Mereka sama-sama menoleh, ke arah asal suara. Keterkejutan mutlak itu terlihat jelas dari raut muka dokter muda yang cantik itu ketika berbalik arah dan menemukan sosok yang sudah tak asing lagi baginya.
Terlebih lagi kapten Axelle, dia hanya termangu, melihat tamu yang ada di rumah kekasihnya. Kakinya terasa seperti ditindihi batu bertonton-ton. Dia hanya diam terpaku di tempatnya.
Sedangkan Arbia sudah menghambur, menubruk ke dalam pelukan sang kekasih. Tidak ada pergerakan sama sekali dari kapten Axelle, bahkan tubuh mungil Arbia pun urung di dekapnya.
Arbia sedikit heran melihat sikap kekasihnya yang tak acuh. Dia merenggangkan pelukannya dan mengurai senyum termanis untuk Axelle.
"Oh, ya! Sayang, perkenalkan ini, dokter Celine. Celine Fazah Arufiah, teman SMP-Ku dulu." ucapnya membuat Axelle terkejut dan sedikit thremor di seluruh tubuhnya.
Sedang Celine, dokter muda cantik itu mendekati mereka dengan tatapan yang begitu tajam. Sorot matanya, meyelidik, seolah mencari-cari sesuatu yang selama ini tidak pernah dia ketemukan.
Jujur Arbia menjadi bingung dengan kondisi itu. Dia menerka-nerka sebenarnya apa yang sedang terjadi.
"Apa kabar Narendra! Jadi selama beberapa tahun kepergianmu dinas keluar negeri, di sini kamu berlabuh. Tanpa mengabari Aku sama sekali."
Suara Celine agak bergetar, namun begitu jelas di telinga Arbia. Dia mencoba memahami sebenarnya apa yang terjadi. Namun sungguh, kadar otaknya lagi tak mampu berjalan ke arah sana.
Kapten Axelle Narendra masih diam terpaku di tempatnya. Ada raut muka tegang dan bingung di sana. Laki-laki itu mencoba untuk tenang sebisa mungkin. Namun usahanya itu gagal. Ada titik keringat yang tiba-tiba membasahi dahinya.
"Maaf! Sebenarnya ini ada apa, ya?" tanyanya polos dengan wajah yang masih menampakkan kebingungan.
"Axelle! Ada apa ini? Kamu mengenal sahabat SMP-Ku?" tanyanya kembali dengan polos. Kali ini ditujukan ke arah laki-laki berbadan tegap itu. Matanya mencari-cari sesuatu di wajah kekasihnya.
Karena terlalu lama menunggu jawaban dari kekasihnya, Arbia tampak kesal. Raut mukanya berubah merah nenahan marah.
Wajah riang yang beberapa menit yang lalu menghiasi wajahnya lenyap seketika.
"Sebenarnya, kalian ini ada apa sich? Kenapa nggak ada yang menjawab pertanyaanku?" Apakah Aku di sini kalian jadikan orang paling bodoh?!"
Teriakan Arbia yang sedikit melengking dengan amarah memuncak itu, menyadarkan ke dua orang itu. Celine, menarik nafas sebentar sebelum akhirnya bicara.
"Arbia!" ucapnya sejenak berhenti. Dan gadis yang di panggil namanya pun hanya menatap tajam ke arah sahabatnya.
"Apa Kamu masih ingat kakak kelas kita yang pernah, Aku ceritakan sama Kamu? Tentang keinginannya menjadi seorang prajurit polisi?"
Arbia mengerjap sesaat. Ingatannya melayang ke beberapa puluh tahun yang lalu. Tepatnya ketika dia masih menduduki kelas 9 waktu itu. Celine pernah meminta tolong padanya untuk menjadi jembatan tali kasih diantara mereka. Narendra kalau nggak salah namanya waktu itu.
Seorang kakak senior di sekolahnya, yang menjadi primadona seluruh anak-anak perempuan di satu sekolahan tersebut, karena wajah tampannya.
