Share

Bab 6. TENTANG RASA

Arbia mempercepat langkahnya ketika memasuki kawasan komplek di rumahnya. Setumpuk berkas yang di pondongnya hampir jatuh berserakan. Dia menengok ke arah kanan dan kiri. Ada kecemasan di raut mukanya yang cantik. Dia berjalan dengan tergesa. Tak sengaja dia menabrak seseorang yang bersinggungan jalannya.

"Eh maaf, Saya tidak sengaja!" ucap Arbia sambil tangannya disatukan di depan dada. Tapi ketika dilihatnya orang yang ada di depannya, secepat kilat Arbia berlari sambil memeluk erat-erat berkas yang ada di tangannya.

Dengan terengah Arbia terus berlari menyusuri jalan sepi itu. Satu tanganya merogoh tas kerjanya. Mecari-cari ponselnya. Agak susah dia menemukan posel di tasnya. Di belakang sosok itu mulai mendekat. Arbia dengan sekuat tenaga berusaha berlari menjauh  dari orang itu. Orang yang seharian ini menerornya lewat telpon dan pesan.

Pagi tadi, Arbia mendapatkam bukti berupa surat kabar tahun 2005 silam. Dia mengejar deadline nya untuk Headline yang ia kerjakan kemarin. Kasus 15 tahun silam, yang kini dilimpahkan padanya oleh Praditia selaku bosnya. Untuk diulas kembali supaya jelas dan gamblang. Dan benar  saja, ketika Headline itu mulai bergulir di media, orang-orang lama yang terlibat kasus serupa mulai menunjukkan taringnya.

Selain kasus pembunuhan berantai, organisasi 15 tahun silam terlibat kasus geng mafia dan kepemilikan senjata tajam. Di lain itu bergulir kasus suap juga. Entah siapa saja yang terlibat. Yang pasti di benak Arbia, Soepomo Hardiningrat-lah yang digadang-gadang oleh ayahnya sebagai pemimpin organisasi itu.

Berlari sekencang mungkin untuk menjauh dari si peneror, Arbia seperti orang yang membabi buta. Tangannya terus bergerak-gerak mencari nomor seseorang yang akan dihubunginya.

Tut ...

Jaringan telpon terhubung. Tapi ...

"Buk-kk! Akh ... " Arbia meringis. Dia menabrak seseorang lagi. Tapi kali ini, dia sangat mengenal  sosok yang ia tabrak. Wajahnya tiba-tiba memucat. Ada kepanikan di sana. Mundur beberapa langkah tapi di belakangnya, seseorang yang menerornya siap siaga. Dalam kebingungan itu,

"Hei! Jangan lari! Peneror itu lari berbalik arah setelah mengetahui sosok yang ada di depan Arbia. Arbia mengatur nafasnya yang tersengal. Dia terduduk sambil terus menepuk-nepuk dadanya.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya seseorang itu. Sekembalinya dari pengejaran yang tidak berhasil. Arbia menggeleng lemah. Nafasnya masih tersengal.

"Aku antar pulang." ucap pria itu lagi. Sambil membimbing tubuh Arbia berdiri.

Arbia menatap sosok itu dalam-dalam. "Hari ini, dia bisa sebaik ini. Entah besok, ekspresi apa lagi yang akan ia tunjukkan?"

"Jangan sentuh Aku!" teriak Arbia tiba-tiba. Sosok itu, Arka Abianta. Spontan melepaskan rangkulannya pada bahu Arbia. Dipandangnya cewek cantik itu dengan saksama.

"Sebegitu takutnya kamu sama Aku?" tanyanya kalem. "Apa kamu sudah melupakan Aku , Arbi?" Sesaat Arbia tersentak mendengar  pertanyaan Arka. Lamat-lamat dia mengamati wajah Arka.

"Adakah kita saling mengenal sebelumnya?" tanyanya sedikit gemetar dan beringsut mundur.

Arka! Sosok itu mulai menunjukkan muka serius. Dia menatap wajah Arbi dengan tajam.

"Kamu ingat cincin ini?" ucapnya seraya mengangkat 5 jarinya dan menunjuk jari  manisnya. "Ini! Ikatan cincin kita sewaktu kecil. Ingatkah kamu? Waktu kita bermain di taman. Aku memberimu cincin mainan berbentuk seperti ini. Aku adalah teman kecilmu. Yang sudah begitu lama mencarimu." suara itu memang milik Arka.

Arbia masih terpana. Seolah tak percaya. Benarkah dia punya teman semasa kecil? Karena efek trauma semasa kecilnya, sebagian ingatan Arbia hilang. Arbia mencoba mengingat masa-masa kecilnya. Sekilas bayangan dua orang anak kecil melintas di benaknya. Ada tawa riang dari bibir mereka. Berlari berloncatan dengan girangnya. Tapi Arbia tidak tahu siapa mereka.

Tiba-tiba kepalanya seperti ditikam pisau. Rasanya sakit sekali.

"Aukh-kh" Dia memegangi kepalanya yang bedenyut-denyut. Tubuhnya sempoyongan. Arka menangkap tubuh kecil itu.

"Arbi! Kamu tidak apa-apa, kan?" Suara panik Arka melihat Arbia kesakitan. 

"Jangan sentuh Dia!" Seketika Arka membalikkan badan menoleh ke arah suara itu. Dari arah yang berlawanan terlihat sosok laki-laki tegap melangkah ke arah mereka.

