Devan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, juga handuk putih yang melilit pinggangnya. Kakinya berjalan masuk kedalam walk-in closet untuk memakai pakaiannya. Tadi saat Devan baru masuk kedalam rumah dia menayakan keberadaan Kai kepada ART-nya. Siti memberi tahu jika Kai sudah tidur. Memberi tahu jika siang tadi Maya membawa Disya ke rumah, mereka bermain dengan Kai, membuat makanan kesukaan Kai. Hingga akhirnya Maya harus pulang karena katanya ada urusan, dan Maya meminta Disya untuk tetap menemani Kai hingga Devan datang. “Baru begitu saja sudah gemeteran, gimana kalo saya benar-benar melakukannya,” ucap Devan bermonolog sambil menyisir rambutnya, dia kembali teringat dengan wajah pucat dan ketakutan Disya, tadi. Devan hanya bermain-main tadi, dia hanya ingin memberi pelajaran kepada Disya. Mendengar Disya yang terus mengoceh membuat telinganya sakit. Devan kira kejadian kemarin membuat Disya membencinya, membuat Disya marah, dan membuat Disya akan berhenti menyukainya, t
“Daddy!” Kai menaiki tubuh Devan yang masih bergelung dengan selimutnya. Ia mencubit-cubit pipi Devan gemas dengan tujuan agar Devan bangun. Namun, Devan hanya melengguh tanpa membuka matanya. “Wake up Dad!” Devan menyentuh jari jemari Kai yang sedang mencubit pipinya lalu dia membawa Kai kedalam pelukannya. “Daddy masih ngantuk Kai,” lirih Devan. “Mommy kemana, tadi malam kan aku tidur sama mommy?” Devan langsung membuka matanya, pagi-pagi Kai sudah membahas Disya. “Pulang ke rumahnya.” “Hari ini kita ke rumah mommy ayo, aku pengen main lagi sama mommy, Dad.” “Tidak! Daddy sudah bilang kalo dia bukan mommy Kai!” Devan menatap wajah Kai, nadanya agak meninggi. Kai mengerucutkan bibirnya, dia melepaskan pelukan Devan dan langsung menuruni kasur, berjalan keluar dari kamar. Devan menghela napasnya pelan, dia tidak bermaksud berbicara dengan nada tinggi kepada anaknya. Hanya saja dia sangat malas jika harus membicarakan Disya. Kai juga tidak pernah mengerti jika Disya bukan mommyn
“Mamah sama Papah pulang ya!” ucap Maya mengelus kepala Disya. “Kenapa tidak menginap saja di sini?” tanya Dina. “Tidak papa, kita pulang saja Bu Dina.” Kedua orang tua Devan harus pulang. Setelah acaranya selesai mereka langsung pulang, acara akad pernikahan hanya di hadiri oleh kedua keluarga. Itupun hanya Husein, Maya, Doni, Dina, Kai, dan Naya—adik dari Devan, Diky—asisten pribadi Devan, Syiren dan bebearapa pegawainya yang mengurus seluruh acara hari ini. Acara berlangsung sangat cepat, setelah akad selesai dilanjut dengan foto-foto untuk mengabadikan momen, setelahnya makan-makan sambil mengobrol. “Makasih Mba Syiren, maaf sudah ngerepotin,” ucap Disya. Syiren mengangguk lalu tersenyum, ia mendelik menatap Devan yang berdiri di samping Disya dengan memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. “Hati-hati ya Sya!” “Hah?” “Punya suami kaya dia!” Devan menatap Syiren dengan tatapan tajamnya. “Saya sudah transfer uangnya, bahkan tiga kali lipat!” “Ya bukan masalah uangn
“DISYA!” Teriakan itu membuat kedua pasutri yang sedang tertidur langsung membuka matanya, tidurnya benar-benar terganggu karena teriakan itu. Mata Disya membelalak terkejut, mulutnya dengan refleks menjerit. Lelaki di sampingnya yang mendengar teriakan Disya langsung menggunakan tangan kanannya untuk menutup telinganya karena suara jeritannya sangat memekikkan telinga “Disya suara kamu!” geram Devan. “Pa—pak Devan kenapa ada di sini?” teriak Disya melihat tangan Devan yang memeluk pinggangnya, Devan langsung melepaskannya, lalu netranya melihat kaki Disya yang melilit kakinya, gadis itu langsung melepaskannya dan buru-buru bangun dari posisi berbaringnya. “Pak Devan kok bisa masuk ke kamar Disya?” tuduh Disya, ia menarik selimut hingga sebatas dagu, sambil menatap takut kearah Devan. Lelaki itu menatap Disya sinis. “Saya me—“ “Disya!” Dina masuk ke dalam kamar dengan napas tidak teratur, sepertinya dia berlari untuk sampai ke kamar ini. Disya dan Devan langsung menatap ke arah