Arbia akhirnya dapat menyatukan ke dua insan tersebut dalam ikatan cinta monyet waktu itu. Karena umur Celine yang masih begitu muda. Dan untuk selanjutnya, Arbia tidak paham bagaimana kelanjutan hubungan mereka. Karena tahun berikutnya setelah lulus, baik Arbia dan Celine sama-sama terpisah. Mencari dan melanjutkan sekolah ke bidang masing-masing.
Arbia mengambil sekolah bahasa dan jurnalistik sedang Celine mengambil jurusan kedokteran.
Tahun pertama, Arbia masih sempat mendengar bahwa hubungan mereka sudah tahap serius, malah ada berita kalau Celine mau menikah muda dengan polisi incarannya itu. Dan selanjutnya Arbia sudah tidak mendengar kabar apa-apa lagi. Sampai pada beberapa hari kemarin mereka di pertemukan di rumah sakit debgan Celine.
Arbia menjadi dokter spesialis jantung yang menangani ibunya Arka Abianta. Tapi Arbia nggak menyangka kalau ternyata laki-laki yang bernama Narendra itu ada sosok yang sama yang menjadi kekasihnya.
Ada yang mengalir di dada Arbia seketika itu. Antara marah, kecewa dan sakit hati hati. Atau lebih tepatnya dia merasa di bohongi oleh kekasihnya itu.
Laki-laki yang begitu jelas terlihat sangat menyayanginya bahkan begitu mencintainya. Hingga hubungan mereka tidak bisa di katakan hubungan biasa saja. Hubungan yang sudah menjurus hubungan untuk orang dewasa. Banyak hal yang sudah mereka lewati bersama dalam beberapa bulan ini.
Kenyataan itu mampu membuat seorang Arbia, reporter jenius yang keras kepala tiba-tiba seperti terperosok dan terpuruk melihat kenyataan yang sesungguhnya. Bahwa orang yang sekarang teramat dia cintai adalah orang yang sama dicintai oleh sahabatnya
"Jadi, dia adalah kekasihmu yang dulu pernah aku comblangi, Celine?" ucap Arbia dengan nada bergetar.
Axelle terkejut sesaat, menyadari bahwa gadis yang sudah dia pacari beberapa bulan ini adalah orang yang beberapa puluh tahun lalu menjadi perantara hubungannya dengan dokter muda tersebut.
"Apakah kalian masih memiliki hubungan itu?" suara Arbia kembali terdengar, bahkan kali ini begitu kentara suara thremornya itu.
Dari sudut matatanya buliran bening itu satu-satu menetes.
Baik Axelle dan Celine hanya saling terdiam yang membuat Arbia semakin merasakan sesak di dadanya.
"Apakah Kamu tidak ingin menjelaskan apa-aoa dengan kejadian ini, Kapten Axelle?" Arbia mengucapkan pertanyaan itu dengan sorot tajam ke arah Axelle.
Kapten Axelle tiba-tiba menjadi salah tingkah di hadapan kekasihnya sendiri. Dan itu seumur-unur baru terjadi dalam kamus axelle . Baru kali ini dia thremor dan salting di depan makhluk hidup yang namanya perempuan.
"Aku dan dia-" ucapan Axelle menggantung.
"Kami masih resmi pacaran!" sambar Celine melanjutkan kata-kata Axelle.
"Beberapa tahun yang lalu, sebelum dia pergi tugas ke luar negeri, kami masih resmi menjalin hubungan itu. Bahkan kami sudah bertunangan."
Seperti disambar petir. Pertahanan Arbia roboh mendengar perkataan sahabatnya itu. Tubuhnya tiba-tiba terhuyung.
"Ja-jadi, Kalian- sudah tunangan?" tanyanya terbata-bata, entah pertanyaan itu ditujukan ke Celine apa Axelle.
"Iya! Kami sudah bertunangan beberapa bulan sebelum dia pergi bertugas. Tapi Kami bertengkar ketika dia memutuskan pergi bertugas keluar negri. Aku hanya minta menikah dulu sebelum dia berangkat bertugas. Tapi dia menolak dengan alasan waktunya tidak cukup. Karena tugasnya sudah sangat mendesak."
