Share

Bab 7. MENYERAH KALAH

Arbia tak menyangka, kalau dia benar-benar jatuh di pelukkan sang kapten. Begitu mudahkah? Rasanya baru kemarin dia sangat membenci laki-laki tampan itu. Terus bagaimana dengan ambisinya, mengungkap kasus pembunuhan kedua orang tuanya? Itu beda cerita. Kebenaran tetap harus diungkap.

Kecupan itu mendarat mulus di kening Arbia. Pagi itu dengan gagahnya Axelle membukakan pintu buat tuan putrinya. Hari ini, hari pertama dia mengantar kekasihnya.

Dari dalam ruangan kerja, karyawan riuh rendah bergosip. Pemandangan indah pagi ini, menjadi bahan gosipan mereka.

Dengan langkah ringan Arbia memasuki tempat kerjanya.

"Hemm-hem!" Mereka berdehem meledek Arbia. Arbia bukannya tidak tahu, tapi sengaja bersikap cuek bebek.

"Udah ada yang move-on ni dari sang editor." Ledek mereka kompak. Ada senyum simpul di bibir sensual Arbia. Gadis itu menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya. Dia kembali membuka Headline kemarin. Setidaknya hari ini dia sudah bisa mengantongi nama-nama orang yang terlibat dengan kasus pembunuhan 15 tahun silam.

Sambil menatap layar komputernya, sebenarnya dia merasa janggal dengan Headline yang di ajukan bosnya. Tidak biasa-biasanya sang editor mengupas bahkan mengulas berita yang sudah usang.

Pembunuhan yang menewaskan ke dua orang tuanya itu, sekarang mulai bergulir lagi di media berita. Seluruh surat kabar sekarang sedang berame-rame menjadikan trending topik Headline tersebut.

Seingat Arbia, tidak ada yang tahu kalau dirinya adalah anak dari korban pembunuhan itu. Hanya kapten Axelle dan Arka Abianta yang paham siapa dirinya. Tidak mungkin sekali, kalau Axelle yang membuat Headline itu, apalagi Arka! Dia adalah gembong mafia yang jadi target operasi Axelle.

Akh-, Arbia menghembuskan nafas kuat-kuat. Ada sesuatu yang janggal ia rasakan, ketika mengulas tentang Headline yang bertajuk pembunuhan 15 tahun silam. Ada semacam konspirasi. Entah konspirasi antara apa dan siapa.

Arbia menoleh ke atas meja kerjanya, ketika terdengar dering telpon ponselnya.

"Hallo, Pak! Arbia di sini!"

"Arbi! Tolong ke ruangan Saya ya, ada berkas yang ketinggalan di meja kerja. Langsung antarkan ke Hotel Buana!" seru seseorang yang ada di seberang telpon.

"Ok, siap,  Pak!" Tanpa menunggu lama Arbia langsung ke ruang direksi. Dicarinya berkas yang katanya ada di atas meja. Namun hampir 5 menit berkas itu belum ketemu. Di cobanya dia membuka brankas yang ada di samping meja kerja.

Satu per satu, Arbia memilah file-file itu. Tanpa sengaja matanya terbentur sebuah foto, sang editor dan beberapa foto temannya. Dengan ragu, Arbia mengambil bingkai foto itu.

Detak jantungnya berhenti sesaat, ketika dilihatnya, di situ ada foto praditia Wicaksana dan Zakaria lawalata pimpinan sebuah organisasi di zamannya. Entah ada hubungan apa mereka, lebih mengejutkan lagi, selain  foto mereka berdua tampak jelas seorang Arka Abianta di sana memeluk erat wanita yang di gandeng Zakaria Lawalata. 

Arbia semakin merasakan detak jatungnya tidak normal. Sebenarnya ada hubungan apa mereka. Tidak lupa di situ tersisip seorang Soepomo Hadiningrat.

Mungkin usia foto itu baru berusia 3 atau 4 tahun yang lalu. Sayangnya sang kapten tidak ada di sana. Tidak tahu pikiran dari mana, Arbia menjepretkan camera ponselnya beberapa kali ke arah bingkai foto itu.

Tersentak sesaat ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Sesegera mungkin dia mengangkatnya.

"Hallo, Pak! Ini, berkasnya belum ketemu, di atas meja nggak ada!" seru Arbia panik. Suara di seberang lebih panik lagi.

"Coba cari lebih teliti ya Arbi, berkas itu penting sekali! Saya ada pertemuan penting hari ini. Tolong segera ya Arbi! Tut ..."

Arbia tertegun sesaat. Tapi dia masih berusaha mencari berkas itu.

