Share

Tanda merah di leher Arjuna

Bab 4

Vonis mandul ditengah kehamilan istriku

Jangan-jangan benar, Arjuna lah Ayah dari anak yang dikandung Nisa!

“Anton! Ko lama banget kamu nyari sarungnya? uda ketemu apa belum?” teriak Ibu memanggilku dari luar. Membuatku terkejut dan langsung memasukan tali bra ini ke dalam saku celanaku. Aku pun bergegas keluar dari kamar Arjuna, dan langsung menyerahkan sarung yang kuambil kepada Ibu yang sudah berdiri di  depan pintu kamar.

“Kamu ini, ngambil sarung aja lama! bikin Bapakmu emosi aja pagi-pagi!” cetus Ibu padaku.

Aku tak begitu menghiraukannya, karena Bapak memang sudah biasa marah-marah seperti ini. kulihat jam di tangan, waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi, aku harus segera bersiap-siap pergi ke kantor. Ku ambil handuk yang menggantung di belakang pintu kamar, aku pun bergegas untuk mandi.

Selesai mandi aku kembali ke kamar, kulihat Nisa sudah tidak ada di kamar, kemana dia? Apa jangan-jangan dia pergi ke kamar Arjuna? entah kenapa pikiranku begitu yakin jika Nisa sedang berada di kamar Arjuna. 

Aku Pun bergegas memakai baju kerja yang sudah disiapkan oleh Nisa, kemeja warna biru langit dengan dasi corak batik ini sudah terpasang rapi di tubuh atletis ku. 

"Ting" sebuah notif pesan singkat masuk ke ponselku, segera aku meraihnya dan membaca sebuah pesan siaran dari grup teman kerja. 

[Undangan untuk seluruh karyawan bagian pemasaran, jamuan makan siang bersama jajaran direksi, wajib mengajak keluarga agar bisa menjalin silaturahmi antar keluarga rekan kerja. TTD. Dirut pemasaran. ] bunyi pesan siaran yang masuk di ponselku. 

Sesaat aku menghela nafas, memikirkan undangan itu. Mungkinkah Nisa bersedia datang ke acara jamuan makan siang itu, setahuku dia tak pernah mau datang ke acara-acara seperti itu, dia begitu pemalu jika bertemu lawan jenis, jangankan bertemu rekan kerja, bertemu tetangga pria depan rumah saja dia malu, yang katanya tidak baiklah, takut ada hasutan setan lah, banyak sekali alasan yang dia ungkapkan untuk menolak bertemu dengan bukan muhrim yang tidak ia kenal. 

Tapi, jika aku datang tanpa keluarga, apa kata rekan-rekan yang lain? Ah, sudahlah dipikir nanti saja. Lebih baik sekarang aku mencari keberadaan Nisa. 

Aku segera keluar dari kamar, menyusuri setiap ruangan di rumah ini, namun keberadaan Nisa tidak ditemukan, aku lihat ke teras luar, disana pun tidak ada. Di pinggir jalan hanya ada Ibu beserta Ibu-Ibu komplek lainnya yang sedang berbelanja sayuran di pedagang sayur keliling yang tiap hari mangkal di depan rumah. 

Kira-kira dimana Nisa? kenapa dia tiba-tiba menghilang. Pikiranku tertuju ke kamar Arjuna. Jangan-jangan dia ada di kamar Arjuna?

Segera aku berjalan menghampiri kamar adik lelakiku yang baru berusia 17 tahun itu. Dari luar kamar aku mendengar suara Arjuna sedang berbicara dengan seorang wanita. Namun suaranya tidak begitu jelas, karena Arjuna memutar musik yang cukup kencang, membuat suara lawan bicaranya sedikit samar. Apakah itu Nisa? 

Aku yakin itu Nisa, segera kutarik daun pintu kamar Arjuna. Namun, belum sempat pintu terbuka, suara teriakan Bapak mengagetkan ku dari belakang. 

"Anton! Ngapain kamu ngendap-ngendap disana? Cepat sini! antar Bapak ke teras luar! Bapak mau berjemur, Ibumu baru saja ngepel, lantainya masih licin. Bapak takut tergelincir!" teriak Bapak dengan tatapan penuh curiga. Tanpa pilihan, aku pun segera mendorong kursi rodanya menuju ke teras luar. 