Semakin terpuruk dan jatuh mental Arbia mendengar ucapan Celine. Sedang Axelle hanya diam membisu. Bingung musti bilang apa?
Arbia berusaha berdiri tegap, berusaha menerima kenyataan pahit ini, bukankah selama ini hidupnya hanya bergelayut sama takdir. Hidupnya selalu bersahabat dengan takdir pahit. Kali inipun dia harus bisa bersahabat lebih dekat dengan apa yang sudah di takdirkan untuknya. Mungkin dia akan merasakan kehilangan lagi. Kehilangan kekasih satu-satunya yang ia miliki di dunia ini.
"Sebaiknya, Kalian berbicara dan selesaikan urusan Kalian." ucap Arbia kesakitan. Dia merasakan dadanya sesak oleh tangis yang sedari tadi di tahannya.
Setelah mengucapkan kata-kata itu dia bergegas meninggalkan ke dua orang yang hadir di rumahnya sebagai tamu itu.
"Bukan Kamu yang seharusnya pergi, Arbia. Tapi Aku, karena aku tamu di sini." ucao Celine bergegas mengambil tas kerjanya.
Di depan laki-laki yang masih mengikatnya dalam hubungan pertunangan itu dia berhenti. Menatap sosok tampan yang bertahun-tahun dia rindui itu.
"Semua memang harus dibicarakan. Bukankah, Kamu bukan seorang pengecut? Hanya pengecut dan pecundanglah yang lari dari kenyataan!" Ucapan itu tajam tepat mengenai ulu hati sang kapten.
Laki-laki itu melawan tatapan sang dokter muda nan cantik itu. Dokter yang sekian tahun berdiam di hatinya hingga akhirnya seorang reporter periang hadir menggantikannya.
Celibe Fazah Arufiah, tanpa menoleh dan tanpa satu ucapan pun melangkahkan kakinya keluar dari rumah Arbia.
Sesaat Arbia menarik napas dengan tersengal. Tidak menyangka pertemuannya dengan sahabat lamanya malah membuahkan kesakitan yang luar biasa.
Tatapannya terbentur sosok Axelle yang masih membisu seribu bahasa. Dan akhirnya laki-laki tampan itubergegas keluar melewati dimana Arbia berdiri tanpa sepatah katapun bahkan tanpa menoleh atau memberi isyarat pamit bahwa dia akan meninggalkan rumahnya.
Arbia terduduk di lantai. Tubuh kecilnya merosot begitu saja melihat polisi tampan itu pergi tanpa mempedulikan keadaannya. Air mata itu akhirnya mengeluarkan suara isaknya. Punggung kecil Arbia terguncang hebat. Tidak ada pengangan ataupun sandaran. Dia sendiri. Yah! Dia memang sendiri selama ini.
BERSAMBUNG
"Celine ...!" Teriakan itu seketika membuat langkah dokter muda itu berhenti. Di depan pagar ke luar rumah Arbia, Axelle mengejar langkah Celine yang masih resmi tunangannya. Sedang Arbia yang masih mendengar teriakan itu hanya memandang mereka lewat pintu kaca jendela. Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali membiarkan mereka tetap berjalan bersama meneruskan hubungan yang semula terputus atau lebih tepatnya tertunda. Hal yang tidak mungkin baginya menjadi duri dalam hubungan orang lain, apa lagi itu hubungan sahabatnya sendiri. Tapi, ini salah siapa? Bukan salah dia, kan bilamana dia jatuh cinta pada kapten muda itu. Secara, dari awal tidak ada ultimatum kalau kapten itu mempunyai hubungan khusus dengan seseorang. Yang pasti ini salah kapten sendiri. Kenapa dari awal dia nggak ngomong kalau sudah punya tunangan. Nggak mungkin, secara, kalau dia sudah punya tunangan, seorang Arbia membiarkan dirinya jatuh terperosok ke dalam pesona Axelle Narendra. Da
