Share

Terimakasih Para Reader

Hallo semuanya 🥰🥰 Akhirnya setelah penantian dan proses yang cukup lama. Novel Vonis mandul ditengah kehamilan istriku atau disingkat menjadi (VMDKI) Ending juga 🥳🥳🥳

Pertama-tama Saya mengucapkan terimakasih pada Tuhan Yang Maha Esa dan juga kepada Keluarga besar saya yang telah mendukung saya menjadi seorang Penulis.

Dan yang paling spesial adalah terimakasih saya kepada seluruh pembaca setia novel VMDKI yang mengikuti novel ini dari awal terbit sampai tamat. 200 bab bukanlah jumlah yang sedikit, dan tentunya banyak diantara kalian semua yang sudah menghabiskan dana untuk membaca novel ini. Saya mohon maaf telah membuat kalian menghabiskan uang jajan atau bahkan uang dapur kalian untuk cerita ini. Semoga kalian bisa mendapat ganti yang berlipat ganda, semoga selalu di beri kesehatan, dan di lancarkan rezekinya.

Mohon maaf jika masih banyak kekurangan dan Typo di dalam Novel ini. Jika berkenan yuk, baca juga novel ottor yang lainnya.

*Yang suka drama rumah tangga, kalian bisa baca novel Tekanan batin seorang istri. Ceritanya sudah tamat di bab 33.

👇👇👇

🍀🍀🍀Tekanan batin seorang istri🍀🍀🍀

Part 1

"Sudah cukup, Dewi! Kau itu, terus saja membuatku muak! Apa tidak bisa, sehari saja tidak mengajakku ribut!" ucap Mas Senopati padaku. Lagi-lagi ia marah, saat aku bertanya tentang bukti transferan uang yang dia kirim untuk Vivian. Adik perempuannya yang dua bulan lalu baru melahirkan.

"Aku hanya bertanya, Mas! Apa salah seorang istri bertanya pada suaminya? Terlebih sudah dua bulan, kamu tidak memberikan nafkah untukku dan kedua anak-anak kita!" jawabku sambil menyeka air mata yang terus mengalir tanpa bisa kutahan.

"Kan sudah kubilang, uang gaji ku di pakai untuk biaya persalinan Vivian! Belum lagi biaya cicilan mobil! Kamu kayak gak pernah melahirkan saja! Kamu tau kan, biaya melahirkan sesar itu mahal!" ucapnya kesal. Matanya melotot seolah ingin memakan ku hidup-hidup.

"Tapi Mas, Nahla besok pagi harus kontrol ke rumah sakit, aku sudah tidak punya uang! Seluruh Tabunganku sudah habis untuk biaya makan kita selama dua bulan ini!"

Nahla adalah anak pertama kami, ia memiliki riwayat penyakit jantung sejak lahir. Setiap bulan ia harus rutin kontrol ke rumah sakit untuk mengecek kondisi tubuhnya. Saat ini Nahla berusia 8 tahun, dia kelas 2 SD.

"Jual saja kalung yang kau pakai itu! Uangnya bisa kau pakai untuk biaya kontrol Nahla besok!" ucapnya enteng sambil berlalu begitu saja.

Ini adalah kalung peninggalan almarhum Ibuku sebelum meninggal. Hanya kalung ini yang menjadi kenang-kenangan darinya. Jika aku menjual kalung ini, itu berarti tidak ada lagi kenang-kenangan dari mendiang Ibu yang bisa ku simpan.

****

Jam 12 malam aku terbangun karena mendengar ponsel Mas Senopati yang terus berdering.

Tanganku meraba ponsel yang ia taruh di atas nakas. Sebuah panggilan dari Vivian.

"Untuk apa malam-malam begini Vivian menelpon Mas Seno?" batinku bertanya-tanya.

Aku menggeser tombol hijau di layar dan suara Vivian langsung menyambar di seberang telpon.

"Halo, Mas! Cepet kesini! Marsel nangis terus dari tadi! Dia haus, stock susunya sudah habis!" ucap Vivian. Ia tidak tahu bahwa akulah yang mengangkat telpon.