******

Tidak sampai 15 menit, Arbia sudah memasuki hotel Buana. Dia menuju lantai 10. Di tangannya ada berkas penting yang diminta bosnya. 

Pintu lift terbuka. Dengan tergesa dia berjalan ke ruang pertemuan. Tapi baru beberapa langkah kakinya berjalan, terlihat Praditia Wicaksana selaku bosnya sedang berbicara dengan seseorang yang sudah terlalu familiar.

Zakaria Lawalata! Yah, Praditia Wicaksana sedang berbicara serius dengan laki-laki di masa zamannya itu sukses memimpin organisasinya.

Arbia berjalan perlahan mendekati mereka. Dia memasang masker di mukanya supaya tidak ada yang mengenalinya.

"Mainkan semua dengan cantik Praditia! Saya nggak mau ada kegagalan. Bagaimanapun dia umpan yang tepat buat menjebak Soepomo Hardiningrat  masuk ke hotel prodeo."

Laki-laki yang sudah menginjak umur 60 tahunan itu menatap Praditia sesaat. Sosok tampan itu terdiam. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya.

"Aku tahu kamu menyukainya, Arka juga lebih menyukai dia terlebih dahulu. Jangan bikin kesalahan yang sama seperti Arka. Hanya karena dia menyukai gadis itu, karena dia teman semasa kecilnya, Arka menghancurkan semua rencana besarku." Laki-laki itu menarik nafas pendek sebelum melanjutkan perkataannya.

"Jangan sampai kamu juga berbuat hal yang sama. Aku mengandalkanmu, Praditia. Kalau rencana kita berhasil, kamu sudah bisa membalaskan dendam ayahmu."

Ucapan dan perkataan yang panjang itu mambuat Praditia membisu. Ada yang bergejolak di dalam hatinya. Antara iya dan tidak.

Sedang Arbia tidak melewatkan sedetikpun kalimat demi kalimat itu dari rekaman ponselnya. Selanjutnya dia memutar arah kembali ke lantai dasar.

Di dalam lift, Arbia banyak berpikir. Ternyata selama ini banyak yang tidak diketahuinya. Termasuk Arka, adalah teman masa kecilnya. Memorinya sebagian hilang karena trauma  15 tahu  silam.

Sebenarnya rencana apa yang akan di lakukan laki-laki itu. Ada hubungan apa antara Zakaria Lawalata dengan bosnya. Juga dengan Arka. Apakah mereka masih punya kekerabatan?

Akh entalah, Arbia merasakan sakit di kepalanya. Yang pasti saat ini dia sudah mengantongi bukti penting. Mungkin kasus 15 tahun silam itu sengaja di buat Headline, karena itu bagian dari rencana mereka.

Dan yang lebih pasti, saat ini dia lah yang dijadikan umpan oleh mereka. Otak Arbi terus berjalan, sampai lift terbuka. Yang tidak dia habis pikir, apakah seorang Praditia tega berbuat kejahatan seperti itu? Orang yang selama ini dikagumi olehnya.

"Pak, Saya sudah di lobi ya, tolong Bapak ke bawah saja, soalnya Saya harus segera ke kantor. Headline hari ini harus segera tayang." Arbia menutup telpon singkatnya.

"Terima kasih ya Arbi, maaf ya sudah buat pekerjaanmu tertunda." Arbi hanya tersenyum simpul. Dalam hatinya, masih tak percaya kalau seorang Praditia bisa melakukan semua dengan rapi.

Selintas Arbia teringat Axelle. Ada perasaan ragu di hatinya, kalau kasus pembunuhan itu didalangi Soepomo Hardiningrat. Tapi kenapa, ayahya meninggalkan wasiat seperti itu.

Semakin bingung Arbia dengan kasus yang mulai bergulir kembali ke media itu. Ada semacam konspirasi dari beberapa orang yang memanfaatkan keberadaannya.

Mungkin sebaiknya Arbia harus mendiskusikan masalah ini dengan Axelle. Bagaimanapun sekarang , Axelle sudah menjadi bagian dalam hatinya. Apalagi ini menyangkut kasus ayahnya di  masa lalu silam yang sengaja di gulirkan kembali untuk menjatuhkan atau mengkambingkan hitamkan seseorang demi menutupi kebenaran yang ada.

Dalam hal ini, rasanya Arbia menyerah kalau harus berurusan dengan bosnya. Apalagi ini ada hubungannya dengan kasus berat seperti ini. Kasus masa lalu, kasus pembunuhan berantai, kasus kepemilikan senjata tajam dan, juga kasus suap.

BERSAMBUNG

Ai

Hai teman-teman Saya up lagi

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status