Arbia mengucek-ngucek matanya, seolah tak petcaya dengan penglihatanya. Seolah-olah dia sedang bermimpi di siang bolong. Malah beberapa kalj dia sengaja mencubit pipinya. Memang nggak bermimpi. Ini nyata. Sangat nyata.
Sebelum panggilan terdengar panggilan 2x, dia sudah menghambur ke dalam pelukan, sosok yang tadi memanggilnya.
Dihantamkannya tubuh kecilnga ke dalam pelukan tubuh laki-laki kekar yang sudah mendekapnya penuh dengan kerinduan.
Ada isak tangis yang tiba-tiba pecah dan menghambur keluar air mata itu. Diguncang-guncangkannya dada laki-laki itu dengan tangan kecilnya. Namun laki-laki tampan itu hanya merangkum segala tangis dan air mata orang yang teramat disayanginya itu hanya dengan satu pelukan hangat.
Arbia lunglai di dalam dekapan pria muda itu. Dia menangis sejadi-jadinya hingga punggung rapuhnya terguncang hebat.
Di seberang jalan, ada sorot mata tajam yang melihat adegan pelukan mesra itu hanya mengetatkan giginya, hingga te
Teman-teman yan budiman, ikuti terus ya episodrnya, ini saya up lagi
"Arbi! Keruanganku!" Tut ... Mata lelah Arbi mengerjap perih. Di belalakannya mata yang sudah tak kuat menahan rasa kantuk itu. Dilihatnya jam beker yang berada di atas nakas sudah pukul 02:00 dini hari. Mulutnya juga berhenti menguap. Drttt ... drttt Gadis itu hanya melirik sebentar ponselnya yang bergetar sedari tadi. Dengan gontai dia melangkahkan kakinya ke ruang sebelah. Dan tanpa mengetuk pintu dia langsung ngeloyor aja ke sofa yang ada di ruang tersebut. Di bantingnya tubuh ringkih itu ke sofa empuk itu. "Laporannya, mana?" Kembali Arbi mengerjapkan matanya tanda kaget. "Laporan apa?" tanyanya seperti orang bodoh. Akh- Arka berdiri dari tempat duduknya lantas berjalan ke ruang sebelah, mengambil berkas yang diminta tadi. Dikerjainnya sebentar, lalu pemuda tampan itu menghampiri gadis yang sedang tertidur dengan pulasnya. Ada senyum simpul di sudut bibir simetrisnya. Entah sampai sekarang, Ar
"Katakan padaku, kalau ini nggak benar, kalau Kamu nggak benar-benar melakukan ini, kan?" Arbia seperti bermimpi dengan apa yang dilihatnya. Sama sekali, dirinya nggak menyangka akan melihat kenyataan yang menyakitkan ini. Sebuah fakta yang membuat dirinya lemas seketika. Arbia hanya terpana ditempat dengan kondisi bergeming menyaksikan sesuatu yang tak sepantasnya dia lihat. Ada detak jantung yang begitu kuat merejam dadanya. Ingin sekali dia menolak kenyataan, tapi ini dia sedang tidak bermimpi, dan ini adalah fakta. Sedang seseorang itu hanya menatap Arbia dengan sorot tajam penuh kebencian. Seolah-olah apa yang dilakukannya ini adalah vonis dari kesalahan Arbia yang menyakitinya. Wajah yang biasanya lembut dan kalem penuh dengan kata anggun itu, sekarang seperti wajah sinis, bengis dan kejam bak penjahat yang baru saja membunuh korbannya. Seolah-olah Arbia nggak pernah mengenal sosok ini. Sosok yang teramat disayanginya dan sel
Ke dua manusia berbeda jenis kelamin itu sama-sama membisu. Bahkan jarak pun mereka renggangkan. Masih dengan kerterdiaman, Arbia berdiri menjauh dari tempat duduknya Axelle. Laki-laki itu tampak canggung. Seakan-akan nggak pernah saling mengenal. Sudah hampir 15 menit mereka lewatkan hanya dengan membuang muka satu sama lain. Entah, apa yang sebenarnya berkecamuk dalam dada mereka. Tanpa kata Arbia, mendekati orang yang sudah menggoreskan luka di hatinya itu. "Kapten Axelle," panggilan itu sangat lunak. Dan terlihat Arbia lebih kuat dan mandiri. "Aku mengajakmu ketemu di sini bukan untuk membicarakan masalah pribadi. Tapi ini masalah Celine." Kapten Axelle tertegun sesaat. Diamatinya wajah yang akhir-akhir ini terlihat sendu itu. Wajah yang sudah memperlihatkan luka yang maha hebat, yang ia ciptakan secara nggak sengaja. "Apa, Kamu paham, bagaimana akhir-akhir ini kehidupan finansial Celine?" Axelle m