"Mas Seno sedang tidur! Apa tidak bisa, kamu suruh suamimu untuk membelikan susu untuk anaknya? Kenapa harus jauh-jauh minta tolong Mas Seno hanya untuk membelikan susu untuk Marsel? Bukankah Yanto juga ada disana?" ucapku penuh penekanan.

"Aduh Mbak, aku tuh gak butuh ceramah dari Mbak Dewi, suka-suka aku dong mau minta tolong siapapun! Toh Mas Seno itu Kakak kandung aku! Jadi berhak dong, aku minta tolong dia kapanpun aku mau!" cerocosnya tanpa sopan santun.

"Bukan aku melarang! Tapi ini sudah malam. Jika hanya ingin beli susu, kan bisa kamu minta tolong orang serumah untuk belikan! Disana ada Yanto suamimu, ada Andre juga, yang sama-sama berstatus sebagai Kakakmu! Masa iya salah satu diantara mereka berdua tidak bisa membelikan susu untuk Marsel? Kamu tau kan, jarak dari rumah Mbak ke sana itu 1 jam lebih?" ucapku sedikit kesal. Tanpa mendengar ocehannya yang tanpa jeda, aku segera menutup telpon dan kembali menaruhnya di atas nakas.

**

.

Seperti biasa, selepas sholat subuh, aku langsung masak untuk kita sarapan. Menu pagi ini, sayur bening dan tempe goreng. Kebetulan kemarin sore, Bu Sekar memberiku satu ikat daun bayam yang ia petik dari halaman rumahnya.

Kulihat jam di dinding, sudah pukul enam lewat lima belas. Anak-anak sudah mulai bangun.

.

"Bu! Hari ini Nahla harus sekolah! Ada ulangan di sekolah!" ucap anak sulungku yang sudah membawa handuk di tangannya, bersiap untuk mandi.

"Hari ini Nahla libur dulu ya! Biar nanti Ibu yang telpon Bu guru, Nahla harus kontrol hari ini,"

"Tapi, Bu! Hari ini ada ulangan matematika, kalau Nahla tidak ikut, nanti Nahla tidak dapat nilai! Kontrolnya besok aja ya, Bu!" ucapnya memaksa ingin sekolah.

"Tidak bisa, Nak! Kontrolnya harus hari ini! Nanti Ibu minta ulangan susulan untuk Nahla. Sekarang Nahla mandi, terus sarapan. Nanti setelah sarapan kita ke rumah sakit ya!" ucapku berusaha membujuk Nahla. Ia pun mengangguk dan berjalan ke kamar mandi.

Tak lama kemudian terdengar suara ponsel milik Mas Senopati berdering berulang kali. "Biar sajalah, lagian sudah siang, Mas Seno juga sudah waktunya untuk bangun." batinku mengurungkan niat untuk mengangkatnya.

Aku pun kembali ke meja makan, menyuapi si bungsu Nayla sarapan.

"Brak!!"

Terdengar suara benda jatuh di kamar. Tak lama kemudian Mas Seno keluar dari kamar dan berteriak memanggilku.

"Dewi! Dimana kamu? Dasar lancang! Istri tak tau diri! Apa yang kamu katakan pada Vivian semalam, hah? Kenapa kamu lancang sekali mengangkat panggilan masuk ke telponku!" teriak Mas Senopati. Matanya nyalang seolah ingin menerkam ku.

"Aku tidak bilang apa-apa, Mas! Semalam Vivian telpon, ia memintamu untuk membelikan susu untuk Marsel, aku hanya bilang jika kamu sudah tidur, dan menyuruhnya untuk minta tolong Yanto atau Andre yang beliin!" jelasku apa adanya.

"Kurang aj*r! Berani sekali kau bilang seperti itu pada adikku! Asal kau tau, gara-gara ulahmu, semalaman Marsel nangis gara-gara kehausan mau minta susu! Sudah berapa kali aku bilang, kau jangan ikut campur urusan keluargaku! Harusnya semalam kau bangunkan aku. Vivian itu adik perempuanku satu-satunya! Dia menjadi tanggung jawabku! Dan Marsel, dia itu keponakanku yang juga menjadi tanggung jawab ku" ucapnya penuh emosi.