Berjemur adalah rutinitas Bapak setiap pagi, sesuai saran dari dokter yang memeriksa Bapak. 

"Bapak disini saja, ya! biar lebih gampang kalau mau putar balik," ucapku lalu berbalik badan dan berniat untuk kembali mengecek kamar Arjuna. Namun, belum sempat aku melangkahkan kaki, lagi-lagi Bapak memanggilku. 

"Kamu mau kemana sih, Anton? dari tadi Bapak liat kamu clingak-clinguk gak jelas, kamu mau cari apa?" tanya Bapak penuh selidik. 

"Anton mau cari Nisa, Pak!" jawabku pada Bapak. 

"Mau apa cari Nisa?" pertanyaan Bapak sedikit aneh, kenapa seorang suami mencari istrinya harus dipertanyakan. 

"Anton mau nanya kaos kaki, Pak! Anton kan mau berangkat kerja, dan Nisa belum menyiapkan kaos kaki yang akan di pakai Anton." jawabku dengan nada lebih halus.

"Kaos kaki saja minta disiapkan sama istri! kamu kan bisa cari sendiri Anton! Istrimu itu lagi hamil, kamu harus lebih mandiri jadi suami, jangan apa-apa minta disiapkan!" tegur Bapak padaku. Padahal dulu, saat Desi masih menjadi istriku, justru Bapak lah yang menyuruh Desi menyiapkan semua keperluanku, bahkan untuk hal kecil seperti kaos kaki ini. 

Perlakuan Bapak pada Nisa sama persis seperti perlakuan Ibu, mereka begitu menyayangi dan memanjakan Nisa. 

Bapak masih menatapku dengan wajah sangarnya, dia tidak mengijinkan aku untuk mencari Nisa. Tapi, pikiranku masih tertuju ke suara wanita di kamar Arjuna, aku harus tau, siapa wanita yang sedang bersama Arjuna. 

Aku pun segera masuk ke dalam, tanpa memperdulikan Bapak yang terus memanggilku. Kamar Arjuna sudah semakin dekat, detak jantungku semakin tak karuan, jika benar yang di dalam itu adalah istriku, habislah kalian berdua, aku terus berjalan sambil mengepalkan tangan, tak kepedulian teriakan Bapak yang semakin keras memanggilku, hingga akhirnya… "Bruk!" suara benda jatuh yang begitu keras terdengar di barengi suara teriakan Ibu dari luar. 

"Bapak!" 

"Bapak kenapa bisa jatuh begini, sih Pak!" teriakan Ibu yang terdengar panik membuatku menengok ke belakang. 

Ternyata Bapak sudah tersungkur di lantai, membuat pelipisnya sedikit berdarah. Aku pun segera berlari menghampiri mereka keluar. 

"Anton! Kenapa Bapak bisa jatuh? siapa yang naruh Bapak disini?" tanya Ibu padaku, wajahnya nampak panik melihat Bapak meringis kesakitan. 

Aku langsung membantu Bapak untuk kembali duduk di kursi rodanya sambil menjawab. "Maaf, Bu! tadi Anton yang bawa Bapak kesini, Bapak minta berjemur di teras, jadi Anton antar Bapak ke teras,"

"Terus kenapa Bapak kamu tinggal, Ton! kamu kan tau kondisi Bapak itu seperti apa?" sahut Ibu penuh tekanan, sepertinya Ibu marah padaku. 

Di tengah keributan, Arjuna pun datang menghampiri kami. 

"Ada apa sih ini, pagi-pagi uda rame?" tanya Arjuna yang sudah berseragam lengkap. Dia merapikan kancing seragamnya yang belum terpasang semua. Rambutnya terlihat sedikit berantakan seperti belum disisir. 

Namun, ada satu hal yang membuat dadaku semakin sesak dan mataku memanas, sebuah tanda merah di leher Arjuna, mirip seperti tanda merah di dada Nisa. Aku semakin yakin, bahwa Arjuna lah laki-laki yang menanam benih di rahim Nisa, aku harus mencari bukti yang kuat untuk membongkar perselingkuhan mereka! 

Comments (4)
goodnovel comment avatar
effy
keluarga jalang kayanya
goodnovel comment avatar
Anitha Yunitha
jangan jagan anton bukan anak kandung makanya diperlakukan seperti itu
goodnovel comment avatar
Ismawati Romadon
kasian banget hidup kamu anton
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status