"Dor-- dor--" "Akh! Sial! Rutuknya sambil memegangi pinggangnya yang sudah merembes darah. "Kapten!" Lindungi Aku, Kai!" Setengah tersengal Axelle mencoba bangkit dari persembunyiannya. "Tidak! Kapten tidak boleh menyerang! Biar Saya saja!" Sergah Kai, tangan kanan kapten Axelle, langsung mengambil alih kendali. "Monitor, satu, dua! Butuh pertolongan pertama, Kapten Axelle tertembak!" Kai mendekatkan ht-nya ke mulutnya untuk mengisyaratkan butuh pertolongan. Sedang kapten Axelle, masih meringis menahan sakit, darah masih saja keluar tepat di pinggang kirinya. Satu peluru berhasil menembus kulit pinggangnya yang six-pack. Sementara beberapa orang berteriak sebelum diamankan oleh anggota polisi karena ada kerusuhan sekelompok debtcolector dengan seorang laki-laki yang banyak hutangnya. Laki-laki yang berumur sekitar 50 tahun itu, berlari menuju ke salah satu supermarket di pinggir jalan. Dan masuk dengan gaya khas seperti
Sudah hampir 24 jam pasca operasi besar itu. Namun tidak ada tanda-tanda Arbia akan terbangun dari tidur. Semua orang panik dan ketakutan. Terutama Arka, Axelle dan sang ayah, Zakaria Lawalata. Berita Arbia menjadi korban para debt collector demi menyelamatkan Lukman ayah dari sahabat karibnya yang tega mengambil kekasihnya, kapten Axelle menjadi trending topik hari ini. Di segala media menerbitkan berita besar itu. Banyak nyinyiran netizen yang mengecam tindakan Celine. "Kok, tega, ya. Mereka, kan bersahabat?" "Apa doktet Celine nggak bisa tidak egois seperti itu?" "Padahal ayahnya sudah diselamatkan sama Arbia lho, yang reporter itu." "Kalau Aku, jadi kapten Axelle, memang sudah seharusnya ninggalin cewek egois seperti itu." "Nggak nyangka, ya, kapten Axelle nyakiti mbak Arbi!" Mulut netizen berkicau bak burung beo. Banyak yang memojokkan Celine. Mereka menyalahkan sifat egois Celine yang tidak bisa melihat keba
Axelle kaget setengah mati, melihat kondisi Arbia yang tiba-tiba menakutkan. Matanya terbelalak lebar tanpa menutup lagi, bahkan badannya bergetar hebat seperti kejang-kejang. Kepanikan itu membuat Axelle sesaat bingung harus melakukan apa. Dan ketika diingetnya alarm pengingat gawat darurat, langsung di pencetnya berulang-ulang supaya dokter dan perawat segera datang. Sekitar 5 menit dokter datang bersama rombongannya. Axelle yang masih dilanda kepanikan mengalami thremor di bagian tangannya. Sedang Arka dan ayahnya memperlihatkan kecemasan yang luar biasa. "Dokter, tolong selamatkan anak, Saya," ucap Zakaria memohon pada dokter itu. "Kami akan berusaha, semaksimal mungkin, ya, Pak. Tolong bantu dengan doa. Dan sekarang diharapkan seluruh anggota keluarga ke luar dulu dari ruangan pasien, supaya kami bisa bekerja secara efisien." Setelah itu dokter menutup ruang VIP itu. Di luar ruangan Axelle sudah bisa mengatasi kegugupan dan kepanikannya.
"Kita kecolongan Axelle!" Arka mengepalkan tangannya dengan kesal setelah mengucapkan kata-kata itu. Sedang Axelle tampak membusungkan dadanya menahan sesuatu. Rasa marah yang memuncak. Sebenarnya sudah dari Arbia kritis tadi siang, dia merasa instingnya sudah nggak enak. Dan ternyata ini yang terjadi. "Keluarga pasien Arbia Siquilla!" Tiba-tiba dari arah pintu ruangan Arbia, dokter ahli bedah saraf sudah berdiri dengan pandangan yang angkuh dan dingin. "Saya, Dok!" Berbarengan mereka menyahut dan mendatangi dokter tersebut. "Saya butuh tanda tangan dari keluarga pasien untuk melakukan operasi secepatnya." "Apa yang terjadi dengan adik Saya, Dokter? Kenapa harus di operasi?" suara Arka terdengar panik. "Ada penyumbatan darah di rongga kepalanya akibat terputusnya infus yang Saya rasa ada seseorang dengan sengaja ingin melenyapkan nyawa adik, Anda, Pak Arka. Tolong ini digaris bawahi! Nanti pihak rumah sakit akan Saya peri
Axelle dan Lukman bergegas mengejar dokter dan suster yang membawa jenazah itu namun sudah terlambat. Mereka sudah masuk ke ruang lift. Axelle bergegas ke ruang operasi, barang kali masih ada yang tinggal di sana. Dia menyapukan matanya ke seluruh koridor rumah sakit, namun tetap tidak ada orang. Arka dan ayahnya sudah pergi. Sesaat Axelle panik, bingung harus berbuat apa. Ada air yang mengembun di kelopak matanya. Tak bisa dipungkiri, kalau Arbia benar-benar tidak bisa diselamatkan tidak tidak akan tinggal diam. Dia akan mencari Celine yang sudah hampir seharian ini menghilang. Setelah sedikit tenang, dia teringat ponselnya. Ya! Poselnya. Kenapa nggak kepikiran dari tadi untuk menelpon Arka. Dicobanya untuk menyambungkan line telponnya dengan kontak Arka. Namun line telpon itu tidak aktif. Hah! Hentakan di kaki Axelle adalah expresi dari kegundahan perasaannya saat ini. Dengan tiba-tiba dia menuju lift. Ternyata Lukman pun sudah meninggal