Arbia mengucek-ngucek matanya, seolah tak petcaya dengan penglihatanya. Seolah-olah dia sedang bermimpi di siang bolong. Malah beberapa kalj dia sengaja mencubit pipinya. Memang nggak bermimpi. Ini nyata. Sangat nyata. Sebelum panggilan terdengar panggilan 2x, dia sudah menghambur ke dalam pelukan, sosok yang tadi memanggilnya. Dihantamkannya tubuh kecilnga ke dalam pelukan tubuh laki-laki kekar yang sudah mendekapnya penuh dengan kerinduan. Ada isak tangis yang tiba-tiba pecah dan menghambur keluar air mata itu. Diguncang-guncangkannya dada laki-laki itu dengan tangan kecilnya. Namun laki-laki tampan itu hanya merangkum segala tangis dan air mata orang yang teramat disayanginya itu hanya dengan satu pelukan hangat. Arbia lunglai di dalam dekapan pria muda itu. Dia menangis sejadi-jadinya hingga punggung rapuhnya terguncang hebat. Di seberang jalan, ada sorot mata tajam yang melihat adegan pelukan mesra itu hanya mengetatkan giginya, hingga te
"Arbi! Keruanganku!" Tut ... Mata lelah Arbi mengerjap perih. Di belalakannya mata yang sudah tak kuat menahan rasa kantuk itu. Dilihatnya jam beker yang berada di atas nakas sudah pukul 02:00 dini hari. Mulutnya juga berhenti menguap. Drttt ... drttt Gadis itu hanya melirik sebentar ponselnya yang bergetar sedari tadi. Dengan gontai dia melangkahkan kakinya ke ruang sebelah. Dan tanpa mengetuk pintu dia langsung ngeloyor aja ke sofa yang ada di ruang tersebut. Di bantingnya tubuh ringkih itu ke sofa empuk itu. "Laporannya, mana?" Kembali Arbi mengerjapkan matanya tanda kaget. "Laporan apa?" tanyanya seperti orang bodoh. Akh- Arka berdiri dari tempat duduknya lantas berjalan ke ruang sebelah, mengambil berkas yang diminta tadi. Dikerjainnya sebentar, lalu pemuda tampan itu menghampiri gadis yang sedang tertidur dengan pulasnya. Ada senyum simpul di sudut bibir simetrisnya. Entah sampai sekarang, Ar
"Katakan padaku, kalau ini nggak benar, kalau Kamu nggak benar-benar melakukan ini, kan?" Arbia seperti bermimpi dengan apa yang dilihatnya. Sama sekali, dirinya nggak menyangka akan melihat kenyataan yang menyakitkan ini. Sebuah fakta yang membuat dirinya lemas seketika. Arbia hanya terpana ditempat dengan kondisi bergeming menyaksikan sesuatu yang tak sepantasnya dia lihat. Ada detak jantung yang begitu kuat merejam dadanya. Ingin sekali dia menolak kenyataan, tapi ini dia sedang tidak bermimpi, dan ini adalah fakta. Sedang seseorang itu hanya menatap Arbia dengan sorot tajam penuh kebencian. Seolah-olah apa yang dilakukannya ini adalah vonis dari kesalahan Arbia yang menyakitinya. Wajah yang biasanya lembut dan kalem penuh dengan kata anggun itu, sekarang seperti wajah sinis, bengis dan kejam bak penjahat yang baru saja membunuh korbannya. Seolah-olah Arbia nggak pernah mengenal sosok ini. Sosok yang teramat disayanginya dan sel
Ke dua manusia berbeda jenis kelamin itu sama-sama membisu. Bahkan jarak pun mereka renggangkan. Masih dengan kerterdiaman, Arbia berdiri menjauh dari tempat duduknya Axelle. Laki-laki itu tampak canggung. Seakan-akan nggak pernah saling mengenal. Sudah hampir 15 menit mereka lewatkan hanya dengan membuang muka satu sama lain. Entah, apa yang sebenarnya berkecamuk dalam dada mereka. Tanpa kata Arbia, mendekati orang yang sudah menggoreskan luka di hatinya itu. "Kapten Axelle," panggilan itu sangat lunak. Dan terlihat Arbia lebih kuat dan mandiri. "Aku mengajakmu ketemu di sini bukan untuk membicarakan masalah pribadi. Tapi ini masalah Celine." Kapten Axelle tertegun sesaat. Diamatinya wajah yang akhir-akhir ini terlihat sendu itu. Wajah yang sudah memperlihatkan luka yang maha hebat, yang ia ciptakan secara nggak sengaja. "Apa, Kamu paham, bagaimana akhir-akhir ini kehidupan finansial Celine?" Axelle m