"Ya ampun, Mas! Vivian itu tidak tinggal sendirian, disana ada Ibu, Andre dan juga Yanto suaminya! Kenapa jadi kamu yang repot? Bukannya dulu, saat aku membangunkanmu yang tengah tertidur untuk mengantar Nahla ke rumah sakit, kamu marah besar! Kamu bilang, jangan pernah bangunkan aku kalau sedang nyenyak tidur! Dan sekarang kamu marah-marah karena aku tidak membangunkanmu saat adikmu menelpon hanya untuk minta tolong dibelikan susu untuk anaknya? Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran mu, Mas!" ucapku menahan air mata yang hampir jatuh.

"Bu! Kepala Nahla pusing!" ucap Nahla yang baru keluar dari kamar mandi. Ia memegang kepalanya yang masih basah.

"Nahla, kamu kedinginan sayang! Nahla keramas, ya? Ibu kan sudah bilang. Kalau lagi hujan jangan keramas dulu! Ayo Ibu keringkan rambutnya!" Aku mengajak Nahla dan Nayla ke kamar. Meninggalkan Mas Seno yang masih emosi seorang diri.

Wajah Nahla sangat pucat dan tubuhnya begitu dingin. Aku segera memakaikan baju panjang padanya, lalu mengoleskan minyak kayu putih di tubuhnya. Setelah itu aku mulai mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Nahla, tunggu disini yah! Ibu bikinin teh hangat dulu!" ucapku lalu bergegas pergi ke dapur.

**

"Mas, kamu mau kemana? Bukannya hari ini kamu libur?" tanyaku pada Mas Seno yang nampak sudah bersiap untuk pergi.

"Aku mau ke rumah Ibu! Mau ngecek kondisi Marsel yang rewel semalaman!" ucapnya enteng tanpa memperdulikan aku yang tengah panik dengan kondisi Nahla.

"Tapi, Mas! Hari ini kan jadwalnya Nahla kontrol! Kamu harus antar kami ke rumah sakit,"

"Kamu itu, selalu saja nyusahin, Dewi! Kamu kan bisa pergi ke rumah sakit sendiri! Gak perlu aku yang antar!" sahutnya ketus. Matanya melotot kesal ke arah ku.

"Tapi, Mas! Diluar hujan. Tidak mungkin aku bawa pergi anak-anak naik ojek. Sebaiknya kamu antar kami dulu! Kondisi Nahla memburuk, Mas! Kita harus segera membawanya ke rumah sakit! Apa kamu tidak khawatir pada Nahla, Mas? Dia itu anak kandung kamu," ucapku memelas. Aku sangat berharap Mas Seno mau mengantar kami ke rumah sakit.

"Ah, sudah lah! Itu urusanmu! Aku juga punya urusan sendiri! Nih uang 20 ribu untuk ongkos kamu pergi ke rumah sakit! Aku buru-buru, Ibu pasti sudah menungguku!" Selorohnya, lalu pergi meninggalkanku begitu saja.

"Tega kamu Mas! Kamu lupa, siapa yang membuatmu sukses seperti sekarang ini" Batinku.

"Bu! Kakak menangis kesakitan!" ucap si bungsu berlari menghampiri ku.

Aku bergegas ke kamar, mengecek kondisi Nahla yang sudah lemas.

Dengan langkah seribu, aku segera menggendong Nahla dan membawanya ke luar. Tak lupa aku menuntun si bungsu Nayla yang tampak ikut panik.

Di tengah derasnya hujan, aku membawa ke dua anakku ke rumah sakit dengan ojek yang nongkrong di pangkalan dekat komplek.

Sesampainya di rumah sakit, dokter dan perawat langsung memberikan tindakan pada Nahla.

"Bu! Ibu tunggu di luar dulu, ya!" ucap salah satu perawat sebelum ia menutup pintu ruang periksa.

Aku begitu panik dan cemas, pasalnya aku hanya membawa uang 34 ribu. Sisa belanjaku kemarin. Sedangkan uang 20 ribu dari Mas Seno sudah ku pakai untuk bayar ongkos ojek barusan.