Kapten Axelle, dengan cepat menghampiri mereka.

"Lepaskan dia!" ucapnya sekali lagi sambil menarik tubuh Arbia ke dalam pelukannya.

"Sebaiknya kamu pergi sebelum anak buahku menangkap kamu! Ini kesempatan baik kamu!" Arka berdecih mendengar perkataan dari Axelle.

"Sampai kamu menyakitinya, aku akan bikin perhitungan denganmu!" Jari telunjuk Arka mengarah tepat di muka Axelle. Untuk selanjutnya pria itu sudah menghilang dari hadapan Axelle.

Axelle dengan sigap menggendong tubuh kecil Arbia. Gadis itu terkulai lemah digendongan sang kapten. Matanya samar-samar memperhatikan cowok tampan itu. Dan mengeratkan rangkulannya.

******

"Kenapa setiap pertemuan kita, kamu harus selalu dalam kondisi seperti ini?" ucapnya datar sambil merapikan selimut Arbia dan duduk di sisi pembaringan.

Arbia terbaring lemah. Tapi tatapanya teduh ke arah laki-laki yang selalu jadi super heronya itu. Sudah tak ada lagi untuk menghujat dan saling berdebat pendapat. Apalagi membenci. Yang sekarang Arbia rasakan, tubuhnya lelah sekali. Rasanya seperti tak punya tulang.

Sang kapten mendekatkan wajahnya. "Nggak bisakah setiap pertemuan kita jangan seperti ini? Kamu selalu terluka." bisik Axelle pelan.

Arbia menahan nafas kuat-kuat. Merasakan debar jantungnya yang tiba-tiba meletup. Ketika disadarinya wajah laki-laki itu begitu dekat. Hembusan nafas mereka menyatu. Ini untuk kedua kalinya situasi seperti ini.

"Arbia," bisiknya serak. Wajah mereka sudah menyatu. Axelle mulai menggila. Melupakan status dan kondisi. Diraihnya wajah gadis cantik itu. Dibelainya lembut. Disatukannya bibir itu dengan bibirnya. Disesapnya lembut penuh ketulusan.

Arbia terbuai. Melupakan tentang dendamnya. Tentang rasa bencinya yang begitu kuat. Semakin terpejam semakin dia menikmati sentuhan-sentuhan Axelle.

"Arbi," panggilnya disela-sela sesapannya. Arbia tidak menggubris suara serak itu. Semakin di lelapkannya perasaannya.

"Bolehkah aku menyukaimu?" Sesaat Arbia tersentak. Tapi hatinya sangat bahagia. Dan semakin dia menyesapkan rasanya yang sesungguhnya. Dilingkarkannya tangan mungilnya ke leher sang kapten. Laki-laki itu membenamkan perasaanya dipuncak keinginannya. Kota yang dingin itu, menjadi saksi hati yang bertaut antara benci dan cinta.

Satu jam kemudian,

Suara ponsel di atas nakas berdering. Axelle mengusap lembut kening Arbia. Gadis cantik itu terlelap sesaat.

"Arbi! bisiknya, usapannya turun membelai wajah yang tak pernah bosan dipandang itu.

"Hei!" sekali lagi diusapnya pipi itu.

"Hemm-mm," suaranya terdengar malas.

"Ponsel kamu berdering. Ada yang telpon." Dengan mata masih terpejam tangannya menggapai ponselnya di atas nakas. Axelle hanya tersenyum tipis melihat gadis yang tiba-tiba bersemayam dihatinya itu. Diraihnya ponsel itu lalu diletakkan di telinga sang gadis.

"Hallo, dengan siapa di sana?" Suara orang terkekeh mengejek di seberang telpon. Arbia agak terhenyak

"Nikmati malam terakhirmu bersama dia Nona, karena belum tentu besok kamu bisa menikmati hari-hari seperti ini lagi!" Spontan Arbia membelalakkan mata. Gerakan refleknya membuat Axelle yang bertelanjang dada bangkit mendekatinya.

"Kamu siapa? Mau apa? Dari siang kamu menggangguku terus, mau kamu apa?" Suara Arbia dalam kepanikan. Axelle merapikam selimut yang menempel di dada gadis itu. Punggung telanjangnya membuat Axelle menelan salavinanya.

"Ada apa? Siapa yang nelpon?" tanyanya sambil mendekap gadis itu. Arbia terguncang. Entah kenapa air matanya jatuh sendiri. 

"Tenang, tenang. Ada aku di sini." Usapannya di punggung gadis itu mampu membuat Arbia sedikit melunak.

"Ceritakanlah, ada apa?"

Akhirnya Arbia menceritakan awal mula kejadian hari ini. Bermula dia dilimpahkan tugas oleh pimpinan direksi untuk mengerjakan Headline yang bertajuk tentang kasus pembunuhan 15 tahun silam. Sampai pada hari ini dia menemukan berkas-berkas organisasi yang terlibat dengan kasus masa silam itu.

Hingga dirinya tiba-tiba menerima pesan singkat berkali-kali dari si peneror gelap. Sepulang lembur kerja dia diikutu si peneror. Akhirnya terjadilah musibah. Dilain itu pertemuannya dengan Arka dan berakhir di ranjang dengan Axelle.

BERSAMBUNG

Ai

Mari membaca

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status