"Dor-- dor--" "Akh! Sial! Rutuknya sambil memegangi pinggangnya yang sudah merembes darah. "Kapten!" Lindungi Aku, Kai!" Setengah tersengal Axelle mencoba bangkit dari persembunyiannya. "Tidak! Kapten tidak boleh menyerang! Biar Saya saja!" Sergah Kai, tangan kanan kapten Axelle, langsung mengambil alih kendali. "Monitor, satu, dua! Butuh pertolongan pertama, Kapten Axelle tertembak!" Kai mendekatkan ht-nya ke mulutnya untuk mengisyaratkan butuh pertolongan. Sedang kapten Axelle, masih meringis menahan sakit, darah masih saja keluar tepat di pinggang kirinya. Satu peluru berhasil menembus kulit pinggangnya yang six-pack. Sementara beberapa orang berteriak sebelum diamankan oleh anggota polisi karena ada kerusuhan sekelompok debtcolector dengan seorang laki-laki yang banyak hutangnya. Laki-laki yang berumur sekitar 50 tahun itu, berlari menuju ke salah satu supermarket di pinggir jalan. Dan masuk dengan gaya khas seperti
Sudah hampir 24 jam pasca operasi besar itu. Namun tidak ada tanda-tanda Arbia akan terbangun dari tidur. Semua orang panik dan ketakutan. Terutama Arka, Axelle dan sang ayah, Zakaria Lawalata. Berita Arbia menjadi korban para debt collector demi menyelamatkan Lukman ayah dari sahabat karibnya yang tega mengambil kekasihnya, kapten Axelle menjadi trending topik hari ini. Di segala media menerbitkan berita besar itu. Banyak nyinyiran netizen yang mengecam tindakan Celine. "Kok, tega, ya. Mereka, kan bersahabat?" "Apa doktet Celine nggak bisa tidak egois seperti itu?" "Padahal ayahnya sudah diselamatkan sama Arbia lho, yang reporter itu." "Kalau Aku, jadi kapten Axelle, memang sudah seharusnya ninggalin cewek egois seperti itu." "Nggak nyangka, ya, kapten Axelle nyakiti mbak Arbi!" Mulut netizen berkicau bak burung beo. Banyak yang memojokkan Celine. Mereka menyalahkan sifat egois Celine yang tidak bisa melihat keba
Axelle kaget setengah mati, melihat kondisi Arbia yang tiba-tiba menakutkan. Matanya terbelalak lebar tanpa menutup lagi, bahkan badannya bergetar hebat seperti kejang-kejang. Kepanikan itu membuat Axelle sesaat bingung harus melakukan apa. Dan ketika diingetnya alarm pengingat gawat darurat, langsung di pencetnya berulang-ulang supaya dokter dan perawat segera datang. Sekitar 5 menit dokter datang bersama rombongannya. Axelle yang masih dilanda kepanikan mengalami thremor di bagian tangannya. Sedang Arka dan ayahnya memperlihatkan kecemasan yang luar biasa. "Dokter, tolong selamatkan anak, Saya," ucap Zakaria memohon pada dokter itu. "Kami akan berusaha, semaksimal mungkin, ya, Pak. Tolong bantu dengan doa. Dan sekarang diharapkan seluruh anggota keluarga ke luar dulu dari ruangan pasien, supaya kami bisa bekerja secara efisien." Setelah itu dokter menutup ruang VIP itu. Di luar ruangan Axelle sudah bisa mengatasi kegugupan dan kepanikannya.