tahu, tapi sengaja bersikap cuek bebek. "Udah ada yang move-on ni dari sang editor." Ledek mereka kompak. Ada senyum simpul di bibir sensual Arbia. Gadis itu menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya. Dia kembali membuka Headline kemarin. Setidaknya hari ini dia sudah bisa meng
Baru saja Arbia menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya, ponselnya bergetar. "Arbi!" Sang editor di jaringan telpon. "Iya, Pak!" jawabnya tegas. Semenjak kejadian kemarin yang di hotel Buana Arbia merasa canggung dan tidak nyaman dekat dengan bosnya. "Deadline, siaran langsung di Jl. Cempaka, pusat perbelanjaan mall, terjadi penyanderaan oleh teroris. Kamu cepat kesini, bawa camera perekam!" Secepat kilat Arbia menyambar cameranya. Tanpa menghiraukan pertanyaan teman-temannya. Tugas dari bosnya langsung merupakan tantangan tersendiri buat Arbia. Apalagi kalau sudah menyangkut perampokkan dan teroris itu adalah tantangan buat adrenalinnya. Tidak sampai 15 menit, Arbia sudah memarkirkan motor kebesarannya. Dengan tergesa dia berlari ke arah keramaian. Yang ternyata sudah banyak banget pihak polisi dan wartawan di sana. Matanya mengerjap nggak percaya melihat siapa yang ditodongkan pistol di pelipisnya. "Kapte
Dari peristiwa itu, kapten Axelle menyempatkan diri, menjenguk Arka Abianta. Kali ini, dia bukan untuk menangkap seorang pimpinan mafia atau sejenisnya, tapi dia akan menjenguk karena sifat manusiawinya masih berjalan normal. Setidaknya, seandainya, waktu itu tidak ada Arka, mungkin dirinya sudah tak bisa bertemu dengan orang yang baru beberapa hari dipacarinya. Saat ini, Arbia Squilla, sedang memandangi wajah tirus yang mulai pias itu. Sudah hampir setengah jam dia duduk di sisi pembaringan rumah sakit itu. Tapi si empunya tempat tidur, belum juga sadar dari tidur panjangnya. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba menyeruak ke hati gadis muda ini. Dicobanya, mengingat kenangan masa kecilnya, yang benar-benar hilang dari memorinya. Padahal, sebagian masa lalunya waktu Sekolah Menengah Pertama, masih jelas terbayang dibenaknya. Ketika pertama kalinya, dia merasa suka pada kakak kelasnya, dan dari semenjak itu, Arbia tidak pernah ingin merasakan pacaran itu se
Pelukan itu seketika terlepas, tatkala terlihat seseorang itu berada tepat di depan pintu ruang rawat Arka Abianta. Baik Arka dan Arbi sama-sama terkejut mengetahui ada orang yang sudah berdiri diujung pintu. Dengan gugup, Arbi beranjak berdiri menyambut kedatangan orang yang sudah sangat dikenalnya itu. Sedangkan Arka sudah kembali bersikap normal setelah beberapa saat menguasai dirinya. Kapten Axelle, berjalan tegap ke arah Arka Abianta, pandangannya lurus ke depan tanpa menghiraukan keberadaan sang kekasih. Wajahnya terlihat begitu angkuh dan dingin. Arbia menelan salivanya, menyadari perubahan sikap sang kekasih. Dia yakin perubahan sikap Axelle dipicu rasa cemburu melihat dirinya berpelukan dengan Arka sang mafia. Tepat di depan pembaringan Arka, sang kapten berhenti, menatap wajah yang terlihat pias itu. Dengan masih bergeming, laki-laki bertubuh six-pack itu mengamati setiap pergerakkan yang dilakukan oleh sang mafia. Seorang mafia yang masih b
"Arbi! Tolong, Headline nya, Please ...! Suara itu terdengar dijaringan line telpon yang tersambung di meja kerja Arbia Siquilla. Suara yang terdengar menyentak dengan nada marah mutlak. Arbia hanya menarik nafas kesal. Bukannya dia nggak mau mengerjakan Headline itu dengan cepat, tapi dia sengaja mengulur waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti yang akurat, setelahnya baru dia akan meluncurkan Headline itu ke seluruh media surat kabar lengkap dengan bukti beserta orang-orang yang tersandung di dalamnya. "Dikejar deadline ya,Kak?" sapa OB yang sudah berada di sampingnya, menaruh segelas minuman dingin dan sekotak kecil dissert pesanannya. "Eh, Virza, makasih ya," sambil tangannya merogoh kantung sakunya dan menyelipkan selembar uang kertas berwarna merah ke tangan anak muda itu. Pemuda itu terkesiap dengan muka terkejut, tapi akhirnya tersenyum kalem. "Makasih ya, Kak." balasnya. Arbia hanya tersenyum tanpa menoleh, matanya fokus ke layar laptop yang ada
Hai ini jadwal Headline yang Arbia kerjakan akan diluncurkan. Gadis itu sudah bersiap dari pagi untuk menerbitkan Headlinenya. 5 menit yang lalu, dia mendapat telpon langsung dari sang kekasih, tidak bisa mengantar karena ada tugas mendadak di luar kota. Agak nyesek juga mendengar sang kapten meninggalkannya ke luar kota, meski nanti malam pun kalau tugasnya selesai juga bisa pulang ke rumah. Kapten Axelle, hari ini bertugas menangkap peneror disalah satu rumah petinggi negara yang masih berkaitan dengan kepemilikan senjata tajam dan kasus uang negara. Peneror itu anak dari pejabat itu adalah anak dibawah umur yang masih berusia 8 tahun, dan peristiwa ini sama persis yang dialami Arbia tatkala dia berumur segitu. "Drtttt ..." "Arbi! Apa kamu siap menerbitkan Headline kita hari ini?" "Siap, Pak! Tapi mungkin, Saya sedikit terlambat berhubung kendaraan Saya ada masalah!" seru Arbi menjawab telpon dari bosnya. Dia meliha
"Mama!" Teriak Arka sambil berlari menubruk wanita yang dia panggil mama itu. Pria muda itu mengguncang badan wanita separuh baya yang sedang berbaring di tempat tidur. Ada dokter dan perawat di sekelilingnya. Ada juga asisten rumah tangga yang sudah mengabdi lama di rumahnya. "Bi ...! Mama, kenapa? Kenapa Mama ada di tempat ini?" tanyanya pada asisten rumah tangga mamanya dengan panik. "Iya Den, nyonya sakit. Biar pak dokter saja yang menjelaskannya." jawab wanita yang sudah berumur sekita 50 tahunan itu. "Dok, ada apa dengan Mama, Saya?" Masih dengan kepanikan maksimal, Arka bertanya sama dokter yang entah kapan datangnya di situ, di rumah lamanya. "Nyonya Syailla, mengalami syok ringan, beliau pingsan. Tapi, jangan khawatir untuk sementara kita tunggu kesadaran." jelas dokter itu. "Syok ringan, Dok? Tapi mama, Saya dalam keadaan tidak sadar diri, bahkan kondisinya begitu lemah. Apa iya, cuma syok ringan?" Arka semakin garang melihat sikap d