Arka dan Arbia sudah sampai di salah satu hotel ternama di pusat kota. Malam ini, di hotel tersebut akan diadakan malam amal. Tamu undangan sudah membludak memenuhi hotel bintang tersebut.
Awak media sudah berdiri ngantri di lobi hotel. Mereka akan diizinkan masuk setelah puncak acara. Hanya reporter tertentu yang di izinkan merekam dan meliput acara tersebut. Termasuk Arbia.
Gadis itu sudah menyiapkan camera pengintai yang ia taruh di tempat yang memang sudah di tentukan kemarin ketika diadakan rapat bersama tim dadakan yang dipimpin Axelle. Sedang tim pasukan Axelle yang ditugaskan mengawal dan mengamankan selama acara berlangsung sudah berada ditempat beberapa jam sebelum undangan hadir.
Kali ini tim Axelle bergabung dengan tim komandan Li.
Seperti yang sudah direncanakan, Axelle masuk ke hotel tempat acara yang sebentar lagi akan dimulai.
Acara malam amal yang diadakan oleh salah satu pejabat dari jajaran pemerintah yaitu bapak Burhan Sant
Selamat membaca Karya lain saya @Takdir Yang Tertunda dan Fatamorgana Terima kasih😊
Ruangan yang lumayan pengap itu tak membuat Axelle meleleh dengan introgasi seniornya. Dia tetap profesional menjalani pemeriksaan. "Bagaimana bisa hasil tes urinemu positif, Axelle?" Pertanyaan itu membuat Axelle nanar sesaat. "Aku dijebak, Kop?" jawabnya singkat. "Kenapa, sampai kecolongan? Bagaimana dengan tim kamu, tak adakah persiapan extra?" "Semua sudah sesuai rencana, tapi ternyata kita kecolongan. Ada penyusup masuk yang tidak terdetek sama kita." "Aku berharap tim kamu ada yang menemukan bukti ketidak pemilikan kamu dengan barang laknat itu." "Siap, Kop! Insya Alloh, tim Saya akan segera menemukan bukti!" "Apa, Kamu butuh pengacara?" "Sepertinya, Kop. Nanti, Saya akan menghubungi pengacara papa." Senior polisi itu mengangguk tegas. Paham dengan kondisi anak didiknya yang terkena musibah itu. Pemeriksaan berlangsung 30 menit, tanpa jendala. Karena memang Axelle sudah tahu prosedurnya seperti apa
"Itu papa, Kak!" seru Arbia yang kemudian mulut mungil itu sudah ditutup oleh Arka dengan kedua tangannya. "Kecilin suara kamu, Bi! Mau kamu! Kita ketahuan?" Arbia menggeleng dengan bibir sudah maju satu centi. "Apa nggak sebaiknya kita ke sana, Kak?" Arka menatap adiknya sambil mendelik. "Kamu mau dicurigai mereka? Terutama Cathrine." Arbia hanya mendengus. "Tapikan, Kak. Papa di sana?" "Arbi! Kita nggak tahu kenapa papa ada di sana. Mungkin lebih baik kalau kira telpon Gama. Karena dia juga di sana. Apapun yang terjadi kita akan tanggung resikonya!" Arbia mengangguk setuju dengan apa yang dikatakam kakanya. Beberapa saat lamanya, panggilan Arka nggak diangkat oleh Gama. Dicoba lagi Arka menekan nomer yang sama. Begitu lagi- begitu lagi. Ada rasa curiga tiba-tiba menguar dari dada Arka. Apa benar sahabat karib Axelle ini tega mengkhianati kekasih adiknya ini. Motifnya apa? Dan juga di sana ada Celine yang datang bersam
"Papa, harus baringan, agar nggak pusing." Arka menuntun papanya untuk berbaring di sofa. Laki-laki tua itu menuruti perintah putranya. Kegelisahan itu masih menggelayut di pikirannya. Dan itu ternyata dirasakan oleh Arka. "Apa ada yang menjadi pikiran, Papa?" tanyanya perlahan, setelah memberikan segelas air putih untuk papanya. Zakaria berkali-kali menghela napas panjang. "Katakanlah, Pa. Agar tidak menjadi beban di dada Papa," Zakaria menatap anak laki satu-satunya itu. Diamatinya raut wajah yang mulai nampak dewasa itu. "Sepertinya, Papa sudah melakukan kesalahan besar, Arka," Arka mengernyitkan kening mendengar pernyataan papanya. Namun laki-laki tua itu tak melanjutkan ucapannya. "Kesalahan apa, Pa?" tanyanya akhirnya karena sang ayah tak kunjung bicara. "Apa karena Papa tadi barusan bertemu dengan om Burhan? Apa Papa merasa masuk dalam jebakan?" Betapa terkejutnya Zakaria mendengar semua pertanyaan Arka.
Entah bagaimana ke dua orang itu mendapatkan camera penginta itu. Yang pasti saat ini Gama dan Celine sudah berada di tahanan, di mana mereka membezuk Axelle yang ditahan oleh polisi karena kepemilikan barang bukti dan hasil tes yang positif. Ketika mereka berdua sudah sampai di sana, terlihat sudah ada pengacara dan Arbia yang sangat setia mendampingi kekasihnya. Gama langsung menyerahkan data USB itu pada Axelle yang selanjutnya diserahkan pada pengacaranya. "Maafkan Aku, Celine. Aku sudah curiga denganmu." suara Arbia diantara kesedihan wajahnya yang menyaksikan sang kekasih tampak kurus dan tak terurus. "Arbi! Aku tetap sahabatmu yang dulu. Meski diantara kita pernah ada yang terluka. Tapi Aku salut denganmu. Kamu gadis yang hebat." ucapnya sambari merangkul sahabatnya itu. "Jangan lagi ada perpecahan lagi, ya? Aku nggak mau kehilanganmu lagi." Akhirnya buliran bening itu teruarai dari mata Celine dan semakin memeluk erat sahabatny
Tanpa melepas atributnya, sosok itu duduk di depan laki-laki tua yang sedang mengepulkan asap rokoknya. Menikmati suasana yang dia ciptakan bersama sekutunya. "Besok terbitkan Headline tentang kepemilikan barang bukti dan tes urine positif milik kapten itu!" Titahnya sambil melihat raut muka pemuda itu. "Aku pastikan anak perusahaan Zakaria akan jatuh ke tanganmu." Mendengar itu, sosok bercadar itu hanya mengangguk-anggukan kepala. "Pastikan semua berjalan lancar. Tak ada kata gagal!" Laki-laki tua itu kembali mengeluarkan ultimatumnya. "Ambil bagianmu." Lalu menyodorkan cek kosong kepada sosok misterius itu. "Isi sendiri." Sekali lagi laki-laki tua itu melanjutkan ucapannya. "Katanya bangkrut, tapi kok tambang dolarnya masih bejibun!" gumam pemuda bercadar itu. Tentunya di dalam hati. Lantas meraup cek kosong itu dan beberapa saat kemudian pemuda itu sudah meninggalkan ruangan itu denga kendaraan roda duanya. Sementara
"Ini, tidak mungkin, kan?" teriak Gama seketika. Dan netranya benar-benar dia tajamkan untuk kembali melihat ke arah rekaman cctv. Sosok tinggi tegap dengan penutup kepala dan muka berdiri di samping seseorang. Bukan itu yang membuat Gama tercekat hingga salivanya seolah kering di tenggorokan. Tapi seseorang yang duduk di sana dengan gayanya mengepulkan asap rokoknya. Gama sangat mengenal orang itu. Bahkan terlalu mengenal. Dia, Prabu Mangkunegara. Ayah kandungnya. Hampir tubuhnya terhuyung dan beringsut ke belakang. Arka dan Celine dengan cepat menangkap tubuh tinggi kekar itu. "Gama, kamu baik-baik sajakan?" tanya Celine langsung membimbing pemuda tampan itu untuk duduk. "Arka! Pastikan siapa orang itu!" ucapnya keras tapi bergetar. Sekali lagi Arka mengulang rekaman cctv itu. Dan memang benar itu Prabu Mangkunegara dan sosok di sampingnya itu seolah Arka merasa familiar. Apalagi dengan cincin orang itu. Seperti pernah lihat. Tapi lupa
Celine Fazah Arufiah, dokter cantik itu terpana sesaat mendengar bisikan erotis yang semakin menggetarkan hatinya. Kali ini jiwanya melambung ke langut 7, hasratnya menuntut lebih. Pernyataan sang pujangga membangunkan segala bentuk imaginasi yang terpendam selama ini. Tanpa jawaban dengan kata-kata dokter muda itu semakin mengetatkan dadanya dengan tubuh kekar berotot itu. Semakin meraup bibir yang sudah membuatnya berimaginasi tinggi itu. Bahkan kini dia membiarkan tangan Gama bertahta di atas tubuhnya. Sentuhan kecil di pangkal pahanya membuatnya menjerit nikmat. Gama Pramudia merasakan sesak dengan celana jeans yang dipakaiya, ketika tangan mungil itu dengan lembut menemukan sesuatu yang membuatnya mendesah dan semakin menggigit bibir kenyal itu dengan kuat. Jeritan terakhir mereka menyudahi permainan panas yang berlangsung hampir 45 menit itu. Kedua makhluk itu terengah bersama di atas pembaringan pasien. Mata Celine meredup dengan
Axelle menatap layar ponselnya yang beberapa detik yang lalu sudah terputus panggilan telponnya. Dahinya ditekuk sedemikian rupa. "Siapa, rupanya berani bermain-main denganku!" desisnya terlihat marah. "Mungkinkah ini berhubungan dengan kasus kemarin." batinnya. "Sayang!" Agak tersentak Axelle mendengar panggilan itu. Gadis kesayangannya itu sudah muncul dengan wajah sumringah. "Ada apa? Adakah yang meneror?" Axelle mengerutkan kedua alisnya. "Apakah kamu juga diteror?" Jadi bener, kamu diteror?" Axelle menutup mulut kekasihnya dengan tangannya yang kekar. "Ssttt! Kecilin suaranya!" Arbia mengangguk-angguk persis anak bocah. Dia lalu terdiam. "Siapa yang mengancam kamu, Sayang?" tanya Axelle kemudian. Arbia hanya menatap tubuh jangkung itu lalu membuang muka. "Apa kira-kira kamu mengenalnya?" Axelle kembali menatap wajah gadi pujaanya itu. "Apa sudah menerima rekaman cctv itu?" Arbia mena