Setelah pulang dari kantor, Devan memboyong Disya untuk tiggal di rumahnya. Walaupun kedua orang tua Disya awalnya melarang dan menyuruh untuk tinggal di rumahnya beberapa hari lagi, Devan menolaknya dengan alasan Disya sudah menjadi tanggung jawabnya sekarang, juga sudah menjadi istrinya. Sekarang ataupun nanti Disya pergi dari rumahnya itu akan sama saja tidak ada bedanya. Tentang sahabat-sahabat Disya, tadinya mereka hanya ingin sekedar main dengan Disya di rumahnya. Mereka tidak memberi tahu dulu Disya, karena memang biasanya mereka hanya tinggal datang ke rumah Disya, kedua orang tuanya juga sudah mengenal mereka. Dina menyuruh mereka untuk langsung saja ke kamar Disya, seperti yang ia katakan sebelumnya, jika ia lupa Disya sudah menikah. Niat hati ingin mengejutkan Disya dengan langsung datang ke rumahnya, justru mereka yang dibuat terkejut dengan kehadiran lelaki yang sedang tidur di samping Disya, Devan—suaminya. Melihat Disya yang tidak ceria seperti biasanya karena kejadia
Devan berdiri mematung di tempatnya, pandangan matanya lurus ke depan menatap seorang perempuan yang berdiri dengan jarak sepuluh meter dari pandangannya. Perempuan itu berjalan, menyeret kopernya ke arah Devan yang masih berdiri mematung. Saat keduanya sudah saling berhadapan, mereka hanya diam sambil menatap satu sama lain. Dengan saling menatap, mereka seolah berbicara. Ada rasa rindu yang sudah tersampaikan hasratnya kala mereka saling berhadapan sekarang ini. "Hai Dev." Perempuan itu menarik bibirnya, membuat sebuah senyuman manis dengan mata yang berkaca-kaca. "Hm," balas Devan pelan, dia mengalihkan pandangannya menatap koper yang ada di samping perempuan itu, lalu membawanya. Keduanya berjalan beriringan, untuk menuju ke mobil milik Devan. Tidak ada pembicaraan dari keduanya, mereka saling diam sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Bahkan saat mereka sudah berada di mobil Devan sekalipun. Kecanggungan dirasakan oleh keduanya. Malam ini jalanan terlihat sepi pengendar
“Dia kembali?” Devan hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Fokusnya tertuju kepada layar monitor di depannya dengan jari-jemari yang bergerak di atas keyboard. Dia sedang melakukan pekerjaanya. “Lalu?” “Dia sudah tahu jika papahnya menikah lagi, dia tidak ingin datang ke rumah orang tuanya. Jadi, saya menyuruhnya untuk tinggal di apartemen,” jawab Devan. Diky membelalakkan matanya, tentu saja dia terkejut. “Apa yang akan Pak Devan lakukan—maksudnya apa rencana ke depannya untuk dia… dan Disya?” Mendengar pertanyaan dari sekretarisnya membuat Devan langsung menghentikan kegiatannya. Dia terdiam cukup lama lalu menggelengkan kepalanya. “Tidak ada,” lirihnya. Devan kembali teringat dengan kejadian malam itu— "A—aku merindukanmu.” Kata-kata yang di lontarkan perempuan dengan rambut sebahu itu berhasil membuat hati Devan berdesir, bahkan jantungnya berdetak tidak normal. Ditambah dengan perempuan itu yang memeluk tubuhnya. Devan memanggil perempuan itu—Fatya. Dia berpropesi sebaga
Devan mencium kening Fatya sekilas, lalu tangannya bergerak menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. Devan menatap wajah Fatya, dadanya naik turun mencoba menormalkan detak jantungnya, sebuah lengkungan sabit juga tercetak di bibir keduanya. Fatya menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Devan, bahkan menelusupkan wajahnya ke dalam pelukan Devan. “Kamu belum juga menghubungi keluargamu?” tanya Devan, tangannya mengelus pucuk kepala Fatya lembut. Hanya gelengan kepala yang menjadi jawaban untuk pertanyaan Devan. “Hubungi mamah atau kakakmu! Pasti mereka merindukanmu.” “Aku masih sering menghubungi mereka, saat di London, bahkan sampai sekarang.” “Menghubungi lewat ponsel, dengan bertemu langsung itu rasanya berbeda. Apa kamu tidak ingin bertemu langsung dengan mamah dan juga kakakmu?” Fatya terdiam, keheningan menyelimuti kamar ini. Sebelum Fatya mengeluarkan suara, terdengar hembusan napas panjang, lalu ia berkata, “Besok aku akan k