"Ting!" Notifikasi pesan di grup w******p keluarga besar suamiku.

Sebuah foto yang memperlihatkan mereka sedang kumpul bersama di rumah Ibu. Disana terlihat Mas Seno sedang asik menggendong Marsel.

Dan yang lainnya sedang menikmati hidangan yang nampak lezat.

[Tinggal Tante Lisa nih yang belum datang! Ayo Tante cepat kesini, mumpung Mas Seno habis gajian, kita semua di traktir nih!" tulis Vivian di grup w******p itu.

Tak lama kemudian sebuah balasan dari Tante lisa masuk ke chat grup.

[Asik… yang baru gajian! Jadi dong ntar siang kita renang bareng! ]

[Harus jadi dong! Wajib itu! Apalagi baru dapat bonus gede!] timpal Om Bahrul. Suami Tante lisa.

Jadi Mas Seno baru dapat bonus dari kantor? Kenapa dia tidak memberitahuku. Bahkan dia juga tidak memberi ku uang untuk biaya pengobatan Nahla. Ya Allah, Mas! Tega sekali kamu Mas. Kamu bersenang-senang diatas kesulitan aku dan anak-anak.

"Bu! Silahkan di urus dulu untuk biaya administrasi nya ya!" ucap perawat yang tadi menyuruhku menunggu diluar. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju ruang administrasi.

Petugas menyerahkan selembar kertas dengan total biaya yang harus aku bayar.

"Ini totalnya, Bu! Ini belum termasuk obat ya, Bu! Untuk obatnya nanti Ibu bisa tebus di apotek!"

"Ya Allah dari mana aku bisa mendapat uang sebanyak ini." Batinku. Total biaya yang harus aku bayar sebesar satu juta tiga ratus. Aku segera menghubungi Mas Seno, berulang kali aku menelponnya, tapi ia tidak juga menjawabnya. Padahal kulihat dia online dan aktif berbalas pesan di grup w******p keluarga.

Aku terus mengirimnya pesan, semuanya centang dua. Namun kenapa dia tidak membaca pesanku.

Di tengah kepanikan ku tiba-tiba sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak ku kenal. Aku pun segera menjawabnya.

"Halo, assalamualaikum!" ucapku mengawali pembicaraan.

"Waalaikumsalam, Bu! Apa benar ini dengan Ibu Dewi Fatimah?"

"Iya, Pak! Benar. Maaf, ini dengan Bapak siapa yah?" tanyaku bingung.

"Saya Anwar, Bu! Produser dan juga penerbit buku. Saya tertarik dengan novel yang anda buat. Saya berencana untuk menjadikan novel anda menjadi sebuah film! Saya harap anda mau bekerja sama dengan saya! Jika anda setuju, saya akan mengirim DP sebagai tanda jadi kerja sama kita!" jelasnya membuatku tak percaya. Pasalnya sudah lama sekali aku mengirim novel itu pada penerbit, namun sudah hampir 3 bulan aku belum juga menerima kabar. Dan saat ini, aku benar-benar tidak percaya jika ada produser yang tertarik dengan novel ku.

"Halo, Bu! Bagaimana?" ucapnya membangunkan lamunanku.

"I-iya, Pak! Saya setuju!"

"Syukurlah kalau begitu! Tolong kirim nomor rekeningnya ya, Bu! Biar saya segera transfer DP nya. Setelah Ibu menerima DP ini, besok kita bertemu untuk tanda tangan kontrak!"

Aku pun segera mengirim nomor rekening milikku. Dan benar saja, tak lama kemudian sebuah notifikasi uang masuk ke rekening ku.

Mataku membulat sempurna melihat nominal yang aku terima. Uang sebanyak ini setara dengan gaji Mas Seno selama satu tahun.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Walet Terbang
mles baca lagi buatan athor. cerita ny gantung. tokoh utamanya bodoh n naif smua. mau berhenti tpi udh nanggu di pertengahan. jei lanjut aj. eh malah percama aj. cma buang koin . cerita ny gk